Konten dari Pengguna

Mereka yang Berkorban Menjaga Gunung Api

Sudirman Said
Warga negara biasa.
9 Januari 2017 23:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berada di Yogya kita selalu diingatkan oleh cerita meletusnya Gunung Merapi, dengan segala suka dukanya. Dan setiap kali saya berada di Yogya, saya selalu teringat perjuangan dan pengorbanan ratusan “penjaga” gunung api yang tersebar di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketika masih bertugas di Kementerian ESDM, saya bermaksud mengunjungi mereka. Niat itu belum terlaksana seluruhnya. Tulisan ini saya buat sebagai wujud hormat dan apresiasi saya kepada para Pengamat Gunung Api.
Gunung Sinabung meletus. (Foto: Yosh Ginsu)
zoom-in-whitePerbesar
Gunung Sinabung meletus. (Foto: Yosh Ginsu)
Indonesia memiliki 127 gunung api yang tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, kepulauan Lombok, Sulawesi, dan kepulauan Maluku. Hanya dua pulau besar yang tidak memiliki gunung api yaitu Kalimantan dan Papua. Karena itu Indonesia sering disebut sebagai kawasan “Ring of Fire”.
Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian ESDM menyebut: dari 127 gunung api yang masih aktif, 69 di antaranya harus dipantau selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Untuk memantau ratusan gunung api itu, Indonesia memiliki 77 Pos Pengamatan Gunung Api (PGA), yang diawaki oleh 218 Pengamat Gunung Api.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak semua dari kita pernah mendatangi pos-pos pemantau gunung api itu, dengan mudah kita dapat membayangkan beratnya medan tugas dan suasana kerja para penjaga gunung api itu. Suhu dingin, lokasi terpencil, jauh dari fasilitas dan keramaian kehidupan normal. Hampir seluruh pos PGA itu tidak cukup layak untuk ditinggali oleh keluarga pengamat gunung api, baik karena jarak, akses, keterbatasan sarana dan prasarana, maupun risiko bencana.
Karena itu kebanyakan dari mereka harus hidup terpisah dari keluarganya.
Ketika berdialog dengan para Pengamat Gunung Api dan rekan-rekan di Badan Geologi, saya mendengar cerita heroik, bagaimana para Pengamat Gunung Api berjuang menyelamatkan warga DIY dan sekitarnya. Di tengah risiko meletusnya Gunung Merapi mereka terus mencermati perkembangan, dan memberikan peringatan tanpa henti kepada penduduk yang tinggal di lereng-lereng yang terdampak letusan dan abu vulkanik.
ADVERTISEMENT
Bromo. (Foto: Harman Abiwardani/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Bromo. (Foto: Harman Abiwardani/Unsplash)
Cerita lainnya terjadi pada 1983. Sekelompok Pengamat Gunung Api yang bertugas di Gunung Colo, Sulawesi Tengah harus bertaruh nyawa demi menyelamatkan ribuan penduduk Pulau Una-Una. Ketika itu, Juli 1983, terdeteksi letusan gunung yang semula hanya 9-11 kali gempa sehari, terus meningkat menjadi 90 gempa per hari.
Tiga minggu lamanya, tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memimpin evakuasi seluruh warga pulau Una-Una. Setelah yakin seluruh warga meninggalkan pulau, barulah tim ini dapat bersiap-siap menyusul. Di tengah perjalanan, meletuslah gunung Colo dan material letusannya melanda seluruh Pulau yang barusaja dikosongkan. Dapat dibayangkan, terlambat beberapa jam saja, maka seluruh anggota tim telah menjadi korban letusan gunung tersebut.
Sebanyak 218 Pengamat Gunung Api bekerja di wilayah sulit, jauh dari keluarga, sesekali harus menyabung nyawa. Hanya karena kecintaan pada tugas dan kemanusiaan, mereka terus bertahan dan menekuni tugas mulianya. Tak banyak gaji mereka, kisarannya antara Rp 3,5 juta sampai Rp 8 juta per bulan. Sebagian dari mereka harus sabar dan berjuang menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan menginap untuk mendapatkan haknya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Pengamat Gunung Api yang ditugaskan di Gunung Wurlali, Maluku harus menempuh perjalanan 8 jam lamanya dengan kapal perintis, untuk mengambil gaji sekaligus menyampaikan laporan. Pada saat itulah, mereka baru dapat bertemu keluarganya yang tinggal di Ambon, karena tidak mungkin diajak serta ke tempat tugas mereka.
Kita semua layak menaruh hormat dan berterima kasih atas pengorbanan mereka. Tak kurang dari 4,5 juta masyarakat kita tinggal dan hidup di wilayah rawan bencana gunung api. Di luar itu ada jutaan warga masyarakat lainnya yang menaruh harapan pada para penjaga gunung api untuk menjaga keselamatannya. Banyak kisah pengorbanan dan keikhlasan luar biasa sering ditunjukkan oleh orang-orang biasa. 218 Pengamat Gunung Api yang hidupnya sederhana, telah menjadi teladan kita semua.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta, 9 Januari 2017
Sudirman Said