Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Berguru Kewajaran kepada Pak Kuntoro
18 Desember 2023 12:49 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahad Pahing, 17/12/2023, subuh hari, ketika membuka HP, saya membaca puluhan pesan kabar duka telah masuk sejak dini hari. “Innalillahi wa inna illaihi rajiun, Pak Kuntoro Mangkusubroto telah berpulang”. Kita semua berduka. Beberapa hari sebelum peringatan mengenang gempa bumi dan Tsunami Aceh-Nias ke-19, salah satu pepunden penjaga integritas, simbol idealisme, dan teknokrat teladan, telah dipanggil Sang Khalik.
ADVERTISEMENT
Pak KM pergi dalam suasana kebatinan bangsa yang haru biru, di tengah tergerusnya nilai-nilai keluhuran yang sedang dirasakan di mana-mana. Bagi saya, perjalanan 27 tahun bersama Pak Kuntoro adalah perjalanan seorang cantrik yang sedang berguru, bahkan hingga jasadnya dibaringkan di salah satu sudut Taman Makam Pahlawan Kalibata, diantarkan oleh ratusan kolega. Dalam suasana duka yang masih kita rasakan bersama, izinkan saya berbagi beberapa peristiwa.
******
Selasa Kliwon, 3 Mei 2005, di Kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh, hari pertama rombongan Tim Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) tiba di Aceh. Begitu mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, setelah berziarah di makan korban bencana dan bertemu para ulama, kami berkumpul tak jauh dari reruntuhan sebuah masjid, di tengah puing bekas bencana yang luasnya sebatas mata memandang.
ADVERTISEMENT
Kawasan yang semula padat penduduknya saat itu rata, hanya menyisakan beberapa bangunan saja. Memutar arah ke kiri, kanan, belakang, depan adalah pemandangan yang menyesakkan dada. Semua yang hadir (sekitar 12 orang), tak mampu berkata-kata. Meski seluruh tim telah mendengar dahsyatnya kerusakan melalui pemberitaan media, tetap beda rasanya berada di tengah-tengah wilayah bencana yang tak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia (bahkan dunia).
Dalam hening, Pak Kuntoro membuka pembicaraan: “teman-teman sekalian, lihatlah sekeliling. Tidak ada satu pun kekuatan yang mampu membuat kerusakan seperti ini, kecuali tangan Tuhan. Karena itu, hanya dengan tangan Tuhan pula tempat ini akan bisa diperbaiki. Saudara-saudara yang hadir di sini adalah utusan Tuhan, yang ditugaskan untuk membangun kembali, memulihkan kehidupan rakyat Aceh dan Nias. Sebagai utusan Tuhan, jangan kotori tanganmu dengan sikap dan tindakan yang tidak terpuji. Kita harus bekerja maksimal, dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Jangan khianati harapan rakyat, ‘don’t even think to steal’ (jangan sampai terbesit niat sedikit pun untuk mencuri), jangan sampai ada korupsi dalam membangun wilayah bencana ini”. Semua yang hadir terdiam bisu, beberapa di antaranya menangis, bersimbah air mata.
ADVERTISEMENT
Hari-hari berikutnya adalah kerja keras, tak kenal lelah. Bertandang “kulonuwun” dengan tokoh-tokoh setempat (termasuk pimpinan GAM yang masih dalam tahanan), koordinasi dengan instansi terkait, dialog dengan ratusan NGO lokal, nasional, dan internasional, serta menggalang dukungan multilateral.
Tentu saja, kerja-kerja manajerial terus dilakukan: menata organisasi, perencanaan teknis konstruksi, pengurusan APBN, hingga menata unit khusus untuk mencegah korupsi yang menjadi kekhawatiran banyak orang. Kebetulan saja, pada pekan pertama saya masih tinggal serumah dengan Pak Kuntoro. Tiap pagi, tanpa pengawalan, tanpa teman, Pak Kun jogging keliling kawasan tempat tinggal.
“Saya harus memberi pesan kepada semua warga dan lembaga internasional, bahwa Aceh aman,” jawabnya ketika diingatkan untuk hati-hati beraktivitas di wilayah konflik.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan waktu, rupanya kata-kata Pak Kuntoro di pantai Ulee Lheue, menjadi semacam mantra pelecut. Kata-kata bertenaga itu yang tidak saja telah membuat seluruh kerja teknis rekonstruksi dan rehabilitasi melampaui target dan tepat waktu, tetapi juga menjadi penjaga sehatnya tata kelola di dalam organisasi BRR Aceh-Nias.
