Konten dari Pengguna

Literasi Keagamaan Lintas Budaya dan Manifesto Kemajemukan

Sufyan Syafii
Penikmat Sejarah Islam Indonesia. Researcher in Rembukan Penggiat Sejarah (REMPAH).
22 Februari 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Syafii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peserta LKLB 2024 mengikuti dialog dan kajian lintas agama di Gereja Katedral Jakarta Pusat.
zoom-in-whitePerbesar
Peserta LKLB 2024 mengikuti dialog dan kajian lintas agama di Gereja Katedral Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Petikan ungkapan Gus Dur di atas, kiranya selalu relevan dengan kehidupan kita sebagai Bangsa yang majemuk. Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid, seorang tokoh pluralis dan mantan Presiden Republik Indonesia, juga pernah menyampaikan bahwa berkat perbedaan, semuanya jadi terang benderang. Karenanya, kemajemukkan kita sebagai Bangsa adalah fitrah Tuhan serta nikmat terbesar yang diberikan-Nya kepada kita. Ketidakmampuan dalam merawat perbedaan adalah malapetaka yang perlahan mengikis persatuan kita sebagai Negeri yang berdaulat.
Soekarno dalam Nasionalisme, Islamisme, Marxisime, Pikiran-Pikiran Soekarno Muda, menjelaskan bahwa agama sering dijadikan sebagai penyebab konflik dalam masyarakat yang pluralistik. Oleh karena itu, semua pemeluk agama meyakini bahwa ajaran agamanya harus dilestarikan dalam kehidupan yang bermasyarakat dan bernegara.
Mengingat perlunya merawat kemuliaan Bangsa kita tersebut, kiranya berbagai gerakan yang memberi perhatian lebih kepada perbedaan perlu disemarakkan. Tidak saja sebagai bumper segala kemungkinan buruk yang terjadi (dan seringkali pernah terjadi sebelumnya), tetapi juga warisan generasi berikutnya yang aman dan dapat dijaga dengan baik (preventable).
ADVERTISEMENT
Tentu, kita bisa memetakan macam gerakan atas tema yang dibahas ini. Hanya saja, salah satu yang bisa kita amati adalah pada apa yang sudah dilakukan oleh Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Gerakan yang dinaungi oleh Leiminha Institute ini sudah melahirkan 6000-an alumni yang dibekali dengan literasi terkait nilai-nilai perbedaaan lintas budaya dan agama (interfaith). Menjadi sebuah objek yang menarik diulas.
Dengan kegiatan yang bermacam-macam, LKLB tidak saja berhasil menyasar literasi kebinekaan kepada anak muda sebagai 'pewaris peradaban' tapi juga para guru sebagai 'pengawal peradaban' itu sendiri. Anak muda tanpa bimbingan oleh para guru seringkali mudah terombang-ambing tanpa arah dan gairah kebijaksaan melintasi kilatan zaman. Begitu juga para guru. Guru yang tidak mampu mengikuti perkembangan dunia, seringkali tidak mampu masuk ke dalam relung interaksi dunia peserta didiknya.
ADVERTISEMENT
Kiranya itulah filosofi yang penulis dapatkan dari pandangan pimpinan Leiminha Institute, Daniel Adipranata ketika mengikuti salah satu pelatihannya langkat lalu. Penulis mengamini dengan apa yang beliau sampaikan. Sebab kita anak Bangsa yang lahir dari rahim ibunda bernama Ibu Pertiwi dan ayah biologis bernama Bhinneka Tunggal Ika. Kita tidak pernah bisa meminta untuk dilahirkan di bumi mana.
Pertanyaan berikutnya,
Apakah memang interpretasi kita akan perbedaan hanyalah sebuah dialog pasif dan komunikasi yang stagnan: Bahwa perbedaan memang sudah terjadi, maka nikmatlah saja?
