Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyusun Rencana Hidup itu Sulit
3 Januari 2019 17:48 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
Tulisan dari Sugih Satrio Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Padahal ini tentang diri sendiri, tapi berpikir jauh kedepan dan membayangkan kita akan menjadi apa adalah sebuah hal yang sulit. Setidaknya untuk saya.
ADVERTISEMENT
Masih seperti anak kecil, banyak sekali inginnya. Berharap menjadi diplomat bidang pertanian berkelanjutan, bercita dalam gempita dunia usaha berbasis start up atau berperan sebagai aktivis sosial dan lingkungan di daerah terpencil.
Semangat itu selalu muncul, berapi dan merasup dalam relung jiwa di setiap keseharian. Saat melihat banyaknya deforestasi dan hilangnya habitat orangutan, ingin rasanya turut ambil bagian dalam organisasi independen yang concern pada penyelamatan lingkungan. Tak lama, mata ini teralihkan oleh penawaran usaha teknologi yang begitu tergaungkan saat ini. Terkadang saya berhenti sejenak dan lalu berpikir, “gue ini inginnya apa ?”
Sejatinya proses ini pasti dilalui oleh semua orang. Dan periode ini adalah masa kritis yang menentukan tahun-tahun perkembangan seorang manusia. Saya pernah membaca kisah titik balik para pengajar muda Indonesia Mengajar. Para pemuda terbaik yang dimiliki bangsa, meninggalkan sejenak apa yang telah diraihnya selama proses hidup untuk mengabdi di pedalaman negerinya. Mencoba untuk menyentuh anak Indonesia lainnya yang jarang tersentuh.
ADVERTISEMENT
Mereka bukan para freshgraduate yang bingung mencari kerja dan menjadikan momen ini sebagai pengisi waktu setelah lulus. Beberapa kisah yang saya temukan, bahkan bercerita bahwa terdapat pengajar muda yang sudah bekerja di Australia selama setahun. Sudah dapat dipastikan, kegiatan pengabdian seperti ini bukan honor bulanan yang menjadi incaran, karena sudah pasti posisi mereka sebelumnya lebih menjanjikan.
Inilah yang dinamakan titik kritis seorang manusia. Ketika kesadaran akan jalan yang ditempuh bisa lebih baik, pasti jalan itu akan ditempuh walaupun harus berbelok tajam atau bahkan berputar arah. Lebih baik disini tentu berdasarkan persepsi masing-masing. Bisa untuk mengasah empati atau bahkan ada juga yang ingin merasakan benar-benar hidup seperti seorang manusia, karena merasa kemanusiaan seperti sirnah ditengah perkotaan.
ADVERTISEMENT
Saya juga pernah membaca kisah seorang Manager bank yang sudah mengabdikan dirinya bertahun-tahun, dia memilih keluar dan melanjutkan pendidikan masternya di luar negeri. Menariknya, bidang yang ia ambil adalah teknologi pangan. Sangat jauh dari karir sebelumnya. Dia bercerita bahwa merevisi rencana hidup pada pertengahan jalan adalah sebuah keharusan. Seperti judul tulisan ini, menyusun rencana hidup itu memang sulit. Kita tidak tahu terdapat potensi apa di depan sana. Dan kita juga tidak tahu, apakah jalan yang sudah diambil selama ini sudah tepat. Refleksi inilah yang harus dibangun dan dibentuk.
Menyusun rencana hidup bagi saya harus menggunakan strategi yang jelas pada periodenya. Kenapa pada periodenya ? Karena ditahun depannya bisa saja strategi ini harus dirubah. Bisa karena ada jalan lain yang tercipta atau bahkan strateginya sudah ketinggalan arus. Harus pintar memprediksi masa depan, kalau kata Anies Baswedan. Tapi ingat, kita bukan peramal, kita berjalan sesuai petunjuk yang ada didepan mata. Maka pastikan, petunjuk itu setidaknya mendekati tujuan.
ADVERTISEMENT
Bagian tersulit dari menyusun rencana hidup bagi saya adalah sifat egois. Hasrat pribadi terkadang mendorong untuk meletakkan setiap batu impian pada jalan yang menurut saya benar. Padahal setiap rencana setidaknya harus atas izin keluarga. Jangan sampai, perjuangan mencapai target ini malah membuat orang terdekat yang seharusnya tertolong karena adanya kita malah menjadi kesusahan.
Bagi saya tidak ada rencana yang pasti, yang pasti adalah sebuah perubahan.