Tak ada praktik korupsi yang signifikan, tak ada cerita ‘hengki-pengki’ atau permainan tender. Semua dikerjakan transparan. Sampai-sampai BRR Aceh-Nias menjadi salah satu instansi pemerintah pertama yang memperoleh opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di mata komunitas global, BRR disebut sebagai lembaga rekonstruksi terbaik pasca Tsunami Aceh oleh beberapa lembaga donor internasional, termasuk PBB.
*****
Jumat Wage, 1 Juli 2005. Ruangan sidang DPR RI riuh, karena sejumlah anggota DPR-RI yang bertugas sebagai Tim Pengawas Rekonstruksi Aceh-Nias, dengan suara keras menuding-nuding Kepala BRR Aceh-Nias tidak kooperatif. Beberapa di antaranya mengumbar amarah dengan kata-kata kasar, menuntut Pak Kuntoro meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, di hari-hari sebelumnya, ketika berlangsung pembahasan anggaran biaya rekonstruksi di suatu hotel di Jakarta, Pak Kuntoro memberi perintah agar tidak ada pembahasan setengah kamar. Ketika diminta merespons tudingan para anggota DPR, Kuntoro mengatakan: “Bapak dan Ibu yang terhormat, memang benar, saya melarang tim saya untuk melakukan perundingan setengah kamar, diskusi di ruang tertutup. Karena ini uang rakyat, dan hak rakyat Aceh dan Nias yang tidak boleh dikhianati. Tugas kami di Aceh dan Nias sungguh berat, mohon Bapak-Bapak anggota DPR yang terhormat dapat membantu kami,” tegasnya.
Sejumlah Menteri yang hadir di ruang sidang itu memberikan pesan bisik-bisik: Pak Kun, jangan mau minta maaf, Bapak tidak salah. Beberapa yang hadir malah bertepuk tangan mendengar respons Pak Kuntoro.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari sebelum peristiwa ini memang serangkaian pembahasan dilakukan di Gedung DPR-RI dan dilanjutkan di suatu hotel, dengan alasan agar pembahasan bisa berlangsung lebih intens. Yang terjadi adalah para Deputi BRR Aceh-Nias diundang bergiliran ke ruangan pimpinan di lantai 14 hotel tersebut. Kami yang diutus menjadi delegasi BRR mengurus APBN sudah bersepakat untuk tidak kompromi bila ada titipan proyek-proyek, karena situasi di Aceh dan Nias sungguh membuat hati miris.
Tidak patut rasanya bila dana publik yang diperuntukkan bagi korban bencana di kaveling-kaveling. Dan sikap ini didukung penuh oleh Pak Kuntoro. Maka terjadilah peristiwa adu argumen di Jumat pagi, 1 Juli 2005. Rapat berakhir tanpa kesimpulan karena waktu salat Jumat tiba.
ADVERTISEMENT
Sesudah salat Jumat terjadi dialog antara Pimpinan BRR dan Pimpinan DPR yang mengurus Rekonstruksi Aceh-Nias. diperoleh kesepakatan, saling memaafkan. Setelah peristiwa ini, setiap kali Tim BRR Aceh Nias berinteraksi dengan DPR-RI, baik dalam melakukan kunjungan kerja, melaporkan perkembangan, maupun mengurus anggaran, selalu berlangsung dengan tenang, tanpa keributan.
“Kalau dengan BRR yang kami perlukan hanya power points saja, karena yang lain tidak akan ada,” celetukan canda seperti ini sering muncul di sela-sela diskusi.
*****
Dua peristiwa di atas terasa dramatis, dan mungkin sebagian merasakan suasana yang tidak nyaman ketika mengalaminya. Tetapi itulah perilaku seorang pemimpin di saat menghadapi suasana kritis. This is a leadership call!! Mengambil posisi, mengemban tanggung jawab, dan memberi arah. Bukan saja soal langkah teknis yang harus dikerjakan oleh pengikutnya, tetapi yang lebih penting adalah hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai yang fundamental.
ADVERTISEMENT
Pilihan Pak Kuntoro adalah pilihan idealisme, pilihan menjaga integritas, memberi warna dalam setiap peristiwa penting. Pilihan yang tidak selalu mudah, tetapi terbukti meninggalkan jejak prestasi yang bersejarah, melahirkan kader-kader cemerlang, dan mewariskan ajaran nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya.
Pilihannya adalah menjaga prinsip, bukan mengejar status sosial; berperan nyata, bukan mendapatkan posisi atau jabatan; dan melakukan hal yang penting meskipun sulit, bukan hal-hal yang remeh-temeh meski terasa menyenangkan. Inilah sederet pembelajaran kepemimpinan yang kita peroleh dari Pak Kun. Kuntoro Mangkusubroto adalah pemimpin yang mengedepankan substansi di atas formalitas; substance over forms.
Mungkin pilihan-pilihan sikap itulah yang membawa perjalanan kepemimpinnya terbilang unik. Berpindah sektor, naik turun, dalam berbagai peran. Menjadi akademisi di ITB, bergabung di birokrasi, menjadi salah satu staf di Sekretariat Negara di masa Pak Sudharmono.
ADVERTISEMENT
Memimpin BUMN (PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, dan PT Timah). Menjadi Dirjen Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, berlanjut menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di Era Transisi antara Pak Harto dan Pak BJ Habibie. Yang menarik setelah jabatan Menteri diembannya, seorang Kuntoro bersedia “turun pangkat” menjadi Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Bersama 9 dosen ITB, termasuk Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja, Prof. Sudarso Kaderi Wiryono, Prof. Utomo Sarjono Putro, dan Prof. Aurik Gustomo, Pak Kuntoro mendirikan School of Business and Management, di Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB). Di tengah proses pembangunan SBM-ITB, kembali tugas negara memanggilnya untuk memimpin rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah yang dilanda bencana besar yaitu Aceh dan Nias.
ADVERTISEMENT
Belakangan Pak Kuntoro ditugasi memimpin Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Jejaringnya yang luas pun terus terbangun, karena Pak Kun juga terlibat dalam gerakan masyarakat sipil, seperti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), berbagai organisasi profesi, hingga organisasi pecinta alam seperti Wanadri.
Apa benang merah yang dapat ditarik dari seluruh perjalanan peran kepemimpinan Pak Kun? Dalam kacamata akademik saya, Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto adalah seorang transformational leader, pemimpin perubahan sepanjang hayat, yang tak pernah berhenti berkarya.
Pada setiap penugasan, Pak Kun selalu meninggalkan jejak-jejak perubahan dan perbaikan. Ia seorang reformis sejati yang mengajarkan makna idealisme, kejujuran, profesionalisme, serta terus belajar hal-hal yang baru. Dari Pak Kun kita juga belajar bagaimana setiap pemimpin harus memiliki kesiapan menempuh ketidakpastian, dan teguh mempertahankan prinsip dalam situasi sesulit apa pun.
ADVERTISEMENT
Bagi Domenic Barton (2012), Kuntoro masuk kategori seorang Three Sector Athlete. Pemimpin tiga sektor, yang mengarungi seluruh sektor dengan gemilang: sektor publik/pemerintahan, korporasi, dan gerakan masyarakat sipil. Pemimpin yang mampu mengatasi situasi-situasi rumit dalam banyak penugasan.
*****
Penting untuk mencatat kebersahajaan Pak Kuntoro dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidupnya tak berubah, tetap sederhana, tak dibebani dengan simbol-simbol kebesaran, meskipun sepanjang hayatnya menorehkan begitu banyak prestasi gemilang di arena publik. Kebesarannya melekat pada karya-karyanya; nilai-nilai luhur, dan visinya menyebar luas mewarnai banyak lembaga, dibawa oleh kader-kadernya.
Para pemimpin yang lebih muda, seperti Eddy Purwanto (almarhum), Willy Sabandar, Koni Samadi, M. Hanief Ari, Amin Subekti, hingga generasi Dwi Fatan Lilyana (Lily), Rivana Mezaya (Meza), dan Septia Redisa (Septi); adalah sebagian kecil dari mereka yang beruntung, berkesempatan menimba ilmu langsung dari Pak Kun. Pak Kuntoro adalah guru bagi setiap pribadi yang ingin terus menjaga kewajaran, dalam setiap sikap dan tindakan.
ADVERTISEMENT
Akhirul kalam, kita tetap patut bersyukur. Di tengah gejala akut para petinggi negara yang tak mampu memisahkan antara wilayah privat dan wilayah publik, menyalahgunakan kewenangan publik untuk kepentingan diri dan keluarganya, kita masih berkesempatan diingatkan oleh Pak Kun.
Sampai memasuki liang lahat menuju ke alam keabadian pun, almarhum Kuntoro Mangkusubroto masih terus mengajarkan etika. Dikebumikan dalam status pahlawan bangsa, memiliki makna bahwa seluruh hidupnya telah diabdikan bagi kepentingan publik, kepentingan negara.
Ketika upacara pemakaman dilaksanakan, ini adalah upacara publik. Sanak keluarganya hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, karena telah dengan ikhlas menyerahkan jenazah almarhum kepada negara untuk mengurusnya.
“Bila negara ini mau baik, para penyelenggara negara hendaknya mampu membedakan yang mana urusan privat, yang mana publik; dan jangan mencampuradukannya”. Kalau saja Pak Kun bisa bicara, mungkin kalimat ini yang akan diucapkannya, di Ahad Pahing, 17 Desember 2023, selepas lohor. Selamat jalan Pak Kuntoro Bapakku, semoga surga menantimu.
ADVERTISEMENT