Hari Radio Nasoinal, Hidupkan Kembali Memori 90an

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
Konten dari Pengguna
11 September 2019 13:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dulu ketika saya masih kecil hingga SMA orang mendengarkan siaran radio yang dipancarkan dari jauh menggunakan gelombang pendek atau Short Wave (SW) seperti Radio BBC, Radio Nederland, Radio Australia, dan lainnya. Kualitas suara gelombang SW kadang timbul tenggelam dan tidak jernih.
ADVERTISEMENT
Bila kamu termasuk generasi 90-an, kamu pasti pernah mengalami kenangan manis saat mendengarkan radio. Soalnya di zaman itu, radio merupakan salah satu media hiburan favorit buat anak muda. Di setiap rumah pasti minimalnya ada satu unit radio.
Dulu saya sampai bela-belain tidur tengah malam demi mendengar program radio favorit. Kadang saya juga suka request lagu, nggak lupa pakai salam-salam buat teman dan gebetan. kenangan itu sangat berkesan buat saya yang menjadi pendengar setia radio.
Siaran menggunakan Frekuensi Modulation (FM), seperti yang dikenal sekarang kemudian bermunculan sangat jernih sehingga suara musik stereo enak didengar. Tetapi, kelemahan gelombang FM tidak mampu melompati penghalang seperti gedung tinggi atau bukit.
Upaya stasiun radio menyapa pendengarnya di tempat tidak terjangkau terus dilakukan. Itu sebab ada stasiun relay, seperti dimiliki Radio Republik Indonesia (RRI), untuk menyambung siaran dari pusat atau Jakarta.
ADVERTISEMENT
Radio siaran swasta baru mampu melakukan siaran berjaringan (relay) menggunakan radio satelit (worldspace) yang muncul pada awal tahun 2000-an. Sistem radio satelit ini tergolong mahal sehingga tidak populer kemudian lenyap.
Sekarang siaran radio bisa didengar melalui internet atau streaming. Receiver atau alat penerima tidak lagi dalam bentuk radio transistor, tetapi melalui komputer atau telepon pintar. Dengan cara ini siaran radio bisa dinikmati lebih banyak orang dan betul-betul di mana pun berada.
Siaran dari Jakarta atau desa kecil terpencil selama ada jaringan internet akan bisa didengar sampai ke penjuru dunia. Radio tidak lagi disiarkan dan didengar sebatas izin balai monitoring (Balmon)-nya Kominfo yang ditakuti banyak pengelola radio.
Idealnya sebuah stasiun radio memiliki studio dengan pemancar berfrekuensi kemudian ditangkap menggunakan radio penerima, selanjutnya dilebarkan melalui internet dalam bentuk streaming. Tetapi, mengurus izin penggunaan frekuensi dan biaya mendirikan stasiun radio bukan perkara mudah dan murah.
ADVERTISEMENT
Panjang tahapannya serta mahal peralatannya. Maka itu, saat ini siaran radio menggunakan sistem streaming atau aplikasi komputer menjadi salah satu pilihan murah, cepat, dan modern.
Seseorang yang memiliki kegemaran cuap-cuap atau siaran radio sangat diuntungkan pada era Revolusi Industri 4.0. Ingin menjadi penyiar cukup menyediakan ruangan seukuran kamar mandi rumah sangat sederhana ditambah meja kecil untuk meletakkan mixer amplifier, laptop/komputer dengan microphone, selanjutnya sambungkan ke internet untuk di-streaming-kan. Tidak perlu izin Balmon Kominfo.
Selama isi siarannya menghibur dan mendidik tidak meresahkan masyarakat, bukan konten porno atau ajaran terlarang, dipastikan akan aman. Mau suka putar musik jazz, dangdut, sampai mendalang semalam suntuk bisa.
Mau elok lagi siarannya? Tambahlah kamera agar pendengar bisa mendengarkan suara sekaligus melihat wajah penyiarnya dengan aktivitas dalam studio.
ADVERTISEMENT
Jika dahulu penyiar legendaris RRI, Sazli Rais berceritera, sedang di kamar mandi karena menginap di studio, tiba-tiba operator teriak saatnya siaran warta berita jam tujuh pagi sambil masih pakai handuk lari menuju depan mikrofon langsung mengudara, sekarang tidak bisa lagi. Penyiar era milenial bukan hanya didengar suaranya, tetapi juga dilihat penampilan dan kecerdasannya.
Meskipun era berubah, tetapi sifat radio sebagai media pendidikan, informasi, hiburan, dan propaganda tidak berubah. Bahkan, sebagai media yang “personal” tidak bisa hilang.