Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Otoritarianisme Akademik
2 Maret 2021 18:16 WIB
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sejumlah media cetak, online, dan bahkan elektronik, sudah sering diberitakan terjadinya tindak kekerasan yang terjadi justru di jantung ilmu dan peradaban: Kampus.
ADVERTISEMENT
Bentuknya bermacam-macam, misalnya tawuran mahasiswa antarfakultas dan bahkan antarjurusan yang mengakibatkan kerusakan fasililtas kampus dan menimbulkan keresahan serius di kalangan masyarakat.
Kekerasan lain adalah kekerasan verbal yang bahkan melibatkan dosen. Belum lama ini, dua orang dosen di sebuah peguruan tinggi swasta di Sulawesi terlibat adu mulut di depan umum. Peristiwa pertengkaran yang memalukan ini bahkan sempat direkam dan diviralkan.
Ini bisa menjadi peringatan sebetulnya bagi banyak pihak, bahwa pendidikan tinggi (kampus) kita sedang menghadapi tantangan atau masalah serius yaitu moral (moral hazard) yang justru dilakukan oleh orang-orang terdidik yang harusnya dihormati dan diteladani.
Lembaran anomali kampus ini menjadi semakin serius saat ditambah dengan fakta-fakta memprihatinkan lainnya yang sudah terberitakan di banyak media.
ADVERTISEMENT
Tindakan ancaman, skorsing, dan pemecatan yang dialami oleh mahasiswa, dosen, bahkan guru besar karena sikap kritis mereka terkait dengan kasus dugaan korupsi di sejumlah perguruan tinggi negeri, misalnya, adalah nyata.
Ancaman, skorsing, dan pemecatan yang tentu dilakukan oleh pejabat-pejabat penting kampus ini tentu banyak dinilai sebagai cara-cara represif dan otoriter untuk membungkam suara kritis, membungkam nilai-nilai demokrasi, menghalangi dan merusak cita-cita mewujudkan a Clean University dan Good University karena kasus dugaan korupsi tertutupi.
Mengejutkan, karena dua pekan terakhir ini, berbagai media cetak dan online memberitakan anomali serius yang terjadi di sebuah Universitas Islam Negeri terkenal.
Alih-alih dugaan penyalahgunaan wewenang/korupsi yang melibatkan seorang guru besar dalam pembangunan asrama mahasiswa segera ditangani sesuai dengan ketentuan, 126 dosen yang menyampaikan aspirasi kolektif ke senat universitas secara santun malah mendapatkan intimidasi.
ADVERTISEMENT
Nasib yang sama dialami dua orang guru besar yang menjadi wakil rektor dan mengetahui terjadinya kekotoran ini. Keduanya dicopot dari jabatannya dengan alasan yang tidak jelas. Tindakan rektor ini dinilai dan bahkan berpotensi menabrak undang-undang dan ketentuan yang berlaku.
Tak pelak, rektor sebagai pimpinan tertinggi bisa terkena pasal pidana, begitu berita yang terekam dan tersebar di banyak media. Tidak menutup kemungkinan juga beberapa pejabat yang memberikan dukungan dan bahkan memberikan masukan kepada rektor berpotensi terkena pasal pidana. Tentu ini tergantung kepada proses hukum.
Apa pun, peristiwa kampus yang terlukai oleh tindakan kekerasan, moral hazard, kasus korupsi, dan sikap represif dan otoriter rektor dan pejabat-pejabat tertentu yang mendukung tindakan rektor tidak saja memperihatinkan tapi juga memalukan yang seharusnya segera ditangani sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Kampus dan seluruh warga sivitas akademika seharusnya, disamping peran-peran keilmuan, menjadi teladan dan garda depan keadaban, demokrasi dan penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Otoritarianisme
Berasal dari kata Authority atau otoritas, kata otoritarianisme bisa dimaknai sebagai paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan, dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.
Dalam konteks lembaga, maka otoritarianisme adalah bentuk organisasi yang menekankan bahwa kekuasaan itu sepenuhnya berada di tangan pemimpin. Karena itu, otoritarianisme bisa juga disebut sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan pada penekanan bahwa kekuasaan hanya berada di tangan negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat ruang dan derajat kebebasan individu.
Salah satu ciri penting di antara sejumlah ciri lainnya dari kepemimpinan otoriter ini adalah pola komunikasi. Kepemimpinan otoriter hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu komunikasi satu arah. Komunikasi dua arah, dialogis, dan demokratis yang memberikan ruang adanya kemungkinan perbedaan dan bahkan mungkin munculnya pertentangan pandangan baik secara verbal maupun konseptual akan dihindari.
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang lebih bebas dan terbuka serta mengundang partisipasi publik secara lebih luas dari berbagai elemen masyarakat, pastilah ditolak. Jadi, komunikasi satu arah menjadi andalan penguasa otoriter dalam menjalankan tugasnya.
Pola komunikasi ini wujud soft-nya adalah petunjuk, arahan, dan wejangan. Wujud yang lebih kasar adalah perintah dan larangan, kemudian ancaman dan hukuman kepada siapa pun yang dianggap bertentangan dengan garis dan keinginan pemimpin.
Komunikasi persuasif-demokratis yang sebetulnya jauh lebih bermartabat dan mulia untuk berbagai keperluan bersama tidak saja dinilai akan menghabiskan watu, tapi juga dianggap memperburuk nama, wibawa, kehormatan, statusnya dan bahkan dinilai mengancam kedudukannya.
