Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meninjau Diaspora Etnis Rohingya di Indonesia Menurut Prinsip Non-refoulement
26 Desember 2023 12:19 WIB
Tulisan dari Suci Anastasya K tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengenal Etnis Rohingya dan Mengapa Mereka Mengungsi
Rohingya merupakan sebuah etnis yang mayoritasnya beragama Islam dan telah menetap di wilayah Rakhine, Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Pada tahun 1824 -1928 ketika Inggris masih menjajah India dan Myanmar masih menjadi sebuah wilayah bagian dari India, terjadi migrasi pekerja Rohingya dari Bengal dan Bangladesh dalam jumlah besar ke Myanmar. Human Rights Watch (HRW) menganggap bahwa migrasi ini masih termasuk dalam migrasi internal. Kemudian setelah Myanmar merdeka pada tahun 1948, pemerintah Myanmar menganggap bahwa semua tindakan migrasi yang terjadi pada masa penjajahan merupakan migrasi ilegal dan mayoritas penduduk Myanmar juga berpandangan negatif terhadap hal ini. Tak hanya itu, pada tahun 1974 Pemerintah Mahkamah Myanmar mengeluarkan UU Keimigrasian dan UU Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang menyatakan bahwa Etnis Rohingya merupakan warga pendatang dan tidak termasuk kedalam 135 jenis etnis yang ada di Myanmar. Hal ini tentu membuat etnis Rohingya tercabut kewarganegaraannya dari Myanmar dan menyebabkan hilangnya hak-hak Etnis Rohingya untuk mendapatkan tempat tinggal, pekerjaan, dan pendidikan. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan UU Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas suatu kewarganegaraan. Di sisi lain, Myanmar sudah menjadi anggota PBB sejak tahun 1948 yang berarti wajib bagi setiap anggota PBB yang melanggar untuk mendapatkan konsekuensi hukum dan menerima segala ketentuan yang terdapat dalam Piagam PBB (Wulandari, 2022).
ADVERTISEMENT
Selain itu, adanya tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh penduduk maupun pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida karena sudah memenuhi unsur-unsur mendasar tindakan genosida. Seperti pembunuhan massal, perampasan tanah, perilaku sewenang-wenang, diskriminasi terhadap suatu agama atau kepercayaan, dan semua ini bertujuan untuk membumihanguskan suatu etnis atau golongan tertentu yang berjumlah minoritas (Putu dkk., 2019). Inilah mengapa sejumlah besar etnis Rohingya melarikan diri dan mencari perlindungan ke negara tetangganya, seperti Bangladesh, Thailand, dan juga negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Malaysia dan Indonesia.
Kronologi Rohingya sampai di Aceh
Salah satu faktor yang membuat Etnis Rohingya pada akhirnya memutuskan untuk mencari perlindungan ke Indonesia adalah dengan adanya Persetujuan Presiden 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang sesuai dengan prosedur Internasional juga berdasarkan undang-undang yang berlaku (Nada, dkk. 2021).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Provinsi Aceh memiliki posisi yang sangat strategis karena berada di antara Myanmar dengan Malaysia dan Australia. Aceh juga berada di pembukaan Selat Malaka, yang merupakan tempat penyeberangan maritim internasional. Hal inilah yang menyebabkan mayoritas pengungsi etnis Rohingya yang bertujuan untuk mengungsi ke Malaysia, Australia, Thailand, dan Singapura transit terlebih dahulu ke Indonesia melalui Aceh.
Etnis Rohingya mendatangi Aceh secara berangsur-angsur. Bermula sejak Februari 2009, yakni sebanyak 198 pengungsi Rohingya terdampar di Aceh Timur. Para pengungsi tersebut menjelaskan bahwa mereka telah melakukan perjalanan menggunakan perahu-perahu kayu dan terombang-ambing di lautan lepas selama lebih dari 1 bulan. Tak sedikit di antara mereka yang tidak sampai ke tujuan karena meninggal di perjalanan dan dikuburkan di lautan. Setelah itu disusul pada tahun 2013 sebanyak 127 pengungsi Rohingya terdampar di Pantai Aceh Utara, kemudian tahun 2015 sebanyak 800 pengungsi Rohingya sampai di Aceh Timur, tahun 2020 sebanyak 99 pengungsi yang diselamatkan oleh Nelayan Aceh Utara. Hingga pada saat ini, UNHCR mencatat bahwa pengungsi Rohingya yang berada di Aceh sudah mencapai angka 1.608 jiwa dan 140 orang di antaranya merupakan pengungsi yang telah bertahan selama satu tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Peran dan Tanggapan Pemerintah
Dalam menanggapi arus pengungsi Rohingya yang terus bertambah ini, Pemerintah telah mengerahkan upaya untuk melindungi mereka sebaik mungkin. Berikut beberapa kebijakan dan upaya yang telah dilakukan oleh Pemda NAD terhadap pengungsi Rohingya di Aceh:
ADVERTISEMENT
Sampai detik ini proses penanganan sudah diupayakan dengan semaksimal mungkin. Namun, tetap ada saja kendala saat memberikan penanganan karena permasalahan mengenai pengungsi Rohingya ini merupakan masalah yang kompleks dan sampai saat ini belum ada proses penyelesaian yang dilakukan secara tuntas.
