Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menembus Hutan, Perjuangan Mas Yasir Bertemu Keluarga
3 September 2018 18:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Sugih Satrio Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perpustakaan akhirnya dibuka hari ini. Berdasarkan jadwal kunjungan perpustakaan, kelas 4 lah yang berkunjung di hari ini. Kelas 4 putra mendapat kesempatan berkunjung pada istirahat pertama sedangkan putrinya pada jam istirahat kedua. Setiap siswa diharuskan membaca satu buku sesuai minatnya.
ADVERTISEMENT
Setelah membaca, mereka diminta untuk menuliskan pesan yang didapat pada buku administrasi masuk perpustakaan. Hari itu juga, tim marching band sedang berlatih untuk tampil saat pernikahan Mba Hartati, adik Pak Tri Silo, Kepala Sekolah MI Al-Istiqomah. Setelah mendapat alunan nada intro untuk pemegang drumm dan sner, hari ini kami harus mencari alunan yang pas untuk versi (bagian tengah) dan reff-nya.
Oh ya, nama ku Sugih Satrio Wibowo. 22 tahun. Alumni Teknologi Produksi Peternakan IPB. Ini cerita saat aku dan Reza Falufi (Administrasi Negara UNY) mengikuti magang kemanusiaan marching for boundaries dari Beasiswa Aktivis Nusantara dibawah naungan Dompet Dhuafa Pendidikan. Lokasi penempatan di Desa Bumi Makmur, Kecamatan Nibung, Kab. Musi Rawas Utara selama 29 hari. Namun, ini bukan cerita tentang pengalaman mengajar, atau saat kami mencoba mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM). Ini hanya salah satu cerita dari 29 hari yang menakjubkan. Kisah perjalanan seorang pemuda menuju pulang. Menjemput kasih dalam ridho orang tua.
ADVERTISEMENT
Kembali ke cerita. Istirahat kedua pun datang, kami masih melatih tim marching band, sehingga yang bertugas menemani anak-anak putri kelas 4 adalah Mas Fauzan. Seorang konsultan pendidikan dari Sekolah Literasi Indonesia yang sudah melakukan pengabdian 6 bulan lamanya saat kami baru datang kesini.
Alhamdulillah pengaktifan perpustakaan dan melatih marching band dapat berjalan beriringan.
Tepat pukul 14.30 dalam siang yang terik dibawah pohon sawit.
Mas Yasir, salah satu pemuda asli desa atau biasanya disebut sebagai wong dusun mengajak kami untuk pergi ke Satuan Pemukiman (SP) 11. Satuan Pemukiman adalah sebutan untuk wilayah pemukiman. Nomor 11 sebagai pertanda saja, karena tidak hanya satu wilayah saja yang dijadikan tempat tinggal.
Mas Yasir masih belajar di pondok pesantren Sorolangun, Jambi. Awalnya keluarga Mas Yasir tinggal di desa Bumi Makmur SP 1, tempat saya dan Reza mengabdi, namun karena urusan pekerjaan dengan PT Bumi Sriwijaya Sejahtera (BSS) maka mereka semua pindah.
ADVERTISEMENT
Saat Mas Yasir pulang dari pondok, dia begitu kaget karena keluarganya sudah pindah. Wajar, anak pondok dilarang membawa handphone. Sebelum kembali ke pondok, Mas Yasir ingin bertemu dengan ayahnya di SP 11, tetapi karena perjalanan yang sangat jauh dari SP 1 menuju SP 11 dan juga medan tempuh yang menembus hutan, maka keputusan pergi sendirian bukanlah pilihan tepat.
Kami berangkat dengan bensin sudah terisi penuh. Betul sekali. Kami memutuskan untuk berangkat mengantar Mas Yasir. Perjalanan ke SP 11 sangat menantang, seakan sedang mengikuti lomba offroad. Jalanan berupa tanah semua, setelah itu menembus hutan untuk melewati tanah yang basah dan licin. Keluar hutan, tanah naik turun kami jumpai.
Persimpangan jalan sebelum masuk hutan, kami bertemu suku anak dalam bagian lingkar luar hutan yang sedang berjalan kembali pulang ke rumahnya. Mereka mengarah ke dalam hutan. Tiga anak kecil itu tidak menggunakan alas kaki dan menaruh hasil pencariannya di hutan di dalam tas yang diletakan dikepala.
ADVERTISEMENT
“Beuh ini pertama kali aku melihat yang seperti itu” ucap ku kagum.
Akhirnya kami sampai di PT BSS, berbincang santai di kantor administrasinya untuk menanyakan rumah salah satu pegawainya, tentu yang tidak lain adalah Ayahnya Mas Yasir. Ternyata Ayahnya Mas Yasir bekerja dibagian pembibitan karet, artinya perjalanan masih berlanjut karena area pembibitan berbeda dengan area penanaman dan produksi.
“Jauh niaaan” ucap Reza menirukan gaya bahasa orang sini. “Nian” dapat diartikan sebagai banget atau sesuatu hal yang berlebih.
Motor ladang yang sudah tidak ada body cover-nya ini kami paksa untuk melaju. Sekitar 20 menit sampailah kami dengan selamat dan tentu tidak kecewa. Mengapa? Karena pemandangannya bagus banget. Hanya ada 4 rumah disini yang dikelilingi oleh perbukitan. Sungai mengalir ditengah panasnya Musi Rawas Utara. Hanya 30 menit dari sini menuju Sorolangun, Jambi.
Gambar 1. Ma fauzan dan Mas Yasir dalam panorama ladang pembibitan sawit.
ADVERTISEMENT
Makan sore dihidangkan, dan Mas Yasir meminta izin pamit untuk ke pondok untuk berangkat esoknya. Momen yang sangat mengharukan.
Perjalanan pulang, kami salah perkiraan waktu. Sampai di hutan pertama yang harus kami lewati, matahari ternyata sudah terbenam. Gelap tak terlihat, salah jalan sedikit maka kami tersasar kedalam hutan. Entah kemana. Belum setengah perjalanan dan hanya ada 2 motor sepanjang hutan itu, yaitu motor kami dalam perjalanan itu. Semua pegawai BSS sudah masuk rumahnya ternyata.
Pada hutan kedua yang harusnya dilewati, kami memilih untuk tidak melewatinya dan melaju lurus menembus jalan tanah basah. Kami takut tersasar karena tidak bisa melihat jalan setapak di dalam hutan itu karena gelapnya malam. Akibatnya, kaki penuh dengan tanah basah, motor sulit berjalan dan mengharuskan didorong sesekali untuk menembus jalan.
ADVERTISEMENT
Jantung ku berdegup kencang, takut kalau motor mogok disaat seperti ini. “It was the worstest thing I had ever imagine” Aku juga takut jika ada begal yang akan merampok. “Ah semua pikiran ini membuat ku semakin takut saja” gumam ku ke Mas Yasir.
Melihat lampu diujung jalan tanah, aku begitu senang. “Kita sampai ke pemukiman pertama” kata Mas Yasir. Setidaknya perasaan sendiri itu hilang. Motor melaju cepat, pertanda kami ingin pulang karena mata kami sudah mengantuk. Perjalanan ini akan selalu teringat. Pasti.
“Huh, untung masih selamat” ucap Reza