Konten dari Pengguna

Melihat Islam Indonesia dari Maroko: Catatan Perjalanan Ilmiah

Sufyan Syafii
Researcher in Ma'had Aly Jakarta dan Rembukan Penggiat Sejarah (REMPAH).
3 Desember 2024 12:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Syafii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bendera Maroko (Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Maroko (Dokumentasi Pribadi)
Tulisan ini sejatinya adalah refleksi ringkas perjalanan ilmiah penulis mengikuti Beasiswa Non-degree LPDP yang bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia dalam memberangkatkan 30 Mudir/Wakil Mudir Ma’had Aly seluruh Indonesia yang lolos mengikuti perkuliahan di negeri Magrib (Maroko) November-Desember tahun ini.
ADVERTISEMENT
Meski hanya sebagai sebuah catatan perjalanan, penulis turut pula melibatkan analisis dan pendekatan approach berbasis kultural guna memberikan pandangan tambahan agar tulisan ini dapat memberi warna sebagai sebuah tulisan yang bisa ringan dinikmati pembaca tetapi juga tetap terhitung bernas.
Secara umum, lintasan artikel ini memuat beberapa hal besar yang diramu secara ringkas, yakni keterkaitan Maroko Indonesia, baik secara sejarah maupun kultur masyarakat muslimnya.
Melihat artikulasi muslim Indonesia dan Maghrib, tentu mengingatkan kita akan dua hal;
Pertama, adalah apa yang pernah diteliti oleh Clifford Geertz sekian puluh tahun silam (1980) terkait kedua negara ini.
Dalam karyanya yang banyak diulas peneliti berjudul Islam Observed: Religious Development in Morroco and Indonesia, kita bisa melihat banyak sekali gambaran kedua negara tersebut berjalan beriringan secara kultur keagamaan.
ADVERTISEMENT
Apa yang disebut Geertz dengan:
Menunjukkan kesepakatan Geertz tentang adanya penguatan di sisi-sisi praktik keagamaan yang penuh dinamika. Walaupun setelahnya Geertz juga menyadari hal tersebut mengalami penurunan secara praktik, sekurang-kurangnya kristalisasi kultur keagamaan akan dua negara tersebut adalah sebuah keniscayaan sejarah yang berjalan secara panjang bersamaan dengan perjalanan manusia kedua negara tersebut hingga kini.
ADVERTISEMENT
ZIarah Makam di Maroko (Dokumentasi Pribadi)
Adapun Kedua, adalah realitas praktik ziarah wali masyarakat muslim Indonesia.
Beberapa wali yang diyakini masyarakat muslim Indonesia memiliki karomah memiliki penisbatan dengan wilayah Maghrib. Sebut saja nama yang pernah penulis ziarahi yakni Syekh Maulana Muhammad al-Maghribi. Beliau diyakini sebagai salah seorang anggota Wali Songo pada periode pertama. Melihat perujukan Maghrib masyarakat percaya tokoh ini berasal dari Maroko. Datang ke pulau Jawa pada tahun 808 H atau 1404 M, dalam tugas berdakwah, Syekh Maghribi konon wafat tahun 1465 M. Hanya saja makamnya terdapat di Jatinom, Banten, Klaten, Pekalongan dan juga di Cirebon. Belum diketahui secara tepat, mana makam jasad dan mana yang merupakan petilasan. Pun penulis juga melihat seluruhnya memiliki identifikasi bentuk makam yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Secara pendekatan kesejarahan, kemungkinan akan penisbatan Maghrib sebagai wilayah yang diyakini masyarakat tersebut tentu mengingatkan kita bahwa luasnya wilayah Maghrib tidak saja berpusat pada wilayah Maroko saat ini. Bisa saja, wilayah yang disematkan pada teritorial sebelah barat dari wilayah Nusantara yang memang secara navigasi kelautan berada di belahan bumi sebelah Timur.
Dalam artian, nisbat (perujukan) Maghrib kala itu terintergrasikan kepada wilayah yang berada pada bagian barat dari semenanjung Nusantara. Jikapun demikian, maka istilah Maghrib tersebut bisa pula ternisbatkan kepada Jazirah Arabia maupun Afrika secara keseluruhan. Hal yang mungkin masih butuh perdebatan secara mendetail. Begitu pula beberapa nama makam semisal lain yang juga memiliki kasus serupa. Dan sepertinya akan penulis ulas lebih jauh pada kiriman tulisan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Dari dua fenomena ini, hubungan Maroko dan Indonesia secara kesejarahan tidak saja memiliki hubungan erat, tapi juga langkah lanjutan yang masih perlu dipertahankan. Mengingat selain bahwa keterikatan itu juga butuh pembuktian riset lanjutan juga sewaktu-waktu pun dapat terhubung, tentu adalah sebuah ruang interaksi menarik yang dapat dikembangan menjadi potensi lintas sektor, baik perihal keilmuan maupun runutan pariwisata lintas dunia.
Hal ini mengingatkan penulis ketika berkunjung ke Museum Ibnu Bathutah di Tanger. Ibnu Bathutah atau yang bernama langkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah (w. 1300-an) sebagaimana tulisannya dalam Ar-Rihlah memuat kunjungannya ke Nusantara tidak saja berhenti pada wilayah-wilayah yang terkemuka, namun juga ke titik-titik kerajaan Nusantara yang termuat jelas (shorih) secara literatur seperti Malaka dan Aceh.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, dalam museum tersebut, lintasan perjalanan Ibnu Bathutah itu tidak termuat pasti dalam diorama Nusantara (Aceh dan beberapa titik di Sumatera) sebagai wilayah strategis secara sejarah International Trading era klasik. Diorama itu hanya memuat wilayah-wilayah tertentu yang cukup besar seperti China, Mali, dan tentu saja, Jazirah Arabia. Adakah Nusantara tidak diperhitungkan secara dunia sejak itu?