Prinsip Non-refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951
Dalam Pasal 33 ayat 1 Konvensi Jenewa 1951 menyebutkan bahwa setiap negara yang telah meratifikasi perjanjian ini dilarang untuk mengembalikan, mengusir, atau mengirimkan pengungsi dari negara lain dengan cara apapun ke wilayah di mana pengungsi itu akan terancam kehidupan dan kebebasannya melalui persekusi atau penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, maupun pendapat politiknya. Hal ini disebut sebagai The Principle of Non-refoulement atau Prinsip Non-refoulement, dan dijadikan sebagai salah satu dasar hukum perlindungan internasional terhadap pengungsi. Prinsip Non-refoulement juga telah diakui sebagai salah satu aturan Ius Cogens dalam hukum internasional dan setiap negara harus mematuhinya baik negara yang meratifikasi perjanjian tersebut maupun tidak (UNHCR, 1984).
ADVERTISEMENT
Namun, dalam Pasal 33 ayat 2 Konvensi Jenewa 1951 juga menyebutkan bahwa Prinsip Non-refoulement tidak berlaku apabila dengan adanya keberadaan pengungsi tersebut menyebabkan adanya ancaman untuk keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara tempat berlindung (UNHCR, 1951). Maka, Prinsip Non-refoulement ini tidak bersifat absolut dalam arti tidak mewajibkan negara untuk tidak memulangkan pengungsi dengan syarat sebagaimana telah disebutkan di atas.
Di sisi lain, tidak semua negara yang ada telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 ini. UNHCR mencatat bahwa hanya sebanyak 74% atau dari 195 negara, hanya 144 negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia termasuk dalam 26% negara yang tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951. Sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi untuk tinggal di wilayah negaranya. Karena itulah Indonesia hanya sebatas negara transit bagi para pengungsi yang datang. Adapun alasan indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 ini dikarenakan adanya pertimbangan mengenai Pasal 17 dan Pasal 21 dalam Konvensi Jenewa 1951 yang menyebutkan bahwa para pengungsi memiliki hak untuk bekerja dan mempunyai rumah di negara tempat berlindung. Hal ini dirasa terlalu berat bagi pemerintah Indonesia karena Indonesia masih merupakan negara berkembang yang angka penganggurannya tergolong tinggi dan pendapatan penduduk perkapita yang belum cukup layak sehingga dalam hal pemberian lapangan kerja lebih baik memprioritaskan penduduk Indonesia terlebih dahulu (Sulthoni dkk., 2014).
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pada tahun 2015, Indonesia pernah melanggar Prinsip Non-refoulement ini dan berujung mendapat kecaman baik dari dalam maupun luar negeri. Lalu setelah mengadakan rapat dengan dua negara lainnya yaitu Malaysia dan Thailand yang juga mendapat kecaman setelah menolak pengungsi Rohingya, Indonesia memutuskan untuk menerima dan memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari Dewan HAM PBB, membuat Indonesia harus mempertahankan citra baik sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM serta aktif dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Selain itu, dengan ini juga merubah kebijakan dalam menerima dan membantu pengungsi Rohingya yang sampai saat ini masih konsisten dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai negara yang tidak meratifikasi Prinsip Non-refoulement pada Konvensi Jenewa 1951, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima dan memenuhi hak-hak para pengungsi Rohingya. Meskipun demikian, Indonesia tetap menerima dan membantu pengungsi Rohingya karena menghormati Prinsip Non-refoulement. Pemerintah Indonesia juga tetap bekerja sama dengan UNHCR dan IOM dalam menangani dan membantu pengungsi Rohingya sampai sekarang, bahkan terdapat LSM khusus yang ada di daerah-daerah penampungan pengungsi Rohingya. Hingga saat ini, Indonesia terus mendapatkan pujian dari dunia internasional mengenai sikapnya dalam menerima dan membantu pengungsi Rohingya.
ADVERTISEMENT
Sumber Bacaan
Nada, D., & Gunawan, T. (2021). Peran Pemerintah Dalam Menangani Pengungsi Rohingya Di Kota Lhokseumawe (Studi pada Kantor Imigrasi Kelas II TPI kota Lhokseumawe). Kajian Administrasi Negara: Riset dan Pengabdian 01, hal 45–50.
Putu, N., Yuliartini, R., Gede, D., & Mangku, S. (2019). Tindakan Genosida terhadap Etnis Rohingya dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Cakrawala Hukum, 21(1), hal 38–46. http://e-journal.unwiku.ac.id/hukum/index.php/CH/article/view/51
Sultoni, Y., Widagdo, S., & Suryokumoro, H. (2014). Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 Tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 12.
UNHCR. (1951). Konvensi dan Protokol 1951 tentang Pengungsi. United Nations, 11.
UNHCR. (1984). Cartagena Declaration on Refugees. Cartagena: UNHCR.
ADVERTISEMENT
Wulandari, V. (2022). PERLAKUAN PEMERINTAH MYANMAR TERHADAP MINORITAS MUSLIM ROHINGYA PERSPEKTIF SEJARAH DAN HUKUM INTERNASIONAL. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis. 2(3), hal 51–68.