Konten dari Pengguna

Mudik dan Mawas Diri

Sudirman Said
Warga negara biasa.
27 April 2022 11:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan Tol Cawang-Grogol, Jakarta, 2021.  Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Tol Cawang-Grogol, Jakarta, 2021. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Dua tahun berturut-turut, pandemi covid-19 telah memaksa warga untuk menekan dalam-dalam rasa ingin bersosialisasi. Sebagai masyarakat yang dikenal sangat kuat dengan budaya kolektif, bersosialisasi bukan saja merupakan kebiasaan, tetapi mungkin sudah menjadi kebutuhan (batin). Karena itu, setelah covid-19 dipandang tidak lagi sebagai ancaman, gairah bersosialisasi membuncah di mana-mana. Sepanjang Ramadhan, sungguh marak kegiatan buka bersama, baik keluarga, teman kerja, maupun kelompok-kelompok sosial beragam warna. Restoran dan hotel-hotel penuh acara, jalanan macet, tempat-tempat parkir penuh kendaraan di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Gairah berkumpul akan memuncak pada lebaran tahun ini. Mudik yang merupakan ritual tahunan akan terjadi dalam gelombang besar arus manusia. Pemerintah memperkirakan hampir 80 juta manusia, menumpang 23 juta mobil dan 17 juta sepeda motor akan bergerak menuju kampung halaman, tempat asal-usul para pemudik. Bahkan saudara-saudara kita yang tidak merayakan lebaran pun ikut meramaikan arus mudik maupun pariwisata, karena libur panjang bersama.
Tahun 1990, ketika baru saja menyelesaikan skripsi, saya dinasihati Dosen Pembimbing, Pak Drs. Ony Syahroni, M.Sc.. Nasihatnya kurang lebih begini: “Besok kalau kamu sukses dalam karier, sering-seringlah menengok kampung halaman. Bila kamu selalu ingat asal-usul, kamu tidak akan menjadi orang yang sombong atau berkhianat pada negara.” Nasihat itu selalu terngiang pada setiap kesempatan pulang kampung. Benar sekali, ritual pulang kampung adalah kembali ke asal-usul: bertemu sanak saudara, berjumpa sahabat dan kawan-kawan semasa kecil, guru-guru, napak tilas perjalanan masa lalu, atau sesekali ziarah ke makam orang tua dan nenek moyang kita. Dan benar sekali, mengenang kembali dari mana kita berasal, bagaimana masa lalu kita, adalah perjalanan rohani yang “memaksa” batin kita untuk bersyukur akan apa yang sudah dilalui. Bagaimana dengan ziarah ke makam leluhur? Berziarah ke petilasan orang tua, nenek moyang dan handai taulan yang sudah mendahului kita menghadap Sang Khalik, tentu saja menjadi momen untuk mengenang mereka. Tetapi, lebih dari itu, inilah saat-saat terbaik untuk mengajak hati dan pikiran kita ke masa depan yang abadi, yakni kematian. Siapa pun yang hidup akan mati!
ADVERTISEMENT
Ritual mudik, semoga tak hanya sebatas kesibukan membawa sejumlah oleh-oleh, menghidupkan “ekonomi pulang kampung”; tetapi juga menjadi sarana refleksi mawas diri. Memikirkan kembali perjalanan hidup dengan rasa syukur adalah kenikmatan tersendiri. Masa kanak-kanak akan tumbuh dewasa; yang belajar sungguh-sungguh akan cerdas tercerahkan, yang bekerja tekun, jujur, dan berprestasi akan beroleh kepercayaan, yang mendaki karier akan mencapai puncak pencapaiannya. Sebaliknya, yang menyerah pada keadaan tak akan ke mana-mana, yang malas belajar dan berusaha tak akan maju hidupnya, yang berkhianat dan mencuri hukuman setimpal menunggunya. Dalam urusan jabatan dan kekuasaan, mudik juga mengajarkan bahwa segala sesuatu ada ujungnya. Yang berkuasa ada batasnya, yang di puncak kekuasaan hanya punya satu jalan ke depan, yaitu jalan menurun. Maka itu, ibarat mendaki gunung, bagi yang sudah sampai di puncak, bersiaplah untuk menempuh jalan turun dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Seperti nasihat Pak Ony, dengan mengingat asal usul dan membayangkan tempat kembali yang abadi, sesungguhnya tidak ada alasan bagi tiap diri untuk bersikap sombong dan jumawa atas apa pun yang dicapainya. Yang kaya akan berbagi dengan sesama, kaum cerdik pandai akan menjaga nurani bangsa, yang berkuasa akan setia menjadi pelayan warga negara. Sikap mawas diri adalah kesadaran penuh bahwa siapa pun kita: saudagar besar kaya raya, professional hebat mendunia, pejabat tinggi yang amat berkuasa, atau orang biasa, semuanya akan menjumpai titik selesai, garis finish yang tak bisa kita hindari. Dari orang biasa kembali menjadi bukan siapa-siapa, dari tak berdaya kembali menjadi lemah dan papa, yang semula tidak ada kembali menjadi tiada, dari hidup sementara menjadi mati abadi. Dan dengan demikian, semua pencapaian adalah persinggahan semata. Idul fitri kiranya menjadi kesempatan untuk bersyukur dan mawas diri, seraya bermaaf-maafan membersihkan dosa antar sesama. Selamat Idul Fitri 1433 H, selamat mudik, kembali ke asal-muasal kita.
ADVERTISEMENT
Atambua, 26 April 2022
Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)