Melihat kejanggalan tersebut, penulis lantas menyampaikan keresahan ini kepada beberapa staff museum bahwa diorama terkait kurangnya lintasan kesejarahan Ibnu Bathutah di Nusantara. Dengan respon yang bisa dikatakan cukup, penulis kemudian diarahkan kepada pimpinan museum melalui kartu namanya. Jikapun ditanggapi ataupun sebaliknya penulis sadari bahwa memang diorama tersebut terbatas secara konstruk bangunan. Namun, semoga lain waktu keresahan ini dapat diperhitungkan kembali.
ADVERTISEMENT
Pesantren Indonesia dan “Pesantren” Maroko
Kembali kepada diskursus mula tema ini. Penulis juga mendapati terdapat sekian refleksi yang bisa kita ditelaah. Diantaranya adalah apa yang dalam ritual masyarakat kita.
Misalnya saja istilah pendidikan berbasis Ta’limu al-Atiq dan Ta’limu ad-Dini. Keduanya memiliki format yang sama sebagaimana pesantren di Indonesia. Secara umum pemaknaan akan urgensi ilmu syariat dijadikan landasan utama.
Jika Kementerian Agama telah merumuskan nomenklatur rukun-rukun Pesantren (Arkanu al-Ma’had) berupa adanya masjid, kiai, santri, asrama, kitab yang diajarkan, hingga sanad keilmuan, pun demikian dengan Ta’limu al-Atiq dan Ta’limu ad-Dini. Keduanya memiliki sistem yang sama dan sejalan dan tujuan diadakannya pesantren. Secara khusus, kedua negara ini memiliki gairah keilmuan yang sama hingga kitab-kitab referensi yang diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah ini mampu mengubah format sejarah yang menukil bahwa pesantren berasal dari tradisi Hindu-Budha yang konon berasal dari istilah Pesantrean dan Sastri mengingat sistem ini sudah diselenggarakan kalangan Maghribi sejak abad 10?
Hemat penulis mungkin saja tidak. Adapun format secara keilmuan keagamaan masih dimungkinkan, namun secara format kultur kiranya masih perlu dikembalikan kepada asal kultur Nusantara itu sendiri. Hal yang bisa diperdebatkan.
Mengapa demikian? Penulis melihat bahwa modifikasi sistem ini telah membuat warna yang indigenous dari sistem pendidikan Islam Indonesia. Sekurang-kurangnya memberi kultur yang berbeda dalam penggunaan pembahasaan lokal dan kontekstualisasi referensi tersebut ke dalam relung kehidupan masyarakat setempat. Hal inilah yang kemudian digaungkan oleh PBNU tahunan lalu sebagai spirit Islam Nusantara guna memperkuat adigium tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada sisi yang lain, kesamaan yang dapat diidentikan adalah keinginan bersama untuk menjalankan ajaran Islam sebagaimana warna cinta kasih ajaran Nabi Muhammad saw.
Dalam lawatan pembelajaran di Maroko, tepatnya di Dar El-Hadith El-Hasaniyyah Rabat, kami sempat mengikuti sebuah konferensi international “The 5th International Conference on the theme: Peace Education and Training: Why it is Important to Teach Peace in a Time of Unrest” memiliki pandangan yang sama. Dari sekian panel yang penulis ikuti (dan sebagian besar bagian dari intelektual Maroko), seluruhnya bersepakat bahwa pendekatan damai adalah bagian penting dalam pendekatan keislaman yang diamini. Apapun bentuk negaranya.
Gambaran ini pula kami dapati dari para guru besar yang mengisi kelas workshop. Selama satu bulan, seluruh punggawa intelektual yang mengisi secara serempak bersepakat bahwa pendekatan keislaman yang dilakukan tokoh-tokoh keislaman dalam sejarah mereka juga melakukan pendekatan damai dengan pembahasaan versi mereka. Perihal pendekatan politik berbasis dinasti mereka tentu tema perbincangan lain.
ADVERTISEMENT
Kiranya memang demikian yang diwariskan seutuhnya dari ajaran Nabi Muhammad. Tidak berbeda.
Agama Sebagai Inspirasi
Sebagai penutup, penulis meyakini bahwa masyarakat muslim di Indonesia dan Maroko tidak berbeda secara kultur keagamaan. Pendekatan berbasis zawiyah/pondok, intervensi politik negara sebagai pengarusutama nilai agam, maupun visi keagamaan berbasis kedamaian sebagai model adalah bagian penting menjadikan agama bukan sebagai masalah kenegaraan, tapi sebagai inspirasi.
Jikapun kemudian permasalahan manusia berbasis ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan masih terjadi di sekitaran kedua negara tersebut, merupakan pekerjaan rumah kenegaraan yang masih terus disempurnakan. Negara sebagaimana tujuan awalnya, tentu tidak pernah berhenti untuk menyempurnakan masa depan warganya. Sebagaimana pandangan Gus Dur dalam Prisma Pemikiran Gus Dur bahwa usaha tersebut sebagai Perlawanan Kultural.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangannya, Gus Dur menyatakan bahwa,
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Maroko masih dikenal dunia sebagai negara dengan mayoritas penganut muslim. Keduanya, terus berupaya sedemikian rupa dalam balutan zaman menuju kesejahteraan umat dan rakyatnya berbasis agama Islam. Akankah terwujud? Optimis.