Konten dari Pengguna

Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
7 September 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 111 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dari sejak dulu hingga sekarang ini, peran dari seorang buruh seringkali dikesampingkan dan dianggap tidak penting. Padahal, jika dilihat dari nilai historisnya buruh memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan perekonomian negara khususnya di sektor industri. Tanpa buruh, tidak mungkin proses produksi bisa berjalan dan menghasilkan devisa atau keuntungan bagi negara.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang sangat disayangkan, pengabdian mereka selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Karena pemerintah lebih mementingkan kepentingan kaum pemilik modal daripada kepentingan buruh itu sendiri. Hal tersebut semakin diperparah dengan sistem kapitalis yang diterapkan di Indonesia saat ini hanya menempatkan buruh sebagai salah satu unsur dari proses produksi, bukan sebagai faktor utama dalam proses ekonomi. Kondisi seperti inilah yang membuat para buruh tidak mendapatkan jalan lain melainkan dengan jalan mogok kerja dan aksi protes.
Sebagai sebuah gerakan sosial, gerakan buruh sangatlah disayangkan apabila tidak diangkat dan diulas secara lebih dalam. Pembuatan sebuah tulisan mengenai Gerakan buruh merupakan sebuah pekerjaan besar yang luar biasa. Dinamika yang terjadi di dalam sebuah masyarakat selalu jauh lebih kompleks dan rumit daripada yang dapat diuraikan oleh satu atau beberapa orang penulis. Dalam tulisan ini penulis hanya berkeinginan untuk memaparkan perjuangan yang telah ditempuh oleh gerakan buruh Indonesia, situasi ekonomi-politik yang sedang berkembang,
ADVERTISEMENT
Metode-metode yang dipakainya dalam tiap masa, dan akibat yang dirasakan oleh kaum buruh Indonesia dalam tiap masa pergerakan. Tentu saja, tidak semua orang akan sepakat dengan tulisan yang dibuat di sini. Tulisan ini semata ditujukan untuk membedakan keterorganisiran, unsur-unsur yang berfungsi sebagai tulang punggung gerakan dan manfaat/mudharat yang dirasakan kaum buruh Indonesia ketika masa tertentu berlangsung.
Diharapkan tulisan ini dapat membantu untuk membangkitkan semangat tentang bagaimana gerakan buruh harus dibangun untuk menghadapi tantangan dalam sebuah situasi tertentu yang berada di depan mata gerakan buruh.
Mengingat pergerakan buruh ini merupakan sempalan dan sebagian besar dari sejarah perjuangan Bangsa maka pemahaman dan pengetahuan akan gerakan buruh ini harus diketahui oleh banyak pihak dan masyarakat Indonesia sendiri. Pada masa sekarang-sekarang ini orang sering melupakan jasa dari para pendahulunya (Pahlawan Bangsa) khususnya dalam hal pergerakan buruh. Walaupun di dalam sejarah pergerakan buruh ini tidak dijelaskan secara terperinci namun tidak salahnya kita sebagai generasi penerus bangsa memahami hal ini dan mengambil hal-hal positif dari perjuangan para pahlawan.
ADVERTISEMENT
Pergerakan buruh di Indonesia memang sudah terjadi sejak lama. Kita dapat melihat sendiri bahwa dari mulai masa pra-imperialisme/kolonialisme pun sudah ada pergerakan buruh walaupun dalam skala/intensitas yang kecil dan masih digolongkan dalam gerakan yang bersifat kedaerahan. Gerakan buruh di sini lebih pada protes dari kalangan petani (buruh tani) terhadap pemerintahan raja/sultan yang merasa ditindas dan dieksploitasi.
Hal ini tentunya tidak lepas juga dari struktur masyarakat kerajaan yang masih menggunakan stratifikasi sosial dalam membagi kedudukan masyarakat. Bergerak kepada masa kolonialisme pergerakan kaum buruh semakin lebih intensif dan meningkat baik itu dalam kuantitas maupun jangkauan. Keadaan saat itu yang memaksa mereka melakukan pemogokan-pemogokan, dan pemberontakan-pemberontakan mereka terhadap pemerintahan kolonial yang sewenang-wenang terhadap petani, buruh, dan pegawai pabrik.
ADVERTISEMENT
Di dalam masa kolonialisme ini pun muncul banyak tokoh-tokoh pergerakan buruh yang memiliki andil besar dalam memperjuangkan kaum buruh dari penindasan. Tokoh-tokoh tersebut ada yang berasal dari kaum buruh itu sendiri, ataupun berasal dari kaum bangsawan, keagamaan, dan Nasionalis, bahkan komunis. Sebut saja mereka adalah Semaun, Suryopranoto, H. Agus Salim, dan masih banyak lagi yang berperan besar dalam konteks ini. Pada masa kolonialisme kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak kolonial digadang-gadang penyebab dari munculnya pergerakan buruh. Di sini juga dualisme kekuasaan raja dan sultan di kerajaan dan kesultanan dengan pemerintahan Belanda turut mempersulit posisi dan kedudukan rakyat. Orang-orang Cina yang diberi keleluasaan menanamkan modal di Indonesia oleh Belanda pun disebut-sebut banyak merugikan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Banyak organisasi dan perserikatan-perserikatan buruh pun dibentuk misalnya saja PFB, PPPB, PPPH, Perserikatan Buruh Kereta Api (VSTP), dan masih banyak lagi. Menuju era pergerakan kebangsaan rasa Nasionalisme pun muncul dari kalangan buruh dan pergerakannya semakin luas dan menyebar untuk menentang pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno pun sebagai tokoh pergerakan Nasional ikut turut serta dalam memperjuangkan kaum buruh di Indonesia. Sebagai seorang intelektual Soekarno muda memiliki gagasan-gagasan briliant dalam pikirannya dan memiliki kharisma seorang pemimpin dalam memimpin rakyat Indonesia. Melalui PNI Soekarno menegaskan bahwa pergerakan kaum buruh adalah pergerakan masa dalam jumlah besar dan harus dilakukan dengan habis-habisan karena banyaknya tuntutan yang mereka lontarkan. Paham Marhaenisme dan proletar yang diusung oleh bung Karno pun serasa memberikan semangat dan motivasi tersendiri terhadap perjuangan kaum buruh di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional. Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang beraliran kiri.
BAB I
Masa Gerakan Tak Teroganisir
Masa Kerajaan Indonesia
Pada masa ini kita membatasi pergerakan buruh hanya pada lingkup Kerajaan-Kerajaan yang memang memiliki sejarah tentang Buruh. Pada masa Kerajaan/Kesultanan misalnya kerajaan Mataram, Kesultanan Surakarta, dan sebagainya pergolakan yang terjadi di kalangan masyarakat Kerajaan tidak lepas dari pembagian lapisan masyarakat dalam stratifikasi sosial Kesultanan/Kerajaan. Struktur Kesultanan dan Kerajaan yang dibagi atas bentuk-bentuk seperti Raja, Priyayi, dan Kawula telah menjadikan kecemburuan sosial diantara masyarakatnya. Hal ini menimbulkan adanya pemberontakan dari kalangan buruh yang juga kebayakan adalah kaum petani. Pada masa feodalisme murni ini, terjadi pemusatan kekuasaan pada segelintir kelompok masyarakat yang dikenal sebagai kaum bangsawan, dan dipimpin oleh seorang raja atau sultan.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan roda perekonomian di daerah kekuasaannya para bangsawan menjalankan usaha agraris (pertanian) yang dilaksanakan oleh para tuan tanah, di mana para tuan tanah memerintahkan petani penggarap untuk bercocok tanam sesuai dengan apa yang diperintahkan para tuan tanah. Hasil dari pertanian yang dijalankan petani penggarap di berikan sepenuhnya kepada tuan tanah, dan sebagai upah atas kerja petani penggarap hanya diberikan sedikit hasil tani yang dapat menghidupinya sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup yang sangat sederhana. Dan mereka diberi lokasi tempat tinggal di sekitar tanah garapan yang sebenarnya tanpa disadari petani juga dijadikan sebagai penjaga tanah dan garapannya tersebut.
Penjualan dan distribusi hasil tani dijalankan para tuan-tuan tanah dengan dibantu kelompok pedagang yang memilik akses ke berbagi daerah lain yang membutuhkan hasil-hasil pertanian tersebut. Keuntungan yang didapat dimiliki sepenuhnya oleh para tuan tanah. Sebagai imbalan ke pihak bangsawan, tuan tanah memberikan berupa upeti atau persembahan yang pada dasarnya memohon agar mereka diberi hak lagi untuk menjalankan usaha di lokasinya. Di sini dapat dilihat bahwa pada corak kehidupan feodal, penindasan terhadap rakyat kecil (dapat dianggap bahwa para petani atau petani tak bertanah mempunyai kelompok masyarakat yang berjumlah besar dibanding kelompok masyarakat yang lain) terjadi secara sistematis (terstruktur).
ADVERTISEMENT
Penindasan secara langsung jelas dilakukan oleh para tuan tanah dengan tidak memberikan imbalan yang layak kepada petani penggarap yang sesuai dengan nilai kerja mereka. Dapat dipastikan bahwa tingkat kehidupan petani tidak akan beranjak ke tingkat yang lebih baik sampai kapanpun. Penindasan terhadap petani oleh tuan tanah dilakukan untuk mendatangkan keuntungan yang maksimal bagi tuan tanah mengingat mereka harus mengeluarkan biaya persembahan .
Sistem ekonomi feodal telah membentuk struktur masyarakat sebagai berikut :
Raja dan bangsawan, mewakili kelas penguasa politik, dimana mereka membuat segala aturan dalam politik kekuasaan ataupun ekonomi di dalam kerajaan.
Tuan tanah, sebagai pemilik alat produksi (berupa tanah) dan mengambil keuntungan dari hasil produksi tersebut. Perlu diingat bahwa kepemilikan alat produksi dari si tuan tanah tidaklah didapat dari suatu mekanisme kepemilikan yang mandiri. Kepemilikan tanah diberikan oleh raja (atau bangsawan)dalam bentuk hak pengelolaan dengan imbalan upeti. Ini nantinya yang akan membedakan corak produksi kapitalisme, kepitalisme pinggiran, dan feodal.
ADVERTISEMENT
Pedagang, sebagai kelompok yang mendistribusikan barang. Mereka mengambil keuntungan dengan mendapatkan selisih harga beli dari tuan tanah dan harag jual pembeli di tempat lain.
Petani penggarap, merupakan kelompok mayoritas yang secara ekonomi tidak memiliki kekuasan apapun.
Masa Tanam Paksa
Diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch (1830-1870) adalah satu masa penting dalam sejarah gerakan buruh. Pada masa inilah para petani di Nusantara, utamanya di Jawa (sebagai pusat kekuasaan Hindia Belanda), mulai dihancurkan prikehidupannya sebagai petani dan diubah paksa menjadi buruh tani. Tentu saja, di bawah akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini tidak memperoleh upah. Kondisi kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja paksa. Para petani Jawa diperkenankan memiliki tanah, namun harus membayar pajak natura berupa keharusan untuk menyerahkan sebidang tanahnya untuk tanaman komersial yang laku di Eropa. Pilihan lain adalah menyerahkan 66 hari dalam setahun untuk bekerja pada perkebunan milik Gubernemen. Tepatlah jika istilah koeli dipakai pada jaman itu. Dalam masa ini, dimulailah proses di mana prikehidupan tani feudal mulai digantikan oleh sebuah prikehidupan di mana kerja tidak lagi dikaitkan dengan tanah milik, melainkan dengan sebuah lembaga pencetak profit—dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan perkebunan milik Kerajaan Belanda.
ADVERTISEMENT
Era Liberal yang menyusul tahun-tahun Tanam Paksa menyebabkan tumbuh suburnya perkebunan swasta menggantikan perkebunan milik Kerajaan Belanda. Struktur pedesaan Jawa pun digerus oleh struktur industrial, sekalipun masih berupa industri ekstraktif. Perkebunan-perkebunan swasta pun dibuka di Sumatra, dengan sumber tenaga kerja para koeli kontrak—yang didatangkan dari Jawa atau Semenangjung Melayu. Kontrak-kontrak ini disertai ancaman poenale sanctie yang kejam.
Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab dengan tuntutan-tuntutan ini?
ADVERTISEMENT
Tiadanya pengorganisasian modern untuk mendukung pemogokan-pemogokan ini menyebabkan terjadinya kekalahan demi kekalahan di pihak kaum buruh. Para sejarawan juga enggan melakukan pencatatan terhadap pergerakan ini terutama karena tiadanya keteraturan dalam pemogokan-pemogokan tersebut.
Masa Penjajahan
Abad ke-19 adalah abad paling revolusioner dan penuh perubahan dalam sejarah Indonesia. Di awal abad 19 konsep negara-Kolonial Hindia Belanda disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk mempertegas pengelolaan wilayah Koloni yang sebelumnya hanya merupakan mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Pada abad 19 pula struktur masyarakat kapitalis terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javansche Bank didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik, sementara kaum bumiputera disiapkan sebagai buruh.
Perjalanan perburuhan sejak jaman Kolonial Hindia Belanda tonggak pentingnya adalah sekitar tahun 1830-1870 sebagai kurun Culturstelsel, sedang setelah 1870 pencanangan Agrarische Wet. Pada abad ke-19 telah ada buruh karena industrial kapitalistik (hubungan barang dengan modal) untuk memproduksi barang dagangan secara masal telah dimulai sejak 1830.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 1842 saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang-Karesidenan Pekalongan di desa-desa Kalipucang Kulon, Karang anyar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah-tanah baru yang berkondisi baik untuk dipakai menanam tebu dalam jangka dua tahun.
Pada 22 Oktober, kontrolir di kabupaten Batang melaporkan sejumlah 40 desa yang penduduknya melakukan Culturdienst tebu untuk masa tanam tahun yang lalu belum dilunasi upahnya untuk kerja muslim panen tahun ini sebab dianggap belum cukup memenuhi pajak natura tebu yang harus diserahkan yang telah tertera dalam kontrak kerja tahun 1841 dengan upah sebesar 14,22 gulden per orang. Penanam tebu yang terlibat dalam kerja tersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan melainkan berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah. Protes ini terjadi pada 24 oktober 1842 dan diikuti 600 penanam tebu dari 51 desa.
ADVERTISEMENT
Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan berturut-turut dalam tiga gelombang masa. Lokasi pemogokan adalah kabupaten Kalasan dan Sleman. Isu pemogokan tersebut adalah karena upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga yang dilakukan satu hari dalam satu pekan, kerja Morgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim dilakukan, upah tanam yang sering tidak dibayar, harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar, terjadinya kekerasan terhadap para petani.
Dilihat dari jumlah orang dan desa yang terlibat protes besar ini tidak hanya disebabkan faktor diatas melainkan juga disebabkan belum ada organisasi modern (serikat, partai dan sebagainya). Berdasarkan hasil penelitian, pada abad ke-19 cenderung diangkat persoalan protes petani. Sementara petani di Hindia Belanda adalah petani yang tidak dapat dikategorikan sebagai tuan tanah kapitalis, namun lebih merupakan petani gurem atau miskin yang hidupnya bergantung pada industri perkebunan yang diciptakan oleh Hindia-Belanda. Sehingga yang dimaksud dengan protes petani dengan telah adanya produksi barang daganga secara masal adalah buruh.
ADVERTISEMENT
Thomas Stamford Raffles, dalam kurun pemerintahannya (1811-1816) telah meletakan dasar-dasar penting bagi perburuhan mendasar di Jawa. Dia menerapkan pengambil-alihan seluruh tanah di Jawa menjadi milik negara . Raffles menginterpretasikan gejala penyerahan upeti pada para penguasa bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Kebijakan ini dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar (tuan tanah) yang ada di India, jajahan Inggris. Oleh Van den Bosch, konsep Raffles tentang pemilikan tanah diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya Culturstelsel dengan melakukan modifikasi.
Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai buruh semakin tidak dilandaskan pada penguasaan tanah. Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak sikap petani kaya yang juga dapat mencakup lurah dan wedono jelas mempunyai akses terhadap tanah. Namun beberapa lapisan sosial di bawah menumpang, lebih merupakan buruh dibanding lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial belakang adalah potensial menjadi buruh.
ADVERTISEMENT
Setelah tahun 1870 perkembangan industri menjadi demikian pesat. Jaman ini dikenal dengan jaman liberal yang direspon secara optimal oleh kalangan swasta Eropa dengan cara mengambil alih sektor perdagangan. Dalam hal pertanahan, para kapitalis perkebunan tersebut diperkenankan melakukan penyewaan tanah jangka panjang selama 75 tahun yang disebut erfpacht. Investasi dilakukan tidak hanya di pulau Jawa namun juga merambah hingga pulau Sumatera.
Bila investasi di Jawa memerlukan proses panjang dalam mentransformasikan petani menjadi buruh, struktur feodal/kerajaan menjadi struktur birokrasi kolonial, lain halnya dengan yang terjadi di daerah Sumatera Timur. Di daerah perkebunan-perkebunan tembakau dibangun mulai dari tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys mendatangkan para buruh dari wilayah melayu, dan pulau Jawa. Mereka diikat dengan kontrak dan kontrak tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha melarikan diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman.
ADVERTISEMENT
BAB II
Terbentuknya Serikat Buruh
Pembentukan serikat oleh buruh Belanda
Peristiwa aksi buruh menjadi tidak atau kurang muncul pada abad ke-19 lebih disebabkan belum ada organisasi serikat buruh. Ciri serikat buruh ini adalah tidak ada motif ekonomi dalam proses pendiriannya, tidak ada masalah sekitar tahun berdirinya serikat-serikat buruh tersebut. Faktor yang mendorong pembentukan mereka adalah pertumbuhan pergerakan buruh di Belanda. Sekitar tahun 1860-1870 di Nederland mengalami pertumbuhan pergerakan buruh dan sejak ada pengaruh gerakan sosial demokrat yang mendorong berdirinya National Arbeids Secretariats (NAS) sebagai induk organisasi. Pada saat itu di Hindia Belanda menetapkan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa ijin khusus dari pemerintah kolonial. Namun, pada tahun 1903 pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi susunan pemerintah kolonial dan menetapkan Bandung, Semarang, Surabaya, dan Batavia menjadi suatu gemente/ kota dan pengeturannya dilaksanakan oleh gementeraad (dewan kota), yang kemudian menjadikan pasal 111 RR tidak berlaku.
ADVERTISEMENT
Pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor, selain merupakan pengaruh dari perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan bagian dari kepentingan politik terbatas kehidupan kota. Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaannya serikat buruh ini tidak hanya merekrut anggota impor saja, melainkan juga menerima kalangan bumiputera.
Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri jajahan ini juga bersangkutan dengan semakin berkembangnya industri, terutama industri perkebunan, yang kemudian menuntut dikembangkannya sarana transportasi yang menghubungkan lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar, didirikannya sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga perkebunan yang handal dari kalangan pribumi, maupun perluasan jajaran birokrasi yang diperlukan untuk mengatur perekonomian modern yang lebih kompleks tersebut.
Berturut-turut lahirlah Nederlandsch-Indisch Onderwijzer Genootschap (1897), Statspoor Bond (serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat buruh gula, 1906), Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan trem, 1908), dll.
ADVERTISEMENT
Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi.
Program pendidikan merupakan salah satu program dalam politik balas jasa di awal tahun 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera ditambah dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor yang kemudian memicu serikat buruh dibangun oleh kaum pribumi. Serikat buruh pribumi antara lain Perkumpulan Bumiputra Pabean (PBP) tahun 1911, persatuan Guru Bantu (PGB) tahun 1912, perserikatan Guru Hindia-Belanda (PGHB) tahun 1912, Persatuan Pegawai Pegadaian bumiputra (PPPB) tahun 1914, Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) didirikan tahun 1917 di lingkungan industri gula.
ADVERTISEMENT
Persatuan Kaum Buruh (PPKB) adalah gagasan dari Sosorokardono, ketua PPPB (Pegawai Pegadaian) tahun 1919 yang dikemukakan dalam kongres SI ke IV, pada Oktober 1919 di Surabaya. Berdirilah PPKB dengan Semaoen sebagai ketua dan soerjopranoto sebagai wakil ketua. Tujua dibentuknya PPKB adalah bermaksud untuk mengajak da mengadakan persatuan antara kaum buruh sederajat sehingga mendapat suatu kekuasaan yang akan dipergunakan untuk kesejahteraan kaum buruh.
Cara yang ditempuh PPKB antara lain melakukan sesuatu sehingga kekuasaan pemerintah diperintah oleh rakyat sendiri, mengadakan perdagangan, mengeratkan kaum buruh senasib dan seperjuangan, dan mendirikan koperasi. Pada bulan Juni 1920 diadakan suatu konferensi di Jogjakarta yang kemudian menyebabkan terpecahnya PPKB dan terbentuknya gabungan baru bernama Revolutionaire Vakcentrale yang diketuai oleh Semaoen.
ADVERTISEMENT
Pemogokan-pemogokan dengan mengandalkan organisasi mulai gencar terjadi tahun 1920-an. Pemogokan-pemogokan yang semakin menjalar tersebut di respon Gubernur dengan menerbitkan peraturan baru yang mendukung berupa tulisan / artikel yang dimuat dalam surat kabar.
Serikat buruh Pertama di Jawa
Serikat buruh pertama di Jawa didirikan pada tahun 1905 oleh buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond (Staatspoorwegen Bond). Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang Belanda.
Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas anggota (826 dari 1.476 orang). Walau begitu, orang-orang pribumi tetap tidak memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912.
Pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, dengan naman Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp). Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond, Karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di bawah pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an, nama-nama mereka masih sering terdengar di kalangan pergerakan.
ADVERTISEMENT
Selain kedua serikat buruh ‘pelopor’ ini, masih ada sejumlah organisasi buruh yang lain, seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), yang didirikan pada tahun 1912; kemudian Opium Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik opium pada tahun 1915; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), pada tahun 1916, di bawah pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP-BOW), pada tahun 1916, yang didirikan oleh buruh-buruh pribumi pada dinas pekerjaan umum (seperti PU sekarang), Personeel Fabriks Bond (PFB) pada tahun 1919 di bawah pimpinan R. Mo. Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO), pada tahun 1924 untuk buruh-buruh perkebunan; Serikat Sekerdja Pelaboehan dan Pelajaran, dan sejumlah serikat buruh lain dari bidang pertambangan, percetakan, listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan sebagainya. Pada tahun 1920 telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh dengan 100. 000 anggota. Bertambahnya jumlah anggota dan serikat buruh dalam waktu relatif singkat, harus dikaitkan dengan aksi-aksi propaganda yang dibuat oleh para aktivis melalui pamflet, selebaran dan surat kabar. Rapat-rapat umum yang dihadiri oleh orang banyak juga sering diadakan oleh para aktivis untuk mendapat dukungan.
ADVERTISEMENT
Pada zaman ini, VSTP tetap menjadi serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung penting serta militan. Di bawah pimpinan Semaun, serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan kaum buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi kerja dan sebagainya. Dalam usahanya itu, Semaun membuat sebuah ‘buku panduan’ bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia. Para pemimpin VSTP ini, kemudian dengan sejumlah tokoh sosialis lainnya mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Tokoh-tokoh yang tidak setuju dengan gagasan ini kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) pada tahun 1917. ISDV ini kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920. Uraian ini setidaknya dapat memperlihatkan bahwa gerakan buruh di Indonesia sejak awal tidak terpisahkan dari aktivitas politik, bahkan bisa dibilang muncul secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah munculnya suratkabar sebagai orgaan (corong) masing-masing organisasi. Pada dekade 1920-an tercatat bahwa di setiap kota besar, ada penerbitan surat kabar, baik sebagai corong organisasi tertentu, maupun tidak. Kehidupan pers pada masa tersebut relatif bebas, karena untuk menerbitkan surat kabar, tidak diperlukan izin khusus dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga sebaliknya pemerintah tidak dapat melakukan pembredelan. Penerbitan surat kabar menjadi elemen yang penting dari gerakan buruh, karena masing-masing organisasi dapat mengemukakan pandangan mereka serta melakukan perdebatan melalui sarana ini. Para aktivis umumnya mengandalkan surat kabar baik sebagai sarana perdebatan sesama aktivis maupun untuk mengkritik sejumlah kebijaksanaan pihak pengusaha dan negara.
Sarekat Islam dan ISDV adalah dua organisasi yang mendominasi kehidupan politik pada awal abad XX. Tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Sosrokardono, Surjopranoto, Semaun dan lainnya juga menjadi aktivis kedua organisasi tersebut. Di antara cabang-cabang SI yang terkenal militan adalah SI Semarang. Pada masa itu masih dibolehkan keanggotaan ganda, sehingga Semaun misalnya, sekaligus menjadi anggota dari Sarekat Islam, ISDV dan VSTP.
ADVERTISEMENT
Keanggotaan ganda seperti ini pada masa selanjutnya membawa persoalan juga, sehingga mulai diperkenalkan adanya displin partai, yang mengharuskan anggotanya memilih asalah satu organisasi saja. Pada bulan Desember 1919 diadakan konferensi serikat buruh di Jawa, dan sebagai hasilnya muncul Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) yang menjadi badan sentral organisasi buruh yang ada.
Badan ini dipimpin oleh Semaun sebagai ketua,Suryopranoto sebagai wakil, dan H. A. Salim sebagai Sekretaris. Organisasi ini terhitung sebagai federasi serikat buruh pertama di tanah Hindia. Konflik di dalam PPKB antara golongan kiri dan Islam –atau lebih tepat antara SI dan ISDV/ PKI tidak dapat dihindari dan terjadi perpecahan. Golongan kiri meninggalkan PPKB dan mendirikan Revolutionair Vakcentrale (RVC). Federasi serikat buruh ini terdiri dari 14 organisasi, termasuk VSTP. Serikat buruh lainnya seperti PPPB, PFB, dan VIP-BOW, tetap bergabung dalam PPKB. Perpecahan ini tidak berlangsung lama karena masing-masing pihak merasakan perlunya sebuah organisasi pusat yang kuat untuk membela kepentinga kaum buruh. Pada bulan September 1922, kedua federasi itu bergabung kembali di bawah naungan Persatoean Vakbonden Hindia (PVH). Pada tahun 1922, PVH menyatakan bahwa anggotanya terdiri atas 18 serikat burh dengan 32. 120 buruh.
ADVERTISEMENT
Aksi-aksi yang dilakukan gerakan buruh pada masa ini, amat beragam. Pada masa 1920-23, aksi pemogokan berlangsung di berbagai tempat. Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920, yang dilakukan oleh PFB. Buruh-buruh industri gula melalui organisasi ini menuntut kenaikan upah. Pada bulan Agustus, PFB mengumumkan bahwa akan terjadi pemogokan besar kepada pihak pengusaha. Walaupun mereka telah memberikanultimatum, pihak pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga pemogokan tetap berlangsung. Gubernur Jendral cepat mengambil tindakan, dengan melarang kegiatan pemogokan itu.
Buruh pada Masa Pergerakan Nasional
Sejak pertengahan 1921 terjadi resesi ekonomi di Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak pengusaha dengan menurunkan tingkat upahnya. Di Surabaya pada tahun 1921 terjadi pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah yang dikurangi oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh yang umumnya berasal dari Madura tidak mau bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka hanya duduk di sepanjang Kali Mas sambil membicarakan pengurangan upah mereka. Pengusaha kemudian mencari alternatif untuk mengatasi persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang dituntut oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh yang semula mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau kembali bekerja dengan tingkat upah yang ‘disesuaikan’, sedangkan sebagian lainnya tetap tidak mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara tuntas, walaupun pihak pengusaha mengalami kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan itu, tidak sekuat buruh-buruh Madura.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Agustus 1925 terjadi pemogokan di pelabuhan Semarang. Sebelumnya setahun penuh, SPPL telah mengorganisir buruh-buruh pelabuhan. Walau demikian, pemogokan tersebut tak dapat dikatakan sepenuhnya dijalankan berkat agitasi dan propaganda SPPL, melainkan karena ada tuntutan dari kaum buruh sendiri untuk menaikkan tingkat upah. Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa itu amat buruk dan tidak memadai. Gubuk-gubuk yang membentuk kampung menjadi hunian sementara, dalam lingkungan yang sangat buruk sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota Semarang sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini, timbul semacam solidaritas.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketika para pelaut melakukan pemogokan, tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka memilih ikut mogok bersama. Reaksi pihak pengusaha cukup keras walaupun dalam pemogokan ini pihak buruh tidak melakukan perusakan atau sabotase. Perusahaan itu mengerahkan polisi untuk memeriksa perahu-perahu dan kapal yang biasa dijalankan oleh buruh. Para manajer perusahaan (orang-orang Belanda) diberi penjagaan khusus untuk menghindari tindak kekerasan.
Dari sejumlah catatan aksi tersebut, terlihat bahwa hubungan sesama buruh menjadi amat penting. Kampung, sebagai tempat tinggal mereka menjadi sarana penghubung untuk memberitahu aksi-aksi yang akan dilakukan buruh, sehingga persatuan di antara mereka dapat digalang dengan mudah. Para aktivis gerakan buruh sendiri mengakui bahwa penggalangan kekuatan buruh di pelabuhan, adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena umumnya mereka tidak bekerja secara tetap. Pekerjaan sampingan sebagai buruh tani di desa membuat mereka tidak sepenuhnya bekerja di pelabuhan, dan tentunya pengalaman kolektif sebagai buruh yang berhadapan dengan modal, tak begitu dirasakan. Hal ini amat berbeda dengan para buruh di perusahaan kereta api, rumah gadai, industri cetak, dan pabrik yang menggunakan mesin.
ADVERTISEMENT
Buruh trampil yang bekerja tetap memiliki peranan sentral dalam gerakan buruh pada masa itu. Mereka menjadi semacam penghubung antara para intelektual dan massa buruh yang bekerja di pabrik, pelabuhan, rumah gadai dan sebagainya. ‘Kelebihan’ sebagian buruh ini pada gilirannya juga menjadi masalah dalam menangani gerakan buruh. Karena ketrampilannya (baca, tulis dan lainnya) mereka tahu bahwa posisinya menjadi penting, baik dalam gerakan buruh maupun dalam kegiatan ekonomi kolonial. ‘Kelebihan’ ini pula yang membuat mereka cenderung diperlakukan baik oleh penguasa dan menerima upah yang tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh dalam hubungan mereka dengan massa buruh lainnya. Masalah lain yang juga menghambat gerakan buruh yang kuat adalah pembagian tempat kerja, yang disusun berdasarkan pangkat, status, sukubangsa dan wilayah.
ADVERTISEMENT
Reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan buruh juga menarik. Mereka umumnya mengecam tindakan-tindakan pemogokan sebagai ‘aksi komunis’ — dan bahkan menyatakan “seandainya orang-orang komunis tidak melakukan propaganda dan agitasi, maka tidak ada pemogokan”.
Dalam sebuah penelitiannya, John Ingleson, seorang sarjana Australia yang mempelajari sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda, memperlihatkan bahwa kebanyakan pemogokan pada periode 1918-1926 disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang amat buruk. Memang benar bahwa orang-orang komunis memegang peranan besar dalam menggalang kekuatan kaum buruh dalam organisasi, tapi tak dapat dilupakan bagaimana kondisi kerja yang buruk juga mengizinkan buruh untuk melakukan aksi-aksinya.
Pemerintah Hindia Belanda yang amat reaksioner di masa itu, tidak bertentangan dengan pengusaha yang melakukan eksploitasi. Walaupun negara kolonial tidak dikendalikan oleh kelas tertentu, kepentingan mereka agaknya masih bersambungan.
ADVERTISEMENT
Sejak Desember 1925, pengorganisasian buruh di perkotaan semakin sulit. Kebanyakan serikat buruh tidak berjalan dengan baik karena pemimpin-pemimpin mereka banyak yang berada di penjara atau pengasingan. Para aktivis setempat umumnya kehilangan pekerjaan, atau sangat khawatir bahwa mereka akan mengalaminya. Mereka kemudian cenderung bekerja dengan tenang, dan dengan sendirinya menyampingkan kegiatan organisasi. Sejumlah pemogokan tetap dilakukan, dan sifatnya lebih spontan, karena ada persoalan-persoalan lokal, seperti upah yang tidak terbayar. Hal ini dapat ditemui di pelabuhan, tempat percetakan, dan pabrik. Setelah dikalahkannya pemogokan buruh di Surabaya di bulan Desember 1925, fase pertama gerakan buruh di Indonesia berakhir. Serikat-serikat buruh tetap berdiri, walaupun kehilangan banyak aktivisnya.
Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi perlawanan di seluruh Jawa dan bagian Barat Sumatra. Pemerintah Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan kekerasan, dengan hasil ratusan orang terbunuh, dan ribuan lainnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah Tanah Merah di Nieuw Guinea (Irian Jaya pada masa sekarang). Keadaan tempat pembuangan tersebut amat buruk, dan belum pernah dihuni manusia sebelumnya. Orang-orang buangan dipaksa membuat sendiri tempat tinggal mereka di tengah hutan dan rawa. Penyakit yang paling sering muncul adalah malaria hitam yang mematikan. Sejumlah tokoh pergerakan seperti penyair aktivis Mas Marco Kartodikromo, Najoan dan Ali Archam meninggal di tempat ini. Pemerintah Hindia Belanda menuduh bahwa gerakan itu didalangi oleh orang-orang komunis dengan dukungan Komintern. Dengan tindakan pembuangan ini, pemerintah Hindia Belanda telah berhasil menumpas pergerakan radikal di Jawa dan menyingkirkan tokoh-tokohnya yang paling berpengaruh, sehingga tidak dapat mengadakan kontak dengan mereka yang terus bergerak. Setelah peristiwa 1926 ini, organisasi seperti PVH tidak lagi terdengar, begitu pula dengan VSTP, PFB dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Hilangnya tokoh-tokoh radikal itu amat berpengaruh pada perkembangan gerakan buruh di Jawa. Tokoh gerakan buruh yang masih bertahan tidak lagi dapat menggunakan cara-cara seperti sebelumnya, karena sejak 1927 pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan terhadap gerakan-gerakan radikal. Beberapa tokoh kritis di Belanda sendiri, menilai tindakan negara Hindia Belanda sudah menjurus pada fasisme. Pada bulan Juli 1927, buruh kereta api mendirikan Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST) yang dalam beberapa bulan saja berhasil menghimpun sekitar 5.000 buruh. Sejumlah organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali digerakkan secara bertahap, walaupun kekuatannya lebih lemah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang beranggotakan beberapa serikat buruh lokal. Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ‘komunis’ — sama pemerintah Orde Baru menuduh aktivis buruh di zaman itu sebagai ‘PKI’ atau ‘keturunan PKI’. Organisasi ini berkembang cepat sampai ke Medan, yang dipimpin oleh Mr Iwa Kusumasumantri. Pada tanggal 1 April 1929 SKBI bergabung dalam Liga Menentang Kolonialisme dan Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale Ketiga (Komintern). Kecurigaan Belanda memuncak, dan pada tahun 1929 mereka menggeledah kantor-kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua pimpinannya, yang kemudian dibuang ke Boven Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pada bulan April 1930 sejumlah serikat buruh yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali membuat federasi serikat buruh dengan nama Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN). Sementara itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum buruh kembali bergabung di bawah naungan Persatoean Sarekat Sekerdja (PSSI), yang dibentuk beberapa bulan setelah PVPN. Kedua organisasi ini menjadi pimpinan gerakan buruh pada masa setelah 1926, dan tidak melakukan kegiatan atau aksi yang berarti. PVPN misalnya sama sekali tidak melakukan pembicaraan politik dan bergabung dengan federasi serikat buruh internasional pada tahun 1931. PSSI sendiri, walaupun memiliki organisasi yang baik, tidak melibatkan mayoritas buruh yang tidak memiliki organisasi. Kecurigaan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung terhadap gerakan buruh ini, dan dengan mudah mereka dapat melakukan penangkapan tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke luar Jawa.
ADVERTISEMENT
Depresi 1929 membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan gerakan buruh. Kesulitan ekonomi mengakibatkan para pengusaha mengambil jalan pintas, yaitu memecat buruh-buruhnya. Hal ini dengan sendirinya berpengaruh kepada keanggotaan serikat buruh yang ada. PVPN misalnya, pada tahun 1933 kehilangan sekitar 8.000 anggotanya. Banyak organisasi yang bernaung di bawah federasi ini mati di tengah jalan. Hal yang sama juga dialami oleh PSSI. Dalam masa resesi, hanya golongan Tionghoa yang berhasil mencatat sejumlah kemajuan.
Di beberapa kota besar, seperti Semarang, Jakarta dan Bandung, mereka berhasil mendirikan Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Tionghoa (PKBT) dan Serikat Boeroeh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah konperensi tanggal 25 Desember 1933, mereka mendirikan Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa (FKBT). Kedatangan Direktur ILO, Harold B Butler pada bulan Oktober 1938 sebenarnya membawa banyak harapan, tapi seperti yang diamati kemudian, tidak terjadi kemajuan yang berarti.
ADVERTISEMENT
Rencana pembentukan partai politik menjelang tahun 1938 menjadi pembicaraan yang hangat. Sebagian orang yang merasa bahwa perlunya didirikan sebuah partai untuk membela kepentingan buruh mendirikan Indische Partij van Werknemers. Pada tanggal 7 Oktober 1938 di Jakarta. Alasan pendirian partai ini, dalam rapat pelantikan disebutkan bahwa hasil organisasi yang kuat untuk memberi dukungan kepada gerakan buruh. Di samping itu IPVW juga bertujuan memberantas pengangguran serta kesulitan-kesulitan lain dalam memajukan industri rakyat. Munculnya partai ini tidak serta merta diterima oleh serikat-serikat buruh yang ada. PVPN misalnya mengeluarkan pernyataan ‘sebelum PVPN menetapkan sikapnya… perlu diselidiki dulu keuntungan dan kerugian kita atas pendirian partai baru ini dan bagaimana sambutan masyarakat atas lahirnya partai ini
ADVERTISEMENT
Pada masa pendudukan Jepang, seperti diketahui, terjadi kemacetan dalam bidang politik. Pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan politik, kecuali beberapa lembaga yang didirikan secara khusus untuk kepentingan mereka. Gerakan buruh secara umum mengalami kemacetan, hanya sejumlah tokoh yang tetap aktif, dan itu pun bukan dalam kegiatan serikat buruh. Banyak di antara mereka bergabung dengan kegiatan bawah tanah yang tersebar di Jakarta dan Jawa Timur.
Hal yang penting untuk dicatat dari gerakan buruh di zaman kolonial, adalah kenyataan bahwa gerakan tersebut tak pernah terlepas dari kegiatan politik. Artinya, pada masa sebelum 1927, gerakan buruh jelas memiliki persekutuan dengan kegiatan politik, seperti VSTP yang berhubungan erat dengan ISDV. Begitu pula dengan serikat-serikat buruh lainnya. PPKB sendiri sebagai federasi gerakan buruh yang pertama di Hindia, merupakan hasil pergolakan politik, dan tidak muncul begitu saja. Pada masa setelah tahun 1927, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap dunia pergerakan (melalui pelarangan, penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan sebagainya) mengakibatkan munculnya organisasi buruh yang lebih moderat ketimbang masa sebelumnya. Dibuangnya sejumlah tokoh radikal tentu berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial-politik di Hindia.
ADVERTISEMENT
Hal ini membuktikan bahwa kepentingan negara dan modal di satu pihak, selalu berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang merupakan mayoritas. Pada masa 1927-1942 negara berhasil menancapkan kembali dominasinya dalam kehidupan sosial politik yang semula ‘terganggu’ dengan adanya gerakan buruh yang radikal tersebut.
BAB III
Soekarno dan Kaum Buruh
Gagasan Soekarno Tentang Gerakan Buruh
Sejarah gerakan pembebasan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai berbentuk gerakan politik massa, peranan gerakan buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan serikat buruh, seperti dicatat oleh Ruth Mc Vey, telah menandai perkembangan menakjubkan dari perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.
Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional. Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang beraliran kiri.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kendati gerakan buruh telah menjadi elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar nama seperti Semaun dan Soerjopranoto dalam gerakan buruh. Saat ini, misalnya, kita begitu akrab dengan gagasan Soekarno terkait dengan ide-ide perjuangan nasional, sedangkan soal gagasan perjuangan buruhnya kurang kedengaran.
Soekarno sangat akrab dengan sosok-sosok pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, dsb. Sebagai seorang Marxist, Soekarno pun sangat akrab dengan berbagai aliran pemikiran sosialis dan komunis, mulai dari Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.
Bukankah Soekarno pernah berkata, “Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam “world of the mind”; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar.”
ADVERTISEMENT
Setidaknya, dari berbagai tokoh tersebut, Soekarno memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming, termasuk dalam membangun gerakan serikat sekerja/serikat buruh. Dalam tulisan berjudul “bolehkan Sarekat sekerja berpolitik?”, Soekarno telah mengeritik habis-habisan tuan S (nama inisial, dalam harian pemandangan) yang menuntut gerakan serikat buruh tidak usah berpolitik. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan politik bagi serikat buruh, paling tidak, adalah dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan “politieke toestand”. Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.
Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.
ADVERTISEMENT
“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”, demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno telah berkata, “politik meminta-minta tidak akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal dan kerja”.
Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme dan kapitalisme.
Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin.
Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan nature (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust (sadar), demikian dikatakan Soekarno.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, dalam perjalanan menuju penghancuran stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional untuk menggulingkan penjajahan dan mencapai Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek politik, Soekarno mengharuskan pergerakan buruh mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Lenin pernah berkata, bahwa di negeri jajahan dan setengah jajahan, “secara objektif masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat umum, yaitu tugas-tugas yang demokratis, tugas-tugas untuk menumbangkan penjajahan asing.
PNI dan Gerakan Buruh
Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar terhadap pergerakan buruh.
Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno, saat memandang gerakan massa sebagai komponen penting perjuangannya, telah menempatkan pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).
ADVERTISEMENT
Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi “Persatoen Motorist Indonesia”-(PMI). Di Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).
Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kaum Marhaenisme dan Proletar
Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain. Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar, tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi, bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum marhaen ini adalah kaum proletar.
Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan “keadaan” antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa, kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan, sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian. Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa bersifat “zuivere industri” (murni industri), sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet, kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.
ADVERTISEMENT
Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa panji-panji. Soekarno telah berkata, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.
Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José Carlos Mariátegui, yang telah berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat, dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. “Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!” demikian dikatakan Soekarno.
ADVERTISEMENT
Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai missal, perkembangan sektor informal yang sudah mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk menggunakan teori kelas secara kontekstual.
Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional.
Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja menyaksikan perpecahan tajam di kalangan pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita akan goyah.
ADVERTISEMENT
BAB IV
Suryopranoto dan Kaum Buruh
Timbulnya pergerakan Buruh
Pergerakan kaum buruh di Indonesia muncul di awali dengan pergerakan politik Indonesia terlebih dahulu. Adapun pergerakan buruh di Indonesia timbul akibat adanya 4 faktor utama yaitu pertama, karena perkumpulan-perkumpulan politik, maka pikiran kaum buruh menjadi terbuka untuk berorganisasi. Kedua, adanya contoh-contoh cara menyusun dan cara bekerja perkumpulan pekerja bangsa Eropa dan campuran antara Eropa dan Pribumi secara bersama-sama. Ketiga, pergerakan sekerja timbul dalam masa dunia, yaitu pada saat merosotnya syarat-syarat penghidupan dengan akibat kesukaran dan pemasukan barang. Keempat, hasrat orang-orang politik mendekati para pekerja untuk memperkuat aksinya dengan menggunakan perkumpulan buruh.
Pada tahun 1905 Belanda membuka peluang untuk dunia Internasional untuk menanamkan modal-modalnya di Indonesia, dalam istilah lain disebut Open der Politek (Politik pintu terbuka). Setelah menyadari bahwa Indonesia di eksploitasi oleh Belanda maka munculah suatu rasa perjuangan yang bersifat kebangsaan dan hal ini pun kemudian memotivasi gerakan buruh pada tahap selanjutnya. Gerakan Buruh pertama adalah S.B. (Serikat Buruh) dari kereta api Negara pada taun 1905. Selanjutnya organisasi ini bubar dan anggotanya bergabung dengan VSTP (Vereniging van Spooren Tramweg Personeel) didirikan oleh Sneevliet dan Semaun, pada 1908 di Semarang. Setelah itu bermunculanlah sarikat buruh lainnya seperti PBP (Perhimpunan Bumi Putra Pabean) pada 1911, PGHB (Persatuan Guru Hindia-Belanda) pada 1912, PPPB (Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera) pada 1914, P.F.B ( Personeel Fabriek Bond) pada 1917 di Yogyakarta oleh Suryopranoto.
ADVERTISEMENT
Menggerakan Buruh dalam P.F.B
Ketika Suryopranoto belum masuk partai Sarekat Islam dan ia bekerja pada perkebunan sebagai Landbouw Leeraar, dan ia sudah merasakan penderitaan dari nasib buruh-buruh kecil. Suryopranoto sangat membenci kaum Kolonial Belanda yang berlaku sewenang-wenang terutama terhadap buruh pabrik. Kesalahan yang dilakukan oleh buruh pabrik tidak hanya dihukum dengan denda melainkan juga dipecat, bahkan dengan pukulan. Selain sebagai pucuk pimpinan Partai Suryopranoto juga menjabat sebagai Ketua Departemen Perburuhan Sarekat Islam.
Kegelisahan di antara para buruh timbul juga karena upah yang sangat rendah, sedangkan bahan-bahan sudah sangat mahal harganya. Akhirnya Suryopranoto pun membentuk Personeel Fabriek Bond. Sejak 1917 sampai 1920 jumlah anggotanya mecapai 30.000 anggota. Di sini sebelu tahun 1920 sistem budak belian juga berlaku di Indonesia. selain itu bayak perlakuan Amoral yang dilakukan oleh para penanam modal dari Cina terhadap para wanita yang bekerja di pabrik dan perkebunan.
ADVERTISEMENT
Suryopranoto juga sebagai bapak rakyat tidak tinggal diam dengan keadaan tersebut karena walaupun dia bangsawan tapi kehidupannya selalu bersama dengan rakyat kecil. PFB sendiri dibentuk untuk memberikan pertolongan kepada keluarga buruh pabrik di daerah Yogyakarta, dan kemudian di seluruh Jawa. Suryopranoto juga meminta kepada kepala perkebunan dan kepala pabrik sindikat gula untuk mengakui PFB ini dan meminta untuk menaikan upah kaum buruh. Namun, akhirnya permintaan tersebut ditolak dan PFB pun memberikan ultimatum pada 9 agustus 1920.
Para buruh di pabrik sindikat gula tersebut melakukan pemogokan kerja dan diikuti oleh buruh-buruh di daerah Bondowoso dan Situbondo, Jawa timur. Sebenarnya Belanda sendiri sudah mengetahui bahwa upah buruh di pabrik sindikat gula itu rendah. Hal ini memang kontradiksi dengan kenyataan karena pada saat itu pabrik gula memperoleh keuntungan yang sangat besar. Akhirnya setelah lama melakukan aksi pemogokan tersebut para majikan perusaaan dan pabrik memenuhi juga kenaikan upah dari F 10,- menjadi F 15,- hal ini berarti ada kenaikan sebesar 50% dari gaji sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 1 agustus 1920 P.P.K.B (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) berkongres untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Di dalam kongres ini nampak dua paham yang berbeda yaitu Komunis dan Sosialis. Aliran sosialis memandang aksi mogok itu hanyalah untuk peningkatan upah saja dan bukannya merupakan aksi politik, sedangkan aliran komunis memanfaatkan pemogokan untuk mendapatkan pengaruh politik. Adapun hasil dari kongres ersebut adalah membuat susunan kepengurusan PPKB dengan ketuanya adalah Semaun (Komunis), Ketua Muda Suryopranoto (SI) dan sekretarisnya adalah Agus Salim (SI).
Kebanyakan kasus pemogokan para buruh terjadi karena upah yang rendah dan tidak sesuai dengan keadaan barang-barang saat itu yang harganya mahal. Seperti kasus di Surabaya pada 1920 dan meluas ke daerah lainnya. Namun, pemogoka-pemogokan buruh ini ditanggapi lambat oleh Belanda sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada gedung akibat pembakaran, dan sebagainya. Di mana saja Suryopranoto dapat menimbulkan daya gerak dan semangat berjuang pada kaum buruh. Memang benar degan melakukan pemogokan maka majikan dan pimpinan perusahaan/pabrik tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain memenuhi tuntutan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kegiatan pemogoka-pemogokan pun terus berlangsung dari tahun ketahunnya bahkan terjadi setiap bulan yang dilakukan oleh buruh parker. Suryopranoto menjadi tokoh yang sangat disegani masyarakat atas usahanya dalam menggerakan buruh untuk melakukan pemogokan. Hal ini dikarenakan aspek kehidupan dan kesejahteraan buruh menjadi meningkat. Selain memperjuangkan kaum buruh, Suryopranoto juga memperjuangan kaum tani di Yogyakarta karena diterapkannya peraturan tanah konvensi yaitu anah rakyat milik raja.
Gerakan PPPB dan PPPH
Pemogokan pegawai pegadaian yang pertama terjadi di pegadaian Ngupasan Yogyakarta. Adapun asal mula terjadinya pemogokan adalah Beamkte-beamkte (pegawai) pegadaian yaitu yang tugasnya melelang barang-barang yang digadaikan dan telah habis waktunya, menyuruh pegawai-pegawai bangsa kita untuk mengangkut barang-barang dari tempat penyimpanan ke tempat pelelangan. Menjadi permasalahan karena hal ini dilakukan dengan nada menghina dan biasanya juga pengangkutan ini dilakukan oleh pekerja yang sudah mendapat bagiannya.
ADVERTISEMENT
Dalam pemogokan ini PPPB mengeluarkan dua tuntutan pertama, menjunjung tinggi derajat Bangsa. Kedua, kenaikan gaji karena memang pada tahun 1923 keadaan perekonomian bangsa sangat buruk (naik drastis). Pemogokan di Ngupasan ini ternyata menyebar hingga Jawa Barat dan juga Jawa Timur, jadi hampir seluruh rumah gadai yang ada di Jawa saat itu tutup. Sayangnya ketika pegadaian sedang melakukan aksi pemogokan ini Suryopranoto sedang dipenjara karena kasus P.F.B.
Dalam pemogokan PPPB ini PKI tidak terlibat karena memiliki persatuan buruh sendiri yaitu buruh kereta api yang bernama V.S.T.P. Menghadapi pemogokan-pemogokan yang dilakukan PPPB pada 1923 pemerintah Belanda bersikap keras dan tetap tidak akan menuruti tuntuan PPPB, sehingga pemogokan pun mengalami kegagalan. Setelah Suryopranoto bebas dari penjara ia kemudian mengganti nama PPPB menjadi PPPH (Perserikatan Pegawai-pegawai Hindia) karena PPPB sudah dicurigai Belanda.
ADVERTISEMENT
Pada 1931 terjadi suatu perselisihan di dalam tubuh PPPH yaitu antara wakil ketua dan sekretaris PPPH. Hal ini dikarenakan adanya permasalahan kepemipinan yang sama-sama ingin jadi pemimpin. Namun masalah ini segera diselesaikan karena mereka berpikir masih banyak buruh yang harus diperjuangkan daripada mengurusi masalah intern saja. PPPH ini juga akhirnya yang membebaskan 900 kaum buruh yang terkena PHK (pemecatan) dikarenakan kurang cakap. Namun, hal ini tidak terbukti karena dari 900 hanya 30 yang memang tidak cakap karena kendala buta huruf, buta warna, dan sebagainya.
Di samping PPPH yang secara berani melancarkan aksinya maka orang-orang Belanda pun membentuk perhimpunannya yang khusus menampung pegawai-pegawai dari bangsa Belanda. Perkumpulan ini disebut Pandhuis–Bond dan merupakan wadah untuk menyalurkan cita-citanya serta antisipasi dalam melawan PPPH. Pergerakan-pergeakan buruh ini ternyata membuat kekhawatiran bagi pihak Belanda khususnya pengaruhnya bagi perekonomian Belanda sendiri, sehingga Belanda banyak melakukan pantauan-pantauan terhadap organisasi PPPB dan PPPH.
ADVERTISEMENT
Medan pergerakan Soerjopranoto meluas hingga Solo. Dari 192 pabrik gula yang ada di Solo, PFB mempunyai cabang di 153 pabrik. Berhasilnya pemogokan merangsang buruh-buruh lain untuk ikut mogok. Pabrik-pabrik menghadapi aksi-aksi buruh dengan memecati para pemogok. Untuk itu PFB juga berusaha membantu keuangan buruh-buruh yang dipecat dan mengusahakan pekerjaan untuk mereka. Pabrik biasanya mengabulkan tuntutan kenaikan upah, tetapi menolak untuk mempekerjakan kembali buruh-buruh yang dipecat dan tidak bersedia mengakui PFB sebagai wakil buruh.
Bocornya rencana pemogokan umum se-Jawa pada Juli 1920 dimanfaatkan oleh residen Surakarta untuk menangkapi para pemimpin SI dan PFB, dengan tuduhan bahwa aksi-aksi buruh yang bersifat ekonomi itu mulai ditunggangi oleh aksi-aksi politik SI, sehingga dikhawatirkan “keamanan dan ketertiban” (rust en orde) bakal guncang. Tindakan pabrik-pabrik gula menaikkan upah buruh 20 – 30% memukul militansi buruh-buruh dan membangkitkan ketakutan mereka terhadap majikan. Beramai-ramai mereka mundur dari keanggotaan PFB. Tak lama PFB pun mati.
ADVERTISEMENT
PPPB dipimpin Abdoel Moeis mendukung pemogokan buruh-buruh pegadaian Yogyakarta. Abdoel Moeis mengusahakan negosiasi dengan pemerintah agar buruh-buruh yang dipecat dipekerjakan kembali dan dibentuk komite penyelidikan ketidakpuasan para buruh. Penolakan pemerintah berkembang menjadi perjuangan nasional melawan pemerintah, karena tuntutan PPPB didukung pula oleh Central SI, PKI, Revolutionaire Vakcentrale, Boedi Oetomo, Muhammadiyah dan serikat-serikat buruh lainnya. Rencana pemogokan umum PPPB pada Februari 1922 dipotong oleh pemerintah dengan menangkapi para pemimpinnya. Dukungan pun surut, 1.000 buruh dipecat dan PPPB runtuh.
Rencana rasionalisasi semasa Gubernur Jenderal Fock menyulut buruh-buruh kereta api yang tergabung dalam VSTP untuk bergerak. Tahun 1923 pemerintah menghapus tunjangan biaya hidup. VSTP yang berada di bawah kontrol kaum komunis mengancam akan menggerakkan pemogokan jika negosiasi dengan pemerintah gagal atau ada satu saja pemimpin VSTP yang ditangkap. Sebelum VSTP betul-betul siap untuk mogok, pemerintah menangkap Semaoen. Kontan 10.000 buruh kereta api mogok di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Pemerintah menerjunkan tentara di sepanjang jalur kereta api, dan menangkapi para pemimpin VSTP. Pemogokan berhenti dan VSTP hancur karena ditinggal anggotanya.
ADVERTISEMENT
Dimasa-masa kebesaran serikat Buruh, maka di bawah komando PKI (Perserikatan Komunis Indonesia, merupakan organisasi yang berdiri 23 Mei 1920, organisasi progresif dan berhaluan pada garis massa pertama di Asia), serikat-serikat Buruh komunis mulai melancarkan aksi-aksi massa yang bertujuan mematangkan kondisi revolusi, dan diharapkan akan mencapai puncaknya pada akhir 1926. Perencanaan aksi besar ini terinspirasi dari kemenangan kaum Bolshevik di Rusia, Oktober 1918. Perdebatan terjadi di antara kaum komunis sendiri atau kelompok progresif lain yang tidak berhaluan komunis. Perdebatan yang sangat terkenal terjadi antara Tan Malaka dengan Alimin (PKI), yang berakibat dikeluarkananya Tan Malaka dari Komintern (Komunis Internasional).
PKI pun akhirnya memaksakan rencana aksi tersebut. Pemberontakan pertama di Indonesia yang bertujuan langsung terhadap perebutan negara terjadi di akhir 1926. Seperti yang diduga Tan Malaka, ternyata kondisi rakyat Indonesia belumlah matang, terlihat dari kelambatan beberapa daerah merespon aksi di Jawa. Penumpasan besar-besaran terjadi, militer belanda bekerja keras untuk menumpas kekuatan massa radikal tersebut.
ADVERTISEMENT
Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat.
Pasca 1926 panggung perjuangan politik dikuasai oleh para pemimpin-pemimpin bearasal dari kaum intelektual, hanya sedikit yang melakukan pembangunan di basis massa, aksi-aksi massa yang sebelum 1926 sangat marak menjadi nyaris hilang. Perdebatan-perdebatan politik hanya terjadi di panggung-panggung politik ciptaan Belanda, seperti Volksraad. Ini tidak lain sebagai usaha Belanda memutus hubungan antara kaum terpelajar dengan massa rakyat. Karena akan lebih mudah bagi Belanda menumpas kaum terpelajar yang cukup “vokal”, dengan cara membuangnya ke Belanda atau Digul.
ADVERTISEMENT
Suryopranoto dan Partai Sarekat Islam
Suryopranoto masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga ia menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik diselenggarakan di jalan Kepatihan Paku Alaman Yogyakarta, ia adalah seorang gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto (dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).
Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa kemenangan klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata tapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan "pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917 P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond) di jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik gula madu Kismo. Dengan perbuatan ini Soerjopranoto melaksanakan teori pada praktiknya. Pemogokan ini begitu luas dan hebat sehingga oleh " De Express" ia disebut "De stakings Koning" (=Raja Pemogokan). Yang dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond) dibawah pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).
ADVERTISEMENT
Selama menjadi orang partai Sarekat Islam ia pernah masuk penjara sampai tiga kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan atas hasil tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang (1926-6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin) selama 16 bulan (1933), dengan peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.
Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr. Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi. Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini ia tidak pernah aktif karena agaknya merasa kecelok (salah kira) sebab azas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang diangan-angankan sebelumnya. Tenaga dan pikirannya terutama dicurahkan untuk kemajuan P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi Dharma Institut (didirikan tahun 1917 di Yogyakarta, dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang serta Kotaraja). Antara tahun 1933 dan 1935 masuk dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung dengan tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme dan Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat memberikan diri dalam menuntut akan hak-haknya.
ADVERTISEMENT
Karena kesehatannya banyak sekali terganggu, sepulangdari Sukamiskin dan kekuatannya sudah mengurang kerena tambah tua, maka ia terpaksa membatasi diri dalam lapangan partai Islam Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya duna kemajuan sekolah Adhi Dharma.
Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam tentang ilmu pengetahuan umum (ketatanegaraan,sejarah, ekonomi, etnologi, geografi) pada orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tapi mempunyai kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksudnya ialah untuk mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Akan tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang dicabut kembali dengan perantara tuan Gobius advisuer van Inlandse zaken).
Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma pada zaman Jepang dibubarkan dan partai-partai dilarang maka ia kemudian menjadi guru (sampai 1947) ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini ia juga menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).
ADVERTISEMENT
Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, ia tidak sedikit memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu itu ia menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan perang kemerdekaan.
BAB V
TAN MALAKA
Pahlawan Terlupakan dalam Sejarah Indonesia
Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.
ADVERTISEMENT
Sosok Ibrahim Datoek Tan Malaka atau biasa kita kenal sebagai “Tan Malaka” adalah sosok yang patut dikenang oleh buruh Indonesia ,selain kedekatan beliau terhadap para buruh yang ada di Indonesia,pahlawan Nasional yang kesepian pada awal mula perjuanganya menjadi sosok kiri yang dikenal,ketika ia di Belanda Tan malaka hidup ditengah kehidupan perkebunan yang benar-benar kapitalistis dan rasistis,kedudukan Tan Malaka menjadi sulit.Ia dibayar atas norma-norma Eropa,tapi rekan rekan Belandanya melihat dirinya dengan sebelah mata,sedang terhadap pekerjaanya selalu dianggap remeh.
Keyakinan politiknya semakin mendalam,dan jadilah Ia seorang komunis yang sadar.Ia menulis Risalahnya yang pertama,sebuah uraian kolot tentang komunisme: Soviet atau parlement? Tan Malaka juga pernah berperan dibalik layar ketika terjadi pemogokan kaum buruh perkebunan di belanda pada tahun 1920
ADVERTISEMENT
Jasa-jasa Tan Malaka bagi kaum buruh di Indonesia sangat besar salah satunya adalah mengadakan sekolah kerakyatan bagi anak kuli agar terbebas dengan yang namanya kebodohan dan terhindar dari penipuan para pemilik modal (kolonial).
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Tahun 1919 ia kembali pulang ke Indonesia dan bekerja di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
ADVERTISEMENT
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
ADVERTISEMENT
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
ADVERTISEMENT
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
ADVERTISEMENT
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
ADVERTISEMENT
Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.
Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.
Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.
ADVERTISEMENT
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.
Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.
ADVERTISEMENT
Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.
BAB VI
SEMAUN
Semaun adalah seorang tokoh perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang lahir di Curahmalang, kecamatan Sumobito, termasuk dalam kawedanan Mojoagung, kabupaten Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1899. Semaun adalah anak Prawiroatmodjo, pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan kereta api di Surabaya yang secara ekonomi menempatkannya pada golongan masyarakat kurang mampu dan tereksploitasi. Karena mereka hanya dijadikan tenaga kerja murah. Dalam stratifikasi masyarakat di Hindia Belanda khususnya Jawa Timur, keluarga Semaun masuk dalam kalangan Islam abangan yang dalam pergaulan sehari-hari termarginalisasi secara sosial. Secara politis, keluarga Semaun tidak masuk hitungan, kecuali dalam kerangka kepentingan politik penguasa dalam mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang pendidikan, Semaun dapat meraihnya walaupun dalam keterbatasan. Meskipun bukan anak orang kaya maupun priayi, pada usia tujuh tahun Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari., Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Hollands Inlandsche School (HIS) ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Pada tahun 1912, Semaun mengikuti ujian untuk menjadi pegawai Pamong Praja Rendah dan berhasil memperoleh sertifikat Klein Abtenaar. Ia kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya setelah dinyatakan berhasil menempuh ujian “Pengetahoean Oemoem” (Algemeene Outwikelling) dan ujian Stationscommies. Dia bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis rendahan
Semaun juga tokoh yang menggerakkan rnassa buruh untuk melakukan pernogokan besar-besaran, yang merongrong perekonomian Hindia Belanda pada dekade 1920-an
ADVERTISEMENT
Kiprahnya tidak sebatas sebagai tokoh "Sarekat Islam yang berhaluan komunis", seperti yang dikatakan sejarah Orde Baru, tetapi juga aktivis buruh yang ditakuti oleh Belanda. Bersama Tan Malaka, Semaun memperkenalkan cara agresi pemogokan buruh. Selama satu abad penuh, pernogokan rnerajalela di Hindia
Belanda hingga rnembuat pemerintahan kolonial kerepotan dan rugi besar. Pada usia 14 tahun Semaun masuk dalam Central Sarekat Islam (CSI). Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, tahun 1915, bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet. Ia juga bergabung di organisasi Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), serikat buruh kereta api dan trem afdeeling Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.
Di Semarang, ia kemudian menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Pada tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.
Tanggal 6 Mei 1917, Semaun terpilih menjadi ketua SI Semarang. Semaun sangat menolak pembentukan Volksraad dan Indie Weerbaar. Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Tahun 1919 Semuan terpilih sebagai ketua Peratuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.
ADVERTISEMENT
PKI dan Semaun
Sejak dikeluarkan dari Central Sarikat Islam (CSI), Semaun mula berkonsentrasi pada Partai Komunis Indonesia, Semaun juga membawa PKI bergabung dengan Comintern yang bekerjasama dengan Negara-negara yang berfaham komunis. Otomatis Semaun menjabat Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.
PKI menegaskan dirinya sebagai sebuah partai yang mampu untuk mempersatukan rakyat, baik muslim maupun bukan muslim. Komunis tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib dalam hal pangkat dan bangsa serta menentang segala bentuk kelas-kelas manusia. PKI sangat gencar dalam mengkampanyekan semboyan “sama rasa sama rata”.
ADVERTISEMENT
PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.
Peran Semaun
Kesadaran nasional tertanam dalam diri Semaun seiring dengan realitas yang ada di Hindia, di mana rakyat kecil selalu menjadi korban kaum penguasa dalam hal ini pemerintah dan kaum kapitalis. Sebagai wujud dari kepedulian Semaun ini, maka Semaun menulis artikel-artikel yang berisi ajakan kepada tokoh pergerakan dan rakyat untuk sama-sama memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan juga kaum buruh serta mengkritik berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang berkaitan dengan masalah perkebunan dan masalah Volksraad. Semaun juga aktif mengkoordinir berbagai aksi pemogokan terutama di daerah Semarang dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Semaoen juga seorang yang padat dalam berkarya. Kebanyakan karyanya ditulis di dalam surat kabar beraliran kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni oleh Sneevliet dan agama Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes pemikiran pribumi yang terlalu percaya akan kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan mereka. Di antara karya-karya Semaoen adalah Penuntun Kaum Buruh yang dibuat untuk para anggota Partai Komunis Indonesia, Hikayat Kadiroen yang menceritakan seorang priyayi Marxis yang sangat peduli kepada rakyatnya dan Berbareng Bergerak.
Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang protes sosial kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ia menganggap bahwa Pemerintah telah membiarkan warga pribumi terjatuh dalam kemiskinan karena usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia berharap bahwa suatu hari nanti akan ada suatu keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan warganya hidup dengan apa yang ia inginkan. Dan hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Soviet hadir di antara mereka.
ADVERTISEMENT
Masa Pengasingan
Pada tahun 1923, VSTP merencanakan demonstrasi besar-besaran dan langsung dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu Semaun diasingkan ke Belanda. Semaun ditangkap dan diberangkatkan ke Belanda pada tanggal 18 Agustus 1923 dengan menggunakan kapal S.S. Koningin der Nederlanden.
Selama masa pengasingannya dia kembali ke Uni Sovyet, di mana dia tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada masa itu dia tetap menjadi aktivis tapi hanya dalam aksi-aksi terbatas, berbicara beberapa kali di Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa di Belanda pada masa itu. Dia juga sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu.
Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di Executive Committee of the Comintern International (ECCI), Komite Eksekutif Komunis Internasional. Namun sayang sekali jika dalam usahanya tersebut dengan tokoh-tokoh timur lain seperti Tan Malaka, Darsono atau Alimin tidak digubris dengan baik. Dewan Komitern lebih cenderung tertarik bagaimana memerahkan Eropa ketimbang membantu pergerakan di Asia, seperti di India atau Indonesia yang saat itu menjadi salah satu corong utama pergerakan di kawasanya masing-masing. Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow. Puncak "kariernya" adalah ketika diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan.
ADVERTISEMENT
Akhir hidup
Setelah masa pengasingannya dia kembali ke Indonesia, dan pindah ke Jakarta. Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1961 dia bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia juga mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran, Bandung. Beliau wafat tahun 1971.
Atas dasar keperdulian terhadap kaum buruh di masa depan, Semaun menulis sebuah buku pada tahun 1920 yang berjudul Penuntun Kaum Buruh yang berisi :
1. Penyebab Adanya Perkumpulan Di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada zaman dulu penduduk negeri ini hidup tentram dan damai tanpa harus berebut kekuasaan, harta, dan martabat. Semuanya bekerja sesuai keinginan masing-masing dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Namun kedatangan para pedagang asing mulai mengganggu ketentraman, di sebabkan penduduk pribumi pada waktu itu tidak memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas hingga dengan mudah saudagar asing itu membodoh-bodohi kaum pribumi. Mereka menawarkan barang-barang mewah untuk ditukar dengan hasil pertanian kaum pribumi. Perlahan-lahan mereka mulai menguasai lahan pertanian kaum pribumi dan mempekerjakan kaum pribumi di lahan milik mereka dan memberi upah. Kaum pribumi yang mulai sadar akan hak mereka yang telah direbut mulai membentuk perkumpulan untuk melawan para saudagar asing, namun usaha mereka selalu gagal karena saudagar asing mulai bergabung dengan kolonial yang telah menguasai sebagian besar wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
2. Maksud Didirikanya Serikat Buruh.
Kuatnya kapitalis yang telah menguasai sebagian besar wilayah indonesia karena memiliki perusahaan, menguasai perdagangan, pabrik-pabrik dan lain-lain dalam memberi pekerjaan dan upah pada kaum buruh. Mereka mendapat laba yang lebih besar. Sedang kaum buruh diberi upah murah dan disuru bekerja keras lalu melepas (PHK) buruh sesuka hatinya. Kaum buruh sadar bahwa hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus, mulailah dibentuk perkumpulan atau perserikatan untuk mencari cara melawan kekuatan kapitalis. Sebenarnya buruh memiliki kekuatan dan kekuasaan namun jika hanya seorang diri mau melawan tentu akan kalah. Maka mereka bersatu membentuk kekuatan bersama melawan kapitalis lewat perkumpulan atau perserikatan.
3. Cita-Cita Serikat Buruh.
Cita-cita serikat buruh tidak lain yaitu agar hak-hak kaum buruh dipenuhi oleh borjuis atau kaum majikan seperti memberi upah layak, tidak memperlakukan buruh semena-mena, tidak melakukan PHK sesukanya, memberi jaminan kesehatan, memberi jaminan hari tua atau pensiun, serta masi banyak lagi.
ADVERTISEMENT
BAB VII
Buruh Dan Revolusi 1945
Pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.
Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebab kan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus ‘45 memang berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum kekuatan-kekuatan rakyat mampu dikonsolidasikan oleh kaum radikal guna membentuk pemerintahan koalisi nasional, Amerika telah mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya.
Suksesnya skenario AS untuk menjalankan red drive proposal (proposal politik untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan rakyat) sebenarnya juga merupakan produk tidak adanya unity of command antara kekuatan-kekuatan rakyat yang ada di dalam negeri dengan yang di luar negeri. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidak mampuan kaum radikal dalam mengarahkan sasaran perjuangannya ke arah kaum demokrat-liberal/borjuasi dan Imperialis, setelah kaum fasis dikalahkan pada PD II
Dengan peristiwa tersebut, situasi revolusioner mencapai anti klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Revolusi Agustus ‘45 yang adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
ADVERTISEMENT
Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan buruh. Pada tanggal 15 September 1945 sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh.
Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama ‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya, yaitu ketika orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun 1949.
Dalam konferensi tersebut, BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap organisasi tersebut. Karena sulitnya komunikasi dengan wilayah lain, maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi mereka masing-masing. Di Sumatra misalnya pada bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI).
ADVERTISEMENT
Komite Nasional Indonesia sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konferensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa.
Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, tentang perlunya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan.
ADVERTISEMENT
BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI yang pertama, Mr. Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November 1945, BBI mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis gerakan buruh yang tersebar di Sumatera dan pulau-pulaunya. Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI menjadi partai politik.
Rancangan ini mengundang perdebatan di antara para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas dari partai-partai politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat politik dari gerakan buruh. Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai, tanpa harus membubarkan BBI.
ADVERTISEMENT
Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan organisasi ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang pada dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah.
Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.
ADVERTISEMENT
Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI.
ADVERTISEMENT
Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.
‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu.
Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada kongres.
ADVERTISEMENT
Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU untuk menghadiri sidang umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa perang, dengan adanya blokade Belanda, maka hubungan badan sentral dengan cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik. SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.
Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI). Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil menyelamatkan diri, terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan. 16 serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari federasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Para tokoh yang semula bergabung kembali pada bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI), bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GSBI).
HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI ke panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar itu, golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27 November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta, didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia (FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB).
ADVERTISEMENT
Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra, organisasi buruh bermunculan, begitu pula di Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GABSI), dan di Purwakarta, organisasi sejenis dibentuk dengan nama Ikatan Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI).
Di Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh Indonesia (FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di Balikpapan, Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan lainnya.
Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan tertentu. Perbedaan pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis pada masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan sentraisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan yang tidak demokratis dan tidak sejalan dengan perjuangan kepentingan kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan. Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai tahun 1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya telah melandaskan gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan pengalaman historis kelas buruh Indonesia.
BAB VIII
Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pada tanggal 15 September 1945, sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) yang mendapatkan dukungan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Laskar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konperensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa.
Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti (yang kemudian menjadi menteri perburuhan). Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, dan terhadap perlunya persatuan.
Dalam kongres pertama, BBI diusulkan untuk berubah menjadi Partai Boeroeh Indonesia (PBI). Walau kongres memutuskan BBI melebur kedalam PBI yang diketuai oleh Sjamsju Harja Udaja, namun karena timbul perdebatan, akhirnya konferensi PBI di Blitar menyetujui untuk menghidupkan kembali BBI.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.
Pada periode-periode 1945-1947 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Selain berdirinya banyak organisasi serikat buruh dan partai buruh, kebangkitan gerakan buruh juga ditandai dengan dimulainya perayaan hari buruh internasional (May Day) pada 1 Mei 1946, dan ditetapkannya hari tersebut sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Pendapat-pendapat buruh juga jarang diabaikan pemerintah, bahkan organisasi-organisasi buruh selalu dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Penyatuan dan Perpecahan
Dengan banyaknya serikat buruh yang lahir, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI.
Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. Mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.
ADVERTISEMENT
Namun perpecahan ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. LBI yang semula berdiri sendiri pun kemudian masuk ke dalam SOBSI. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik. SOBSI pada dekade 1950 sampai 1960-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.
Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik. Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir akhirnya membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI) yang kemudian menjadi SOBRI.
ADVERTISEMENT
Peta Politik Gerakan Buruh
Dalam situasi negara yang menentang imperialisme, organisasi-organisasi buruh terus bermunculan. Selain di Jawa, organisasi-organisasi buruh juga bermunculan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, baik dalam bentuk serikat buruh perusahaan, sektor usaha, maupun federasi.
Disamping urusan pabrik yang mereka hadapi sehari-hari, kaum buruh juga terlibat dalam aktivitas politik. Contohnya protes yang mereka lakukan dalam kasus Irian Barat. Tidak kurang dari satu juta buruh turun melakukan protes pada akhir tahun 1957 sehubungan dengan masalah Irian Barat. Secara bertahap, organisasi-organisasi buruh akhirnya memiliki kecenderungan politik masing-masing, sebagai buah dari era kebebasan berpolitik pasca kemerdekaan.
Buruh yang terlibat dalam organisasi di tahun 1950-an tercatat jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional.
ADVERTISEMENT
Kebesaran organisasi gerakan buruh saat itu turut menghasilkan perundang-undangan perburuhan yang amat berpihak pada kaum buruh, semisalnya UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan dan UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang merupakan UU yang dikenal di Asia sebagai UU pro buruh.
Federasi serikat buruh yang terbesar saat itu beserta kecenderungan politik didalamnya adalah :
1. SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk ditahun 1946, ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya juga yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.
ADVERTISEMENT
2. Kesatuan Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 . Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. KBSI memiliki hubungan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
3. Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.
ADVERTISEMENT
4. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (ditahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.
ADVERTISEMENT
5. Himpunan Serikat Buruh Indonesia (HISBI) yang didirikan di tahun 1952. Organisasi ini didirikan oleh para aktivis gerakan buruh yang dekat dengan tokoh-tokoh partai buruh. Pada tahun 1955, anggotanya mencapai 413. 975 orang. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan keberhasilan KBKI dan SOBSI, jumlahnya terus menurun dan di tahun 1958 tercatat sekitar 50. 000 orang.
6. Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) yang menjadi gerakan buruh dari Partai Murba. Ketika dibentuk di tahun 1951, organisasi ini mengklaim anggotanya mencapai 469. 490 orang. Sama seperti HISBI, organisasi ini juga kalah bersaing dengan SOBSI dan KBKI, sehingga pada tahun 1958 tercatat anggota sebanyak 100. 000 orang. Sjamsu Haja Udaja yang pernah tercatat sebagai aktivis BBI menjadi salah satu pimpinan organisasi ini. SOBRI juga berafiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU).
ADVERTISEMENT
7. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yang didirikan di bulan September 1949 oleh 19 serikat buruh, termasuk PGRI dan SBDA. GSBI yang semula bergabung di bawah KBSI, kemudian keluar dan tetap bertahan sendiri di bawah Rh. Koesnan. Tahun 1958 tercatat anggotanya sebanyak 36. 000 orang.
8. Selain federasi-federasi diatas, partai-partai politik pemilu 1955 juga banyak yang ikut mendirikan serikat-serikat buruh. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, mendirikan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) sebagai serikat buruh vertikal yang bernaung di bawah panji-panji NU. Golongan Katolik mendirikan Sentral Organisasi Buruh 'Pancasila''
Pengikisan Gerakan Buruh
Tahun 1956 sampai 1959 ada dua permasalahan besar yang saling berkaitan yang dihadapi oleh Indonesia. Yang pertama adalah perjuangan pembebasan Irian Barat yang selalu gagal diperjuangkan dalam PBB; dan kedua adalah permasalahan Nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik asing sebagai bagian dari arus tuntutan rakyat (khususnya buruh) sejak kemerdekaan. Pihak militer (khususnya Angkatan Darat) yang sejak tahun 1950 diuntungkan oleh kebijakan “Penguasa Perang Pusat” (Peperpu), mendapatkan ruang yang cukup besar semasa konflik Irian Barat.
ADVERTISEMENT
Dengan sudah meluasnya kekuatan buruh (yang didominasi oleh SOBSI) untuk menuntut adanya nasionalisasi, pihak militer sebagai “penguasa perang” ketika itu takut akan penguasaan buruh atas aset-aset perusahaan milik asing seperti yang sempat terjadi pasca kemerdekaan (yang dilakukan oleh BBI), walau akhirnya oleh pemerintah dikembalikan lagi kepada pihak asing.
Untuk itu, pada tahun 1957 militer menginstruksikan untuk membentuk Badan Kerjasama Militer dengan elemen-elemen rakyat. Untuk kalangan buruh, SBII yang kemudian menjadi Gasbiindo (sebagai kekuatan yang anti terhadap SOBSI) menjadi corong bagi terbentuknya Badan Kerjasama Buruh-Militer (BKS Bu-Mil). Lewat BKS Bu-Mil ini, secara bertahap militer akhirnya mampu mendominasi perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi dengan menempatkan banyak kalangan militer sebagai manajemen.
Pihak militer langsung menerapkan peraturan larangan mogok di perusahaan-perusahaan yang sudah dinasionalisasi. Melihat dominasi militer itu, pemerintah atas desakan rakyat kemudian mengeluarkan PP No.23 tahun 1958 yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi adalah dikuasai oleh pemerintah RI dan membentuk Badan Nasionalisasi (BANAS) pada tahun 1959. Namun secara kenyataan (de facto), pihak militer tidak menyerahkan perusahaan-perusahaan tersebut dengan alasan teknis dan hanya melakukan kordinasi dengan Menteri Perdagangan.
ADVERTISEMENT
Ruang gerak federasi-federasi serikat buruh mulai mendapat tekanan dari pihak militer dengan dijalankannya kebijaksanaan BKS BUMIL. Hal ini pada masa sebelumnya belum pernah terjadi.
Pada bulan Juli 1960, Menteri Perburuhan dan sekaligus ketua KBKI, Ahem Erningpraja mengajukan rancangan untuk membentuk Organisasi Persatuan Pekerdja Indonesia (OPPI) yang diharapkan dapat menyatukan gerakan buruh dan mengikutsertakan organisasi karyawan seperti Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN) yang baru terbentuk saat itu. Rancangan tersebut ditolak oleh SOBSI, walau kemudian tetap terbentuk di berbagai daerah dengan dukungan serikat-serikat buruh yang non-komunis dan perwira militer di daerah-daerah.
Dalam rangka mendukung Trikora untuk pembebasan Irian Barat, tahun 1961 atas rancangan Menteri Perburuhan, dibentuklah Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang terdiri dari KBKI, SOBSI, HISSBI, GASBIINDO, SOBRI, GOBSI Indonesia, SARBUMUSI, KESPEKRI, GSBI, dan Kubu Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1962, organisasi PKPN yang mendapat dukungan penuh dari kalangan militer mengadakan kongres di Jakarta, dan mengubah nama menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Organisasi ini dipimpin oleh Jendral Suhardiman. SOKSI kemudian menjadi organisasi yang menyaingi keberadaan SOBSI dengan cara melemahkan gerakan buruh.
Perkembangan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno agaknya semakin menyulitkan gerakan buruh dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/ atau Penutupan (Lock Out), lalu Keputusan Presiden Nomor 123 tahun 1963, tentang pelarangan pemogokan di sejumlah perusahaan.
BAB IX
Buruh Dan Politik
Selepas penjajahan Jepang, gerakan buruh menggeliat bangkit dari kehidupan bawah tanahnya. Tidak sampai sebulan setelah Proklamasi Agustus 1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia (BBI). Pada gilirannya, BBI melahirkan pula Partai Buruh, Lasjkar Buruh Indonesia sebagai sayap bersenjata, dan Barisan Buruh Wanita (BBW) sebagai sayap perempuan dari gerakan buruh. Di tahun 1946, BBI berubah nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI). Tahun itu juga, GASBI bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) membentuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).
ADVERTISEMENT
Keterlibatan SOBSI dalam Proklamasi Madiun (1948), dan represi yang menyusulnya, menyebabkan gerakan buruh agak terseok-seok selama beberapa lama. Namun, di tahun 1950, ketika Soekarno memutuskan untuk mengundang unsur-unsur progresif dalam pembentukan kabinetnya, SOBSI telah kembali berdiri dan semakin menguat dalam dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Indonesia, dengan 2,5 juta anggota dan 34 serikat buruh anggota.
Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran progresif yang patut disebut. Yang pertama adalah GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai Murba sendiri adalah hasil pengembangan dari sekelompok orang yang di tahun 1946 memisahkan diri dari SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951, GASBRI berubah nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang didirikan tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan SOBSI dan ormas-ormas lain yang juga dekat dengan PKI.
Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan pemogokan besar yang berujung pada kemenangan bagi buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-1955 terjadi 11.763 pemogokan yang melibatkan 918.739 buruh. Aksi-aksi nasionalisasi yang dilancarkan oleh serikat-serikat ini menghasilkan kemenangan besar di mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak mereka nikmati—malah banyak perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah diambil-alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk dilibatkan dalam proses produksi juga berhasil dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung program ini dan memerintahkan membentuk Dewan Perusahaan di tahun 1960, di mana buruh berkedudukan dalam Dewan Pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran progresif ini menyebabkan partai-partai politik lainnya juga berusaha untuk membangun serikat buruhnya sendiri. PNI membangun Kesatuan Buruh Marhaen (KBM, berdiri 1952), NU membentuk Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi, berdiri 1956), PSII membentuk GOBSI di tahun 1959, orang-orang Katolik membangun Ikatan Buruh Pantjasila dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak memainkan peranan penting dalam mengubah wajah gerakan serikat buruh, terutama memasuki era Orde Baru.
SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka, jangan sampai ada permusuhan antara buruh dengan majikan. Jadi, apabila ada perselisihan perburuhan, SBII akan mengusahakan bantuan materiil pada buruh yang menjadi korban, baik berupa uang ataupun bentuk lainnya. Ini supaya lambat-laun akan terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusat-pusat buruh.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1959, SBII terkena dampak dari pembubaran Masjumi atas perintah Soekarno dengan alasan keterlibatan Masjumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta. SBII kemudian bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah satu pendiri Gasbiindo, menelurkan konsep Bahaya Merah di Indonesia. Untuk membendung “Bahaya Merah” ini, Wibisono kemudian bekerja sama dengan Angkatan Darat membangun Badan Kerdjasama Buruh-Militer (BKS BuMil) dan menjadi salah satu pendukung utamanya.
Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia) di tahun 1961. Para perwira Angkatan Darat yang terlibat dalam PRRI-Permesta, seperti Zulkifli Lubis dan Sumual, ditempatkan sebagai pimpinan SOKSI. Ketua SOKSI, Jenderal Suhardiman, juga merangkap sebagai Presiden Direktur dari PT. PP Berdikari.
Berhadapan dengan kebangkitan dan penguatan serikat-serikat buruh yang berorientasi pada ideologi “harmoni”, yang dekat dengan tentara dan yang jelas-jelas dipimpin oleh militer-pengusaha ini, serikat-serikat buruh beraliran progresif malah mengalami berbagai kemunduran. Tentu saja jumlah anggota mereka meningkat. SOBSI saja tercatat memiliki 3,3 juta anggota di tahun 1960-an, belum kedua serikat buruh progresif lainnya. Namun, di antara mereka sendiri sulit untuk bekerja sama. Perasaan saling curiga, yang sebagian di antaranya didorong oleh pertikaian di kalangan gerakan progresif internasional, menghambat kerjasama efektif antara SOBSI dan SARBUPRI dengan SOBRI. Di samping itu, ruang politik yang terbuka lebar, di antaranya adalah partisipasi dalam penyusunan UU Perburuhan no 22/57 dan 12/64, menyebabkan ketiga serikat buruh progresif ini menurunkan aktivitasnya di basis. Antara tahun 1955-59 hanya terjadi 631 kali pemogokan yang diikuti 441.900 orang buruh. Terjadi penurunan perlawanan nyaris sampai setengah dari apa yang kita lihat pada tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, ketika badai datang di pertengahan dasawarsa 1960-an, gerakan buruh progresif tidak siap untuk menghadangnya.
BAB X
Buruh di Masa Orde Baru
Pembungkaman Gerakan Buruh
Peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Tuduhan yang dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi peristiwa penculikan jenderal-jenderal, dan pembantaian aktivis gerakan rakyat yang terjadi sesudahnya, praktis menghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh progresif.
Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi perekonomian Indonesia sementara para aktivis buruh progresif tengah meregang nyawa di tangan para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar kepada perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga membuka pintu bagi mengalirnya pinjaman luar negeri untuk berbagai proyek yang kemudian dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya.
ADVERTISEMENT
Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai Sosial Demokrat Jerman yang pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori FES di tahun 1971, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru:
1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun;
2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;
3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis;
4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan;
5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing lapangan pekerjaan.
Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Kenyataannya, rekonstruksi serikat buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh yang dekat atau tergabung dalam Golkar.
Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).
Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai rupiah terhadap dolar, dari Rp 415 per dolar menjadi Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan harga-harga kebutuhan pokok—dan mereka yang upahnya tetap, seperti buruh, adalah yang paling terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh berlangsung di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan menjadi bertambah parah karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Untuk memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis ’66, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi.
BAB XI
Marsinah
Hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Awalnya adalah anak-anak yang bermain. Mengira bahwa kaki yang menjulur pada sebuah gubuk kelompok tani adalah milik orang gila yang biasa tidur di situ. Mereka menggoda sambil melempari dengan kerikil. Setelah berkali-kali dilempari dan tak ada reaksi, mereka pun mendekat. Alangkah terkejutnya ketika mereka mendapati bahwa kaki yang menjulur itu adalah kaki seorang mayat perempuan.
ADVERTISEMENT
Mayat tersebut tergeletak dalam posisi terlentang. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya lecet-lecet, diduga akibat diseret dalam tangan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas.
Hanya, dan hanya, secarik potongan resi wesel sudah cukup untuk memberi petunjuk bagi aparat kepolisian untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut. Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada beberapa waktu lalu terlibat aksi mogok. Tapi apakah darah dan bekas-bekas penganiayaan yang meluluhlantakan tubuh Marsinah juga akan cukup memberi petunjuk siapa tokoh penganiayaan dan kepentingan-kepentingan apa yang ada dibalik penganiayaan tersebut di kemudian hari?
ADVERTISEMENT
Pengetahuan Mengubah Nasib
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.
ADVERTISEMENT
Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. “Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” ujar kakek Marsinah.
Pergi meninggalkan desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan teknologi semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
ADVERTISEMENT
Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam. “Mbak Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang,” ujar salah seorang temannya. Karena itu, untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan WordStar sempat dirampungkan beberapa waktu sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang tinggi juga tampak dari kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untukmembeli koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.
ADVERTISEMENT
Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut pemberani dan setia kawan inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
ADVERTISEMENT
Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
ADVERTISEMENT
Bangkitnya Keberanian
Suasana kota yang penuh dengan persaingan telah membuat setiap orang yang tinggal didalamnya untuk menjadi keras. Apalagi kehidupan buruh-buruh di pabrik yang setiap hari dikejar-kejar target produksi yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Maka menjadi tidak mengherankan bahwa Marsinah, gadis desa yang lugu, lalu tidak canggung berdiri di barisan terdepan pengunjuk rasa