Konten dari Pengguna

Ruang Sunyi Negarawan yang Rapuh

Sufyan Syafii
Researcher in Ma'had Aly Jakarta dan Rembukan Penggiat Sejarah (REMPAH).
22 Agustus 2024 14:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Syafii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
suluh (source: pexel)
zoom-in-whitePerbesar
suluh (source: pexel)
ADVERTISEMENT
Jika dahulu, Chairil Anwar (1948) menuliskan sebuah bait, "Ini kali tidak ada yang mencari cinta..", maka realitas panggung politik kini yang terpantau kian berakrobatik, bisa saja kita menyetir sebuah bait, "ini kali tidak ada yang mencari negarawan".
ADVERTISEMENT
Adalah sebuah putaran kehidupan yang semakin membaku, bahwa posisi rakyat dalam puncak tertinggi bernegara seringkali terabaikan apabila hasrat elite politik sudah tersalurkan. Khususnya dalam kontestasi Pemilu, apapun itu tingkatannya.
Adakah Demokrasi yang kita adopsi ini benar-benar relevan dengan apa yang dimaksudkan oleh para Filsuf Yunani Klasik sebagai kedaulatan akan "kekuasaan" dan "rakyat". Ataukan kita memang sedang melaksanakan pernyataan Thomas Hobbes (w. 1679) dengan istilah negara sebagai kekuasaan absolut yang disebabkan egosontrisme manusia sebagai makhluk (absolute power to maintain peace).
Kiranya, peninjauan ulang akan makna bernegara dan cita-cita bernegara perlu terus diperbincangkan, tidak saja karena 'arena sirkus' parlemen kita sedang kian ramai memperkeruh linimasa, tapi juga keinginan bersama agar semua bermuara pada puncak kesejahteraan bernegara itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Negara dan Negarawan

Negara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, diartikan kedalam dua hal;
Yang pertama, negara adalah sebuah organisasi yang berapa pada suatu wilayah dan memiliki kekuasaan tertinggi secara sah serta ditaati oleh masyarakat di dalamnya.
Yang kedua, sebuah negara dapat disimpulkan sebagai kelompok sosial yang mendiami sebuah wilayah maupun daerah tertentu yang berada di bawah lembaga politik maupun pemerintah yang efektif, memiliki kesatuan politik, berdaulat yang memiliki tujuan nasional yang ingin dicapai oleh suatu wilayah tersebut.
Keduanya memberi pemahaman bahwa negara memiliki dua aspek: teroritorial, mapun substansial.
Teritorial menunjukkan tempat dan luasan wilayah yang didaulatkan atas negara itu, adapun substansial berupa cita-cita maupun perihal temali persoalan menujunya berikut perangkatnya. Agar tidak meluas, poin yang kedua yang akan dibahas serta menjadi topik tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Secara substansi, setiap negara bisa dipastikan memiliki upaya menuju mimpi besarnya masing-masing. Thus, secara substansi pula, perangkat-perangkatnya juga secara cepat disempurnakan untuk mencapai tujuan tersebut, baik politik, ekonomi, rumusan kesadaran sejarah, dan sebagainya.
Tujuan itu sangat dipengaruhi sekali dengan perangkat fisik (hardware) penting yang dimilikinya, yakni manusia.
Manusia dalam negara memiliki andil utama sebagai pemangku dan pelaksana adanya teritorial maupun substansi bernegara. Manusia dalam negara dapat menjadi peramu adanya kebijakan berupa Undang-undang, maupun pemusnah Undang-undang yang dibuatnya itu. Kendali itu penuh bagi mereka dan diwenangkan dalam sebuah ruang perumusan bernama sistem politik.
Hanya saja, sistem politik yang berlandaskan cita-cita di awal memiliki kerentanan akan adanya virus egosentrisme sepihak maupun pribadi, sebagaimana yang diramalkan Socrates (399 SM) bahwa negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan diri pribadi, negara menurutnya, adalah sebuah susunan objektif pelaksana dan penerap hukum-hukum yang memuat keadilan bagi umum.
ADVERTISEMENT
Atau jika dilihat melalui adigium Islam termuat dalam tujuan universal yang mulia, yang diistilahkan oleh para Ulama, negara bertujuan sebagaimana tujuan al-Maqashid al-Syar’iyyah.
Untuk itulah perangkat (hardware) berupa manusia-manusia dalam negara itu perlu ter-instal-kan sebuah perangkat lunak (software) pengetahuan akan tapak tokoh kebangsaan agar kemudian dapat menjadi perangkat yang utuh bernama negarawan.

Ruang Sunyi Negarawan

Jika menilik ruang sejarah kita, para tokoh bangsa yang termuat dalam lembaran buku sejarah selalu menawarkan suatu sudut pandang yang sama: proses panjang mencintai negara ini.
Proses panjang yang dilakoni telah membentuk karakter ‘manusia dalam negara’ itu tidak saja mengenal tujuan bernegara, tapi juga arah dan langkah konkret menempuhnya. Kerja-kerja manusia itu membuat mereka mengenal ruang imaji negara masa depan. Bukan sebuah ruang wacana yang tak tersentuh (untouchable). Proses menemukannya pun tidak mudah, tapi melalui pasang-surut hentakan psikis dan moral tiada henti. Hingga mempertaruhkan nyawa yang mereka pun tidak mengetahui akan seperti apa kehidupan setelahnya setelah mereka tiada: sebuah perdebatan ruang sunyi yang begitu dramatis.
ADVERTISEMENT
Ruang sunyi inilah yang sejatinya dimiliki oleh para negarawan. Sebuah ruang yang lembab, sebab terpenuhi luapan air mata melihat anak kecil tak mampu sekolah, moral yang terinjak-injak, para ayah yang putus asa, perempuan kurang gizi, dan ribuan permasalahan lainnya yang melembabi dinding-dindingnya.
Sebuah ruang yang gelap, sebab berisi renungan mendalam melintasi abad-berabad. Seperti labirin waktu, berputar mencari apa pun yang mampu menyelesaikan setiap jalan. Gelap, karena seluruh warnanya telah dileburkan dalam warna merah-putih.
Ruang sunyi yang tidak dimiliki oleh manusia dalam negara lainnya. Di dalamnya hanya ada satu cahaya: suluh harapan kepada Sang Maha Kuasa agar senantiasa menguatkan setiap usaha para petani desa yang tanahnya milik korporat, pedagang yang tersandera oleh pebisnis tengkulak, pengemis dan manusia silver lampu merah yang menjatuhkan harga dirinya, hingga buruh lepas yang lepas pula urat nadinya karena jeratan undang-undang simsalabim.
ADVERTISEMENT
Nahas, ruang sunyi itu tidak mudah dipahami oleh generasi selanjutnya. Alih-alih merasakan gemuruh ruang sunyi itu, sekadar menemukannya pun tidak mampu. Ruang sunyi itu kian terasa pekat. Dingin. Sebab kita tidak semua mau menuju ke sana karena sibuk bertarung dengan manusia (atau jelmaan manusia) bangsa ini sendiri, yang entah bertarung untuk siapa dan untuk apa.
Adakah saat ini sebenarnya kita sedang tersesat?