Jika kedapatan ada seseorang, beberapa orang, dan bahkan kelompok yang dianggap berbeda dan bersebarangan, tak segan pemimpin otoriter dengan menggunakan fasilitas lembaga, aparat, dan jaringannya akan menindak dan menghukum.
ADVERTISEMENT
Sikap otoriter dan represif penguasa ini tentu sudah menjadi bagian dari sejarah politik dan kekuasaan di banyak negara. Di Indonesia, pemerintah Orde Lama dan Orde Baru adalah contoh yang sangat gamblang bagaimana otoritaranisme ini dijalankan dengan berbagai risiko dan implikasinya.
Jatuhnya dua pemerintahan ini dengan cara yang berbeda bisa juga dipahami sebagai akibat dari penerapan kekuasaan yang otoriter dan koruptif.
Hari ini, gambaran tentang tindakan represif karena berbagai faktor yang beragam masih bisa kita saksikan. Politik di Myanmar, baik sebelum maupun pascakudeta militer, juga menggambarkan adanya tindakan represif militer yang sangat serius dengan korban yang tidak sedikit. Pelanggaran HAM yang bahkan dilakukan oleh pemerintah dilakukan. Di India juga begitu. Minoritas Muslim menjadi korban kebijakan pemerintah diskriminatif, terutama yang terkait dengan status kewarganegaraan minoritas Muslim.
ADVERTISEMENT
Perilaku kepemimpinan otoriter dengan ciri-ciri sebagaimana yang diuraikan di atas, pada kenyataannya terjadi juga di banyak perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Fakta-fakta otoritarianisme ini sudah banyak diungkap dan diberitakan secara meluas oleh banyak media cetak, online, dan bahkan juga elektronik.
Hilangnya pendekatan dialogis, tertutupnya telinga dan hati pimpinan perguruan tinggi, pembiaran dugaan kasus korupsi, tidak tegaknya aturan, ancaman, atau intimidasi yang dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi dan pemecatan dan hukuman kepada civitas akademika dengan alasan yang mengada-ada benar-benar terjadi.
Di antara sekian banyak kasus, ada yang mungkin sudah ditangani secara serius dengan hasil yang baik, tapi mungkin saja masih ada yang belum tertangani dan terbiarkan. Faktornya tentu sangat beragam.
ADVERTISEMENT
Sepertinya, kasus otoritarianisme yang mendera di salah satu universitas Islam negeri saat ini sedang ditangani secara serius justru oleh komunitas, bukan oleh rektor. Karena rektor memang menjadi salah satu target yang harus ditangani secara hukum. Begitulah yang telah terberitakan di banyak media.
Public Awareness dan Missi Ishlah
Hemat penulis, apa yang dilakukan oleh media adalah langkah penting antara lain dalam rangka membangun Public Awareness (PA) agar kampus benar-benar bisa dijadikan tumpuan harapan mereka.
Media massa dan masyarakat ikut melakukan kontrol sekaligus mengingatkan bahwa perguruan tinggi itu tidak boleh dikelola dengan cara ugal-ugalan. Kepedulian mereka haruslah dipahami sebagai energi positif dan konstruktif bagi upaya serius membangun sebuah kampus yang maju, kompetitif, dan diakui.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai teori, disebutkan bahwa ada berbagai elemen penting dari apa yang disebut sebagai Public Awareness, antara lain ialah berbagai kapasitas atau kemampuan, kesadaran yang bersifat nurani, koleksi pengetahuan dan pengalaman, sugesti dan antusiasme, empati, motivasi untuk menggerakkan, harapan atau ekspektasi ke depan, dan ekspresi verbal-konseptual dan behavioral.
Semua elemen penting PA tersebut sangat kuat terkait dengan struktur mental seseorang atau komunitas. Dalam kasus dugaan korupsi dan praktik otoritarianisme yang menerpa di salah satu universitas Islam negeri, misalnya, maka PA harus dibangun dengan penuh kesadaran, tidak saja oleh komunitas dan pilar civil society seperti pers (media) yang saat ini sudah mulai bergulir, akan tetapi tentu oleh civitas akademika paling tidak di kampus yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Mereka antara lain adalah tenaga fungsional (dosen, guru besar, peneliti, laboran) dan mahasiswa. Merekalah orang-orang yang memiliki awareness sebagaimana yang diurai di atas, yaitu kapasitas dan kemampuan, nurani, pengetahuan dan pengalaman, sugesti dan antusiasme, motivasi untuk menggerakan, memberikan gambaran tentang masa depan kampus yang jauh lebih baik, dan tentu memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan atau pemikiran mereka secara lisan, konseptual dan aksi nyata, khususnya untuk menghentikan korupsi dan otoritarianisme di kampus.
Para tenaga fungsional dan mahasiswa seperti itulah yang bisa dikatakan sebagai intelektual sejati yang memiliki struktur mental yang sempurna dan kokoh. Karena tidak saja asyik, sibuk dan mencukupkan dirinya dengan urusan rutin (mengajar, membimbing, meneliti, dan mengabdi ke masyarakat dan menjabat) akan tetapi juga memberikan pencerahan melakukan langkah-langkah penting menyelamatkan kampus.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa agama, peran Intelektual sejati itu ialah “Ishlah” yaitu melakukan aksi perbaikan konkret untuk kemaslahatan bersama, tidak membiarkan adanya pengrusakan dan pembusukan yang dilakukan olah siapa pun.
Gerakan Ishlah oleh para intelektual sejati yang didukung oleh masyarakat, media, dan aliansi advokat ini sudah mulai dilakukan dalam kasus yang menerpa di salah satu UIN ini. Tentu ini langkah mulia dan harus disambut dengan positif oleh para penegak hukum.