Belajar dari Putrajaya

Sugih Satrio Wibowo
Penikmat Perjalanan || Senang Berkarya || Programme Officer @aksiberbagi
Konten dari Pengguna
3 April 2018 10:47 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugih Satrio Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kajian seputar pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta menuju lokasi alternatif lain yang dikaji oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sudah berada ditangan Jokowi. (Liputan6.com 03/01/18). Pertanyaannya, lalu apa yang akan Jokowi lakukan ?
ADVERTISEMENT
Arahan Jokowi kedepannya dalam menanggapi hasil kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memang ditunggu. Pasalnya, pemindahan Ibukota Jakarta bukanlah berita baru namun sudah menjadi wacana sejak masa pemerintahan Presiden sebelumnya. Episode terakhir dari berita pemindahan Ibukota ibarat sinetron drama keluarga di Televisi, sudah ketebak akhirnya. Berakhir dengan tanpa kepastian dan hanya menimbulkan intrik di permukaan. Mencoba melihat kebelakang saat intrik wacana ini berawal, ketika Presiden Soekarno di tahun 1957 berkeinginan memindahkan Jakarta. Pendapat sejarawan JJ Rizal yang dikutip dalam Kompas.com (05/07/17) mengenai peristiwa tahun 1957 ketika Soekarno berucap ingin memindahkan Ibukota dari Jakarta menuju Palangkaraya, Kalimantan Tengah adalah sebuah keliru. JJ Rizal berpendapat yang diinginkan Soekarno adalah membagi beban Jakarta dan menampilkan wajah-wajah baru muka Indonesia selain Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menampilkan Wajah Baru
Hasrat Soekarno untuk membagi beban Jakarta memang wajar, hari ini beban itu semuanya ada di Jakarta. Tumpah ruah menjadi satu dalam hiruk pikuk kerasnya Ibukota. Sebagai pusat ekonomi dan bisnis, sekaligus pengelolaan pemerintahan dan negara, telah membuat Jakarta tumbuh menjadi kota yang riuh. Ada beberapa rekomendasi yang ingin penulis berikan dengan melihat suksesnya pemisahan pusat pemerintahan dan ekonomi dari Malaysia ke Putrajaya. Walaupun hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional belum diketahui akankah memindahkan seluruhnya atau hanya memisahkan pusat ekonomi dan pemerintahan, namun penulis akan memberikan rekomendasi berdasarkan pemisahan pusat bisnis dan kelola negara sesuai dengan arahan Soekarno untuk membagi beban pundak Jakarta.
Pertama, ini adalah program jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Memisahkan pusat ekonomi dan bisnis dengan pengelolaan negara membutuhkan waktu yang panjang dalam penyediaan infrastruktur dan bangunan pemerintahan di daerah baru yang akan dijadikan Ibukota pemerintahan. Untuk itu, setelah diputuskan daerahnya, hal yang lebih penting lainnya adalah menentukan skema pembiayaan untuk membangun segala bangunan pemerintahan baru. Semua Kementrian, Istana Negara dan Badan Kordinasi terkait harus dibangun kembali dalam satu kawasan terhubung untuk efisiensi rapat dan pertemuan. Lalu bagaimana dengan bangunan lama yang ditinggalkan di Jakarta ? Hal ini juga harus dipikirkan skemanya, bisa saja disewakan sebagai gedung aktivitas bisnis.
Hal penting yang menjadi catatan adalah program pembuatan sentra pemerintahan baru membutuhkan niat yang berkelanjutan karena mungkin saja tidak selesai dalam jangka waktu satu periode Presiden. Artinya, harus ditetapkan kalau program ini merupakan proyek nasional yang tetap akan berlanjut siapa pun Presidennya. Walaupun Putrajaya secara resmi menjadi pusat administrasi Malaysia pada tahun 1999 namun pembangunannya dimulai pada 19 Oktober 1995. Itulah hal pertama yang bisa kita pelajari.
ADVERTISEMENT
Kedua, persiapan infrastruktur penunjang
Keadilan sosial yang sejati tanpa retorika belaka mungkin akan tercipta jika benar pemindahan pusat pemerintahan berlabuh pada pulau Kalimantan sebagai titik sentris Indonesia. Keadilan sosial ini akan terjadi sejalan dengan pembangunan fasilitas penunjang dalam memindahkan pusat pemerintahan. Tidak saja membangun gedung pemerintahan baru namun infrastruktur penunjang seperti jaringan jalan, air bersih, dan kecukupan kebutuhan listrik. Kasus pembakaran lahan mungkin tidak akan terjadi lagi karena jika terjadi pasti asap kejadian ini akan mengganggu kegiatan pengaturan negara. Tingkat keamanan terhadap kasus pembakaran lahan akan lebih serius diperhatikan. Begitu pun dengan kasus kekurangan air bersih dan kecukupan listrik. Pastinya pemerintah akan membangunan instalasi pasokan yang menunjang. Pembangunan infrastruktur penunjang ini menjadikan sektor baru dalam pemasukan negara dari segi pariwisata. Putrajaya tumbuh dengan segala keteraturan dengan konsep yang direncanakan. Strategi ini tepat digunakan untuk melunasi hasrat Soekarno menciptkan wajah baru muka Indonesia selain Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ketiga,pembatasan tempat hunian dan kota berkelanjutan
Menyediakan wilayah baru menjadi pusat pemerintahan bukan persoalan menyediakan lahan dan membangun gedung. Kita harus ingat alasan dasar pemisahan ini adalah untuk membagi beban Jakarta yang sudah penat, namun jika daerah pusat pemerintahan baru tidak mempunyai regulasi yang ketat dalam hal tempat hunian, dan kegiatan berpenghidupan maka opsi pemindahan ini hanya menjadi magnet baru perpindahan masyarakat. Selayaknya konsep kota berkelanjutan maka harus diperhatikan luas daerah yang menjadi hunian berapa persentasenya, ruang terbuka hijau berapa persentasenya, dan fasilitas penunjang lain.
Itulah beberapa rekomendasi yang bisa dipelajari dalam proses pemindahan pusat pemerintahan dengan ekonomi. Semoga ini tidak menjadi harapan kosong lagi dan hanya uap sesaat.
ADVERTISEMENT
Sumber
http://www.liputan6.com/bisnis/read/3214384/kajian-pemindahan-ibu-kota-sudah-di-tangan-jokowi
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/05/17312381/timbul.tenggelamnya.wacana.pemindahan.ibu.kota
https://www.merdeka.com/uang/pemindahan-ibu-kota-dari-jakarta-sudah-di-depan-mata.html
https://properti.kompas.com/read/2017/07/06/120744921/pindahkan.ibu.kota.indonesia.dapat.belajar.dari.malaysia
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/05/21360211/pemindahan.ibu.kota.pusat.pemerintahan.atau.keduanya.
https://finance.detik.com/properti/d-2365733/ini-kisah-malaysia-memindahkan-pusat-pemerintahan-ke-putrajaya