ChatGPT dan Matinya Kepakaran

Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Konten dari Pengguna
8 Maret 2023 21:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugeng Winarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Sugeng Winarno*
Log in ChatGPT. Foto: koleksi penulis
Kalau selama ini banyak orang yang selalu tanya apa saja ke Google, kini ada yang mulai beralih ke chatGPT. Kalau sebelumnya banyak pertanyaan pengguna internet ke “Mbah Google”, sekarang banyak yang berpaling ke chatbot cerdas dari OpenAI itu. Kemunculan chat GPT telah mengagetkan dan mendisrupsi kehidupan manusia. Penggunaan ChatGPT bisa jadi bukti bahwa era matinya era kepakaran itu benar-benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Munculnya chatbot cerdas bernama ChatGPT bikin heboh. Lewat Chatbot berbasis artificial intelligence (AI) ini mampu menjawab beragam pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ada yang menyambutnya dengan suka cita. Namun, tak sedikit akademisi yang khawatir penggunaan chatbot ini berpoteni menyuburkan praktik plagiasi. Teknologi baru sebagai sumber informasi dan pengetahuan ini bakal mendisrupsi dunia pendidikan dan pengajaran kita.
Teknologi ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI ini memiliki kemampuan yang baik dalam memahami konteks dan menghasilkan teks yang berkualitas. ChatGPT dapat digunakan untuk berbagai macam tugas generatif teks, seperti penulisan kalimat, pembentukan percakapan, penerjemahan dalam beragam bahasa, pembuatan esai, cerita, teks pidato, pengerjaan tugas-tugas sekolah, pengerjaan skripsi, pembuatan konten media sosial, dan aneka keperluan lain.
ADVERTISEMENT
Sistem kerja ChatGPT menggabungkan AI dengan natural language processing (NLP) sehingga seakan-akan pengguna berdialog dengan manusia. ChatGPT adalah sebuah large language model (LLM), yakni model bahasa yang telah dilatih dengan 300 miliar kata, 570 GB data yang berupa e-book, Wikipedia, dan berbagai artikel dari internet. Cara kerja LLM ini hanya menebak urutan kata-kata dari suatu sesi percakapan. Karena banyaknya pola kata yang telah tersedia, seolah-olah LLM ini bisa kita ajak untuk bercakap-cakap dan tanya jawab seperti manusia.
Sejumlah Kekhawatiran
Tak sedikit pihak mengawatirkan kemunculan chatGPT ini bakal berpengaruh pada banyak sektor kehidupan. Untuk urusan pendidikan misalnya. Diprediksi kemunculan chatbot ini bakal mengubah cara pendidik mengajar, membuat soal, mencari sumber pembelajaran, memberikan tugas pada siswa dan aktivitas yang lain. Cara siswa belajar dan mengerjakan tugas-tugas dalam proses pembelajaran juga bakal berubah menjadi lebih gampang.
ADVERTISEMENT
Pengguna chatbot ini semakin dimudahkan dalam membantu urusan dan pekerjaan manusia. Bisa jadi plagiasi juga semakin subur kalau pengguna chatbot ini hanya copy paste (copas) apa saja yang tersedia di chatGPT ini secara mentah-mentah. Padahal ChatGPT sejatinya hanyalah alat bantu, sementara hasilnya masih butuh tinjauan dan verifikasi dari manusia. Artinya, pengunaan chatbot ini tak ada jaminan akurat hasilnya.
Penggunaan chatbot ini ramai jadi pembicaraan warganet dan kalangan akademisi. Karena penasaran, saya pun mencoba membuat akun chatbot ini. Ternyata gratis dan tak berbayar. Walaupun menurut pemilik sistem ini ada juga versi berbayar yang diklaim bakal lebih lengkap dan canggih. Saya cukup masuk chat.openai.com untuk sign up. Setelah saya berhasil log in, saya coba memulai dengan membuat sejumlah pertanyaan dan meminta chatbot ini menjawabnya.
