Di Radio, Aku Dengar...

Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 5:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugeng Winarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Radio, media yang masih eksis hingga sekarang.
zoom-in-whitePerbesar
Radio, media yang masih eksis hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Oleh: SUGENG WINARNO*
Tanggal 13 Februari diperingati sebagai Hari Radio Sedunia (World Radio Day). Begitu pentingnya media radio hingga seluruh dunia memperingatinya. Tahun ini The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merayakan WRD ke 10 dengan tema New World, New Radio dengan subtema Evolution, Innovation, and Connection. Radio memang salah satu media yang masih eksis hingga saat ini. Bahkan saat pandemi COVID-19, radio telah memainkan peran dalam memberi informasi seputar wabah hingga memfasilitasi pembelajaran daring di beberapa daerah yang susah sinyal.
ADVERTISEMENT
“Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu” begitu penggalan lagu bertajuk “Kugadaikan Cintaku” yang pernah populer dibawakan penyanyi legendaris Jawa Timur, almarhum Gombloh. Tak hanya menjalankan fungsi menghibur lewat lagu dan aneka bentuk sajian auditif lainnya, kini radio telah bermetamorfose. Radio telah berubah wujud sesuai perkembangan zamannya. Radio sekarang tak hanya media audio, bahkan telah banyak yang berwujud audio visual.
Sentuhan teknologi terbaru telah menjadikan radio mampu menyerupai televisi. Tak sedikit stasiun radio yang menyajikan produk siarannya dalam bentuk radio visual dan radio streaming. Siaran radio juga tak lagi terkendala oleh halangan jarak dan rintangan alam seperti gunung yang tinggi. Tak ada lagi istilah blank spot area, karena radio kini banyak yang bersiaran dengan mengawinkan teknologi internet dalam wujud podcast dan aplikasi.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pengelola radio juga telah melengkapi teknologi siarannya dengan radio on demand. Siaran yang kontennya berdasar apa yang diinginkan pendengarnya. Beragam genre musik dan jenis informasi dapat dipilih oleh pendengar sesuai kebutuhan dan selera mereka. Radio memang telah berhasil berubah. Itulah mengapa Unesco mencanangkan tema WRD tahun ini dengan dunia baru, radio baru. Radio lahir menjadi media baru pada tatanan kehidupan yang baru.
Banyak stasiun radio kini tak hanya memperdengarkan lagu. Tak hanya menjadi media searah (one-way communication) seperti pada zaman awal kelahirannya. Kini radio justru mampu menjadi media yang interaktif (two-way communication) yang mampu melibatkan pendengarnya secara aktif. Keterlibatan pendengar inilah yang menjadikan media ini menjadi salah satu media yang terbilang demokratis karena dapat menampung aspirasi pendengarnya.
ADVERTISEMENT
Melalui radio mampu menjadi media bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan secara akses pada media. Lewat radio juga dapat menampung suara-suara kelompok yang selama ini lemah aksesnya pada media. Radio mampu menjadi sahabat masyarakat di pelosok-pelosok desa. Keragaman cara akses radio kini juga semakin memudahkan orang punya pilihan. Keterjangkauannya pun telah menerjang border wilayah geografis.
Tak jarang sejumlah radio menggelar acara perbincangan (talkshow) di udara. Menampung aspirasi masyarakat, menjadi ruang diskusi dan berbagi. Di daerah-daerah pelosok terpencil yang susah sinyal, siaran radio konvensional yang menggunakan pemancar biasanya masih mampu tertangkap. Seperti siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Di sejumlah wilayah perbatasan dan pelosok terpencil tak sedikit orang mengandalkan media radio.
ADVERTISEMENT
Radio juga telah menjadi ruang ekspresi bagi sekelompok orang terpinggirkan yang selama ini kurang terfasilitasi aspirasinya. Bagi sejumlah orang desa, radio tak hanya media untuk klangenan mendengar lagu-lagu campursari, uyon-uyon, atau pagelaran wayang kulit, namun sejumlah radio juga mampu memainkan peran to be the voices of the voiceless. Banyak radio siaran yang telah menjadi ruang wacana publik yang terbuka (public sphere) yang steril dari intervensi, dominasi dan kooptasi kekuasaan serta tekanan para pemilik modal.
Saat pandemi COVID-19 menyerang, radio tampil mengisi hari-hari banyak orang saat di rumah saja. Beragam kampanye terkait protokol kesehatan banyak disiarkan di radio. Masyarakat dalam beragam perbedaan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya bisa menyatu lewat medium radio. Di beberapa daerah terpencil dan susah sinyal internet, sejumlah guru mengajar menggunakan radio komunitas. Lewat radio pembelajaran pun bisa berjalan di tengah banyak keterbatasan saat pandemi.
ADVERTISEMENT
Media radio terbukti mampu menyatukan manusia dalam keberagaman agama, suku bangsa, budaya, dan perbedaan yang lain. Radio telah menjadi alat demokrasi. Radio merupakan jenis media yang paling banyak dikonsumsi umat manusia dengan kemampuan uniknya dalam menjangkau pendengar di seluruh belahan dunia. Radio punya fleksibilitas dalam melayani berbagai komunitas, menawarkan bermacam program, sudut pandang, dan konten serta mencerminkan keragaman pendengar melalui siarannya. 
Ilustrasi radio tape. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Seiring dengan berjalannya waktu, radio tak tergilas oleh perkembangan zaman. Justru media ini mampu beradaptasi dengan baik. Untuk itu radio bisa menjadi media yang layak diandalkan dan tetap bisa bertahan di tengah gempuran pandemi yang mampu mengurangi kinerja media massa secara umum. Radio tetap hadir menyiarkan sandiwara, berita, diskusi, feature, dan laporan pandangan mata dengan apik dan mampu membangun imajinasi kesedihan, kegembiraan, dan keindahan. Radio memang perkasa membangun imajinasi atau theatre of mind.
ADVERTISEMENT
Esensinya frekuensi yang dipakai lembaga penyiaran seperti radio adalah milik publik. Artinya lembaga penyiaran hanya meminjam frekuensi kepada publik. Untuk itu menomorsatukan kepentingan publik tidak bisa ditawar lagi. Radio harus tetap memberikan kritik sosial dan ruang publik bagi pemerintah dan masyarakat, karena itu menjadi wajah sejatinya dari kekuatan sebuah radio siaran.
Karena radio menggunakan frekuensi publik, maka idealnya hak-hak publik tak boleh diabaikan. Acara-acara yang disajikan hendaknya tetap berorientasi untuk kemanfaatan publik. Tak cukup itu, radio juga harus mampu mendidik publik. Di saat terjadi banjir informasi seperti saat ini, maka tak sedikit media massa yang menggelincirkan publik. Pada situasi seperti ini radio harus hadir sebagai penyeimbang informasi, pendidik, dan pencerah bagi publik yang kebingungan. (*)
ADVERTISEMENT
*) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).