Daniel Adipranata kembali menjelaskan bahwa fenomena itu memang pekerjaan rumah kita yang masih bergulir. Kita acapkali terjebak pada makna keberagaman, akan tetapi keberagaman yang ditafsiri secara personal dan partikular seringkali jauh dari pemaknaan yang diharapkan para pendiri Bangsa (founding fathers).
ADVERTISEMENT
Pemaknaan pasif adalah realita kehidupan bermasyarakat kita yang tidak bisa dipungkiri masih terjadi. Pola dialogis, komunikatif, dan menghentikan kecurigaan satu sama lain masih belum banyak terjalin secara massif. Karenanya, LKLB mencanangkan sebuah ritme baru guna memecah kebuntuan ini melalui tiga kompetensi: Pribadi, Komparasi, Kolaborasi.
Aktualisasi Tiga Nilai
Pribadi, Komparasi, dan Kolaborasi adalah tiga nilai yang menggambarkan fenomena sosial di tengah masyarakat. Kita memang harus mulai menaruh rasa empati dalam melihat antar manusia tidak hanya berdasarkan latar belakang agamanya, tapi menempatkan manusia sebagai sebenar-benarnya manusia: makhluk Tuhan yang diutus untuk menghidupi semesta raya ini.
Karenanya, makna menghidupi ini sejatinya haruslah memberikan dampak positif guna melahirkan kesejahteraan dan kedamaian di bumi yang kita tempati. Manusia tidak saja berfungsi sebagai subjek dunia, tapi juga predikat yang giat memberikan ketentraman bagi seluruh makhluk.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah, dalam melihat setiap perbedaan, menurut LKLB, manusia membutuhkan tiga kompetensi;
Pribadi, adalah kompetensi yang harus dikerahkan dalam memahami diri sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan Anda dengan orang lain. Setiap agama memiliki nilai dan dogma masing-masing melihat sebuah ajaran. Apriori terhadap pengkultusan agama memang dibolehkan, bahkan perlu dipupuk sebagai sebuah keimanan yang padu (dalam Islam dikenal sebagai 'aqidah).
Pengetahuan utama terhadap agamanya adalah jalan menuju pemahaman terhadap agama lain. Ketidakmampuan dalam memahami intisari agama membuat setiap pemeluknya terasa individualistik. Padahal, agama harus menjadi rahmat bagi alam semesta.
Komparasi, adalah kompetensi berikutnya setelah kita mampu mengenali diri sendiri secara komprehensif. Kompetensi ini kiranya sulit diterima setiap pemeluk agama apabila pemeluk tersebut belum selesai dengan pemahaman agamanya. Sebab, langkah kedua ini dipandang sebagai langkah membutuhkan perbandingan dua arah (to compare).
ADVERTISEMENT
Secara umum, kompetensi Komparasi adalah kemampuan yang mendesak setiap pemeluk untuk memahami ”orang lain”, sebagaimana dia memahami dirinya sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan Anda. Langkah ini perlu terbangun agar internalisasi ajaran tiap agama dapat menuju sebuah harapan dari harmonisasi antar agama.
Kolaborasi, adalah langkah kompetensi terakhir dari yang lainnya. Kompetensi ini adalah ruang memahami konteksi potensi kolaborasi di antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama memiliki ritual, tradisi, bahkan indeksasi filantropis. Juga banyak hal semisal yang dapat disinergikan menuju kesejahteraan dan ketentraman bersama.
Ketiga kompetensi ini, adalah temali kompetetif dalam menyadarkan setiap pemeluk agama, bahwa manusia sebagai makhluk sosial, tidak hidup dalam sebuah kebangsaan yang pasif. Tetapi juga tidak terdistraksi oleh penggalan tafsiran agama yang super aktif. Terlebih kemajemukan dan multikulturalistik termasuk modal sosial negeri ini dalam mewarnai bonus demografi dan Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita perlu kembali merenungkan suatu keyakinan bahwa kerukunan umat beragama dan harmonisasi merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang beradab dan bermartabat. Gemah Ripah Loh Jinawi. Semoga.