Konten dari Pengguna

Masih Belajar Berdemokrasi

Sufyan Syafii
Penikmat Sejarah Islam Indonesia. Researcher in Rembukan Penggiat Sejarah (REMPAH).
28 Agustus 2024 7:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Syafii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
ADVERTISEMENT
Judul ini bukanlah semata bentuk respons dari adanya pergolakan belakangan ini. Tidak. Tidak pula karena terbawa arus media yang terus menyoroti langkah-langkah para politikus. Apalagi dibuat karena disebut "memancing di air yang keruh", tidak sama sekali. Jikapun dianggap relevan, kembali saja kepada petikan Philip Guedalla (1889-1944) bahwa "sejarah berulang dengan sendirinya, sejarawan saling mengulang satu sama lain".
ADVERTISEMENT
Judul ini adalah penggalan ungkapan seorang tokoh ulama cum negarawan. Tokoh ini, pada 2001 dihadapkan pada sebuah turbulensi politik yang cukup dahsyat. Meski demikian, publik terus mengabadikan namanya sebagai guru bangsa dan seorang pluralis nan humanis. Tokoh tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal dengan Gus Dur, presiden Republik Indonesia keempat.
Tatkala ditempa banyak tekanan tak berarah dari parlemen dan lawan politiknya, Gus Dur membuat sebuah konferensi pers di istana guna menjelaskan situasi terkini berikut pandangannya dalam mengurai masalah kenegaraan yang terjadi. Adapun Gus Dur menyebut;
"Saya tetap pada pendirian bahwa kita perlu mencari kompromi secara damai. Kompromi secara damai ini kita perlukan, karena kita masih belajar berdemokrasi.." -Gus Dur, 2001-
ADVERTISEMENT
Mengingat gentingnya keadaan, video rilis Gus Dur ini juga dimuat oleh stasiun televisi AP asal Amerika Serikat atau Associated Press (AP). Kantor berita yang didirikan sejak tahun 1846 ini memang sejak lama berada di Indonesia, menyimpan banyak sumber visual yang bisa dipakai oleh para pengamat ataupun sejarawan sebagai sumber sejarah. Salah satunya adalah ketika Gus Dur masih memimpin sebagai presiden.
Dari pandangan Gus Dur ini kita bisa melihat sebuah realitas zaman, bahwa keniscayaan pada negara yang menginginkan berdemokrasi dapat terimplementasi dengan baik. Harapannya ini pula yang selalu digoreskan dalam pandangannya melalui kolom-kolom media ataupun esai-esai yang dituliskan Gus Dur, dan bisa kita telusuri hingga kini.

Belajar Berdemokrasi

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berbicara dengan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab setelah tiba di gedung parlemen di Jakarta, pada 27 April 2000. Foto: OKA BUDHI / AFP
Diksi "belajar" pada ungkapan Gus Dur di atas adalah kata kunci pada tulisan ini. Belajar, sebagaimana makna lema-nya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu atau berlatih (KBBI, 2024), membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Membutuhkan latihan, trial and error tiada usai. Sebuah diksi yang menyiratkan gairah mengembalikan makna berdemokrasi sesuai para porosnya dengan keadaan apapun: mengembalikan suara rakyat sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dipahami, bahwa setiap kata selalu hadir menggambarkan ruang waktunya. Sebagaimana demikian pula kita dapat melihat kata "belajar" itu dimunculkan di tahun 2001 tersebut, menyimpan adanya sebuah upaya luhur Gus Dur mempertahankan norma kepentingan umum di atas kepentingan politik atau golongannya. Mengokohkan prinsip dan pondasi damai yang sudah dianutnya secara fundamen.
Gus Dur tidak menggunakan istilah "menerapkan", "mengupayakan", apalagi "memaksakan" demokrasi. Sebab memang konteks "belajar" selalu lebih luas dan berulang. Karenanya, keinginan akan penerapan demokrasi itu tidak bisa berhenti pada masa itu saja, tapi berkesinambungan melintasi lintas kekuasaan.
Seiring berjalannya waktu, gejolak yang hilang-timbul perlu dipertemukan dengan kearifan pembelajaran yang matang dipersiapkan. Lafaz "belajar" perlu dikembalikan kepada makna asalnya, tidak berhenti pada pemahaman kita akan rumusan teoritis di atas menara gading. Pemahaman akan belajar berdemokrasi harus tetap dilakukan, agar ketika hendak menghadapi kesalahan langkah, kita semua mau bercermin kepada kesalahan-kesalahan sebelumnya. Serta menyelesaikannya berasakan kepada kemaslahatan orang banyak, tashorruf al-Imam ala ar-Ra’iyah manuthun bi al-Maslahah” (kebijakan Pemerintah atas rakyat harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan).
ADVERTISEMENT

Negara Pembelajar

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Istana Kepresidenan di Jakarta, pada 27 Oktober 1999. Foto: AGUS LOLONG / AFP
Memang secara faktual, ungkapan Gus Dur adalah istilah di zaman itu, di mana bentuk pemerintahan masih berlandaskan pemilihan parlemen. Namun kenyataan lainnya menunjukkan bahwa ungkapan itu mampu menjadi renungan tidak terbatas pada dimensi waktu tertentu.
Maksudnya, proses penerapan sistem kenegaraan kita yang terus bergulir sejak masa revolusi, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde lama, orde baru hingga reformasi juga merupakan ruang pembelajaran. Pengadopsian dari satu sistem ke sistem lainnya bukanlah bentuk pertimbangan sederhana. Ruang belajar itulah yang kiranya dimaksudkan Gus Dur sebagai titik temu dari pentingnya mempertemukan kegaduhan rakyat dengan kepentingan politis.
Sederhananya, negara kita sudah memiliki banyak sekali bahan pembelajaran. Pembentukan keputusan bernegara haruslah berlandaskan spirit pembelajaran. Negara perlu belajar dari negara lain, atau terhadap kekacauan negaranya sendiri yang pernah dialami. Terlebih, sejarah bernegara kita sudah luber dibanjiri darah, baik dimulai pasca dibacakannya teks Proklamasi, maupun rentang jauh sebelum itu di masa kerajaan. Sejauh mana kegaduhan yang kerap terjadi perlu diperhitungkan sebagai bagian dari proses menemukan pengetahuan. Adakah mau kembali diulang?
ADVERTISEMENT
Pengetahuan inilah yang seringkali luntur (atau dilupakan?). Kita tidak kembali berpijak pada tujuan akhir (berdemokrasi), atau tidak pula menggunakan langkah-langkah menujunya (baca: belajar). Ibarat seorang siswa, belum sampai di ruang kelas untuk berdiskusi, sudah sibuk tertahan oleh godaan menggosip di meja kantin. Lebih nahasnya, tidak berangkat sama sekali ke sekolah untuk berprestasi sebab sibuk dengan di rumah bermain dengan hewan peliharaan.
Di lain hal, lema "belajar berdemokrasi" juga adalah simbol reflektif bagi rakyat secara umum. Bahwa sebagai rakyat, titel rakyat pembelajar sudah secara otomatis tersematkan. Temali pemerintah dan rakyat yang pembelajar adalah konjungsi kokoh dalam menyangga setiap kepentingan apa pun. Dengannya, keduanya pihak ini dapat secara sukarela melihat problem sebagai cerminan bersama menuju visi besar bernegara, sebagaimana pesan pidato Bung Karno (1953),
ADVERTISEMENT
"Sebab kita tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya..".