ADVERTISEMENT
Dari sejumlah pertanyaan yang saya ketikkan, hasilnya cukup bagus pada tema atau topik tertentu, namun ada juga jawaban yang tak akurat. Artinya, tak semua pertanyaan yang saya ajukan mendapat jawaban yang tepat. Namun menariknya, terhadap jawaban yang tak lengkap dan kurang tepat, chatbot ini bisa memberi klarifikasi yang cukup logis. Jadi, saya rasakan chatbot ini tak sama dengan pencarian seperti di search engine semacam Google, Bing, atau yang lain.
Saat saya tanyakan apa perbedaan ChatGPT dengan Google misalnya. Chabot ini menjawab bahwa ChatGPT dan Google adalah dua jenis teknologi yang berbeda. Google adalah mesin pencari yang digunakan untuk menemukan informasi di internet. Google mengindeks jutaan halaman website dan menyediakan hasil pencarian yang relevan untuk pengguna. Sedangkan ChatGPT adalah model bahasa yang digunakan untuk beragam tugas generatif teks. Google digunakan untuk mencari informasi yang sudah ada sedangkan ChatGPT digunakan untuk menghasilkan teks baru.
ADVERTISEMENT
Matinya Kepakaran
Kehadiran ChatGPT memang punya dampat positip. Namun melekat pula sisi negatifnya. Seperti umumnya teknologi, selalu berwajah ganda. Ada wajah baik dan jahatnya. Semua tentu tergantung pada orang yang menggunakan teknologi tersebut. People behind the technology yang menjadi penentu orang berhasil memanfaatkan teknologi atau menjadi korban dari dampak buruk teknologi.
Kemunculan ChatGPT bisa menjadi chatbot tempat bertanya tentang apa saja. Itu artinya semua pihak dengan beragam kepentingan dapat menggunakan chatbot ini untuk membantu urusannya. Karena chatbot ini menyediakan bermacam data dan informasi maka sangat memudahkan bagi penggunanya. Keadaan ini berpotensi membawa penggunanya berfikir instan dan dangkal.
Beragam sumber informasi yang disediakan chatbot ini sangat memungkinkan siapa saja dapat memanen informasi tentang apa saja. Gegara melimpahnya informasi ini bisa melenakan penggunannya dan cenderung alpha dalam melakukan verifikasi dan pelacakan kebenaran informasinya. Bisa mungkin penggunaan chatbot ini bakal semakin menyuburkan budaya copas. Hal ini tentu tak berdampak baik terutama bagi lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Budaya membaca buku dan sumber bacaan primer yang lain bisa semakin tergerus. Budaya berlama-lama menatap screen laptop atau smartphone akan semakin meningkat. Ketergantungan pada aneka gadget canggih menjadi tak terhindarkan lagi. Situasi inilah yang dapat menyuburkan cara berfikir super cepat tanpa kedalaman. Kedangkalan cara berfikir inilah yang bisa memicu munculnya beragam persoalan.
Kemampuan ChatGPT yang super canggih perlu diwaspadai. Beberapa lembaga pendidikan di luar negeri menyikapi fenomena kemunculan ChatGPT ini. Sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat, Australia, dan Inggris melarang penggunaan mesin pintar ini karena dikhawatirkan bisa berdampak negatif dalam proses pendidikan, pengajaran, penulisan skripsi, disertasi, jurnal ilmiah, dan beragam karya tulis lain.
Beberapa sisi buruk penggunaan chatbot ini perlu kita sikapi dengan bijak. Sebaiknya penggunaan ChatGPT lebih mengedepankan etika dan prinsip-prinsip akademis yang baik, seperti memberikan sumber yang sesuai dan kredibel. Selain itu, selalu diperlukan pengujian dan verifikasi terhadap informasi yang dihasilkan oleh ChatGPT itu asli dan bukan plagiat.
ADVERTISEMENT
Kalau apa saja bisa ditanyakan dan dijawab chatGPT, lantas siapa lagi yang bertanya pada guru, dosen, ahli, pakar, atau expert? Mungkin benar kata Tom Nichols tentang era matinya kepakaran (the death of expertise) itu. Entahlah, coba tanya rumput yang bergoyang. (*)
*) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang