Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menjelajah Sampai Tua : Never Too Old to Learn
3 Oktober 2018 17:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Sugih Satrio Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini cerita saat akhir Agustus 2018. Ketika gue mendapat kesempatan mengikuti program kepemudaan di Thailand. Namun, konten dalam tulisan ini bukan tentang isi dari acara tersebut. Bukan itu. Ini cerita mengenai life input yang gua dapat. Ini semua berawal dari hostel murah dipinggiran Khaosan Road, Bangkok.
Gambar 1. Gua yang tengah, bersama delegasi dari Filipina dan Thailand. Mungkin lain kali gua ceritain mengenai insight acara tersebut. Nama acaranya YOUTH LEAD : ASEAN Youth Exchange 2018
ADVERTISEMENT
Siang itu, gua baru sampai di hostel. Namanya Subway Hostel. Bentuknya seperti rumah biasa berlantai 3 di Jakarta, pada lantai 2 dan 3 diperuntukan sebagai kamar bagi para traveller. Satu kamar terdiri dari 5 kasur tingkat, artinya satu kamar ini bisa digunakan untuk 10 orang manusia seperti Lucinta Luna tidur. Ukuran kamarnya gak besar sebenarnya, jika semua kasur penuh, ini lebih terlihat seperti ikan sarden dalam kaleng kadaluwarsa. Beruntung. Saat itu, cuma ada 7 orang dalam kamar yang gua tempatin.
Setelah gua menaruh ransel gunung di kasur dan sedikit berbincang dengan para roommate, gua pun keluar kamar untuk melihat-lihat daerah sekitar hostel dari jendela lantai 2. Dari atas gua bisa melihat betapa tak beraturannya penataan letak rumah disini, mengingatkan saat gua masih SD dulu melihat keadaan sekitar rumah nenek gua dari lantai 2 di Utan Kayu, Jakarta Timur. Di dekat jendela, terdapat meja panjang sebagai charging point dan juga jemuran. Gua melihat seorang Rusia mendekat. Parasnya begitu putih, sangat kontras dengan warga lokal sini yang mirip dengan abang-abang telor gulung berkulit sawo matang di Indonesia. Gua gak tahu namanya, untuk itu mari kita panggil dia sebagai Juminten.
ADVERTISEMENT
Juminten masih menggunakan handuk di badannya, dari jendela gua masih bisa mencium bau sabunnya. Di depan mata gua, dia bentangkan celana dalamnya dan menjemurnya di jemuran. Yaa... mungkin posisi gua aja yang engga tepat, ngapain juga berdiri di depan orang mau menjemur. But... It was awkward moment I had ever honestly.
Selain gua, disana ada seorang kakek yang awalnya gua kira pemilik hostel ini. Terjadi percakapan antara Juminten dengan kakek ini. Dari dialog mereka gua bisa mengerti kalau Juminten terlihat kesal karena jemuran sudah penuh dan dia masih punya tali beha yang masih belum dijemur. Repot sekali memang Juminten ini.
Setelah Juminten pergi, gua bertanya kepada Kakek tua itu,
ADVERTISEMENT
“what’s password of wifi here?”, dia pun menunjuk pada kartu kamar gua,
“five last number in fax number this hostle is the password”, jawabnya. Gampang banget pikir gue passwordnya.
Kalo gua jadi tetangga hostel ini, tiap tengah malem gua bakal bangun dan download semua serial movie One Piece dan episode spesialnya.
Kakek ini ternyata bukan pemilik hostel seperti yang gua kira. Dia sama seperti gua, orang bingung yang lagi merenung melalui travelling. Tapi ngapain juga kakek tua ini travelling pikir gua, gimana kalau saat perjalanan tulang belakangnya lepas dan menggeser klasifikasi dirinya menjadi hewan bertulang lunak. Setara dengan ulet bulu dan ubur-ubur.
Gambar 1. Ini kondisi sekitar hostel, udah kaya belakang Tanah Abang haha
ADVERTISEMENT
Dia bercerita, kalau anaknya sudah bekerja dan istrinya sudah meninggal. Tak ada alasan lagi bagi dirinya untuk tetap di rumah sendirian. Dia pun menabung dan memutuskan untuk menghabiskan sisa waktunya menjelajah negerinya. Kakek ini berasal dari Chiang Rai, Thailand bagian Utara. Sebelum ke Bangkok, dia berlibur ke Phuket, Pattaya dan banyak lagi tempat yang gua gak tahu dimana itu. Cuma 2 destinasi itu aja yang ketangkep di kuping gua saat dia berbicara dengan english logat Thai-nya itu.
Diakhir, kakek ini bilang ke gua, kalo dia gak pernah merasa sebahagia ini berkunjung ke berbagai tempat. Menjelajah negaranya sendiri dari ujung ke ujung.
Dia berkata, “I can rest forever at the end with happy situation now”
ADVERTISEMENT
gua sedikit terkejut atas perkataannya. Namun, setelah gua berpikir ini rencana yang hebat. Dan sepertinya tak harus menunggu sampai tua, rencana untuk berkeliling ke destinasi hebat lainnya di Indonesia.
Sebelum Kakek tua ini pergi, dia memberikan pisang kepada gua. Dia pun masuk ke dalam kamarnya. Dan hanya gua sendiri di meja panjang itu, bersama kipas angin yang masih terus berputar dan handphone yang belum full battery. Tentu, gua masih bersama pikiran gua. Atas perenungan langkah apa yang akan gua putuskan setelah kembali ke Bogor.
Satu hari setelah pertemuan itu. Gua harus check out dari hostel setelah sarapan. Kamar Kakek tua belum terbuka. Ah, masih tidur ternyata dia. Padahal gua pengen pamit pulang.
ADVERTISEMENT
Sebelum pesawat lepas landas dari Don Mueang Airport, ada pesan masuk ke Facebook gue. Akunnya bernama Pak Yim, setelah gua liat photo profile-nya, ternyata itu si Kakek tua yang gua temui kemarin.
Selain berkirim pesan akan berkunjung ke Indonesia dilain kesempatan, dia masih sempet aja ngirim video Lionel Richie dan CoCo Lee yang katanya lagunya enak untuk didengar. Padahal gua gak tahu juga itu siapa.
Thank you Pak Yim atas insight-nya