Kereta Api dan Tata Negara Kita

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
14 November 2018 13:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kereta api. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kereta api. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah lebih dari setahun, hampir tiap pekan kami berkesempatan naik kereta api. Ketika kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, amat sering berkeliling kabupaten di Jateng menumpang kereta.
ADVERTISEMENT
Dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, terus ke arah utara sampai Cepu di Blora. Atau lewat selatan Bumiayu, Purwokerto, Kebumen, hingga Purworejo yang berbatasan dengan Provinsi DI Yogyakarta. Bermacam-macam kereta api pernah kami naiki: Kamandaka, Kaligung, Purwojaya, Argo Lawu, Argo Sindoro, Ciremai, dan lain-lain.
Hari-hari ini pun sama, setiap pekan ada saja kesempatan naik kereta api. Pekan lalu, setelah acara di Rembang dan Semarang saya naik kereta api Tawang Jaya, turun di Brebes untuk hadir di acara walimah pernikahan salah satu relawan di desa Sigentong, Kecamatan Wanasari. Setelah selesai, malamnya menuju Cirebon untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta, menumpang kereta Argo Jati.
Sudah lama saya mengagumi berjalannya sistem perkeretaapian kita, yang berubah total sejak dipimpin rekan saya Mas Jonan (@jonan_ignasius), yang sekarang menjadi Menteri ESDM.
ADVERTISEMENT
Saya menyebut sistem karena manajemen kereta api memang merupakan gabungan dari berbagai elemen yang saling menopang, saling kontrol, dan tertata dalam satu aturan main. Tujuannya satu: memberikan pelayanan terbaik bagi para masyarakat pengguna jasa kereta api.
Dalam sistem perkertaapian ada manusia, ada mesin, ada lajur rel kerta, ada stasiun-stasiun dalam berbagai ukuran. Manusia yang terlibat dalam sistem itu mulai dari Manajemen PT KAI, para karyawan, penumpang, vendor, regulator, hingga pengamat kebijakan publik seperti Mas Agus Pambagyo (@aguspambagyo), atau Dr. Muhammad Said Didu (@saididu).
Semua elemen sistem tadi bergerak dalam peran masing-masing, dalam suatu aturan main (regulasi) mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Perturan Daerah, hingga Peraturan Perusahaan.
ADVERTISEMENT
Lihatlah hasilnya, bila semua elemen sistem bekerja sesuai dengan aturan main: kereta berangkat dan tiba di tujuan tepat waktu, stasiun tertata rapi dan bersih, toilet-toilet (bahkan di kelas ekonomi) terjaga kebersihannya, dengan pengharum segala, makanan tersaji menarik dengan harga terjangkau.
Pelayanan awak PT KAI pun patut diapresiasi, petugas loket tiket, penjaga pintu masuk pengecek identitas, para kondektur, petugas restorasi, dan penjaga kebersihan; seluruhnya berperilaku dengan sikap yang standar. Ramah, menyungging senyum, bahasa tubuh siap sedia membantu para penumpang kereta. Polsus dengan seragampun tidak tampak kegarangannya, tetapi membuat nyaman penumpang karena merasa ada yang menjaga mereka.
Sungguh suatu orkestrasi tiga komponen utama yang menjadi pilar tegak-mapannya suatu organisasi: 1) manusia (people) yang cakap, 2) struktur (structure) yang teratur, dan 3) budaya (culture) yang sehat.
ADVERTISEMENT
Dengan kawan-kawan satu perjalanan saya sering iseng bertanya: “Bisakah Pak Edy Sukmoro, Dirut Kereta Api, memerintahkan masinis berhenti di luar stasiun, karena Pak Dirut mau turun membeli duren?” Teman-teman menjawab serentak: “Ya enggak lah!”.
Di lain waktu saya iseng lagi tanya pada mereka: “Kalau Menteri Perhubungan Pak Budi Karya (@BudiKaryaS) menyetop kereta api Biru Malam (BIMA) di stasiun Kecamatan Ketanggungan, berhenti enggak ya?” Jawabnya spontan juga: “Ya enggak mungkin lah Mas!”
Dialog iseng di atas sebenarnya memberi gambaran, betapa kuatnya persepsi atas berjalannya sistem yang sehat. Tak bisa sembarangan kereta berhenti, karena hanya dibolehkan di stasiun yang dijadwalkan. Siapapun yang terlambat sampai di stasiun pasti akan ditinggal, karena kereta berangkat tepat waktu dalam ukuran menit, tak peduli pangkat dan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Bila kereta akan berhenti di stasiun tertentu dini hari ketika penumpang terlelap, petugas dengan telaten akan membangunkan penumpang yang akan segera turun: “Pak sepuluh menit lagi Bapak turun di Bekasi,” setengah berbisik agar tak mengganggu penumpang lain. Luar biasa bukan.
***
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
Saya teringat diskusi dengan almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) tahun-tahun awal pascareformasi 1998. Beliau mengatakan suatu saat negara kita harus dikelola seperti sistem kereta api. Ada rel yang menjaga agar jalannya kereta tidak menyimpang, ada stasiun tempat pemberhentian, ada signal memberi tanda kepada masinis maupun masyarakat, ada kepala stasiun yang mengatur perjalanan, ada masinis, kondektur, dan seterusnya.
Cak Nur menjelaskan jalannya negara tidak boleh digantungkan pada selera orang per orang. Apalagi pada kepentingan dan selera satu dua orang. Jalannya negara harus didasarkan pada hukum dan aturan. Seperti aturan main dalam sistem perkeretaapian, siapapun tak bisa melanggarnya.
ADVERTISEMENT
Siapapun yang memegang kuasa, paling tinggi sekalipun tak bisa menerobos aturan; sama halnya Dirut Kereta Api tak bisa perintahkan masinis berhenti di sembarang tempat untuk kepentingan pribadinya: “membeli duren.”
Rel, stasiun, masinis, kepala stasiun, sinyal pemberi pesan, sistem IT yang mengatur perjalanan kereta berjalan di atas kemauan orang per orang. Dalam tata negara kita juga perangkat sejenis itu juga tersedia.
Ada kepala negara, ada kepala pemerintahan, ada institusi penegak hukum, ada pemeriksa keuangan, ada pembuat hukum dan pengawas jalannya pemerintahan. Ada juga partai oposisi yang harus terus menjadi penyeimbang pemerintah.
Di luar struktur negara, ada masyarakat sipil yang seharusnya menjadi “oase” pikiran-pikiran objektif dan jangka panjang, tanpa kepentingan-kepentingan pragmatis. Selanjutnya ada media penjaga nurani bangsa, penyuara kepentingan rakyat jelata. Dan tentu saja kita punya kampus-kampus universitas terkemuka, yang semestinya menjadi sumber gagasan, ilmu, dan solusi terbaik bagi bangsa seluruhnya.
ADVERTISEMENT
Mengenang almarhum Cak Nur, di atas kereta Taksaka dalam perjalanan menuju Kebumen, saya membayangkan: alangkah hebatnya negeri kita bila seluruh elemen sistem tata negara ini berjalan baik, sebagaimana elemen sistem perkeretapian kita.
Semua pihak akan menjalankan tugas dan kewajibannya, saling menopang, juga saling kontrol. Tak ada yang berusaha menerobos-menjebol aturan untuk kepentingan subjektifnya. Tujuan membangun negara bangsa, mencerdaskan kehidupannya, memajukan kesejahteraan umum, dan turut serta menjadi warga dunia menegakkan perdamaian; niscaya akan cepat tercapai.
Situasi hari-hari ini, tak harus membuat kita putus asa. Sebaliknya kita harus memacu semangat segenap warga bangsa untuk berjuang tak henti-hentinya. Diperlukan sebanyak-banyaknya elemen penggerak perubahan.
Ibarat kereta api dengan gerbong panjang, mengurus republik ini memerlukan banyak sekali lokomotif penggerak, agar laju kereta terjaga kecepatannya. Agar perjalanan jauh menuju cita-cita mulia kemerdekaan segera menjadi nyata.
ADVERTISEMENT
Di atas semuanya, tampaknya makin nyata perlunya para pemimpin yang mampu memahami kompleksitas sistem bernegara, sehingga tidak saja bersedia tunduk patuh menjalankannya, tetapi juga mampu memimpin orkestra kemajemukan bangsa ini demi menjaga tujuan bersama. Wallahu alam.
Ps: tahun 2000-an awal kereta api belum serapi sekarang, tapi Cak Nur sudah memberi idiom tentang rapinya sistem. Kalau Cak Nur masih ada tentu beliau akan makin kagum dan makin semangat menyerukan: contohlah sistem kereta api.
___
Bumiayu, 14 November 2018
ADVERTISEMENT
Sudirman Said (Ketua Institut Harkat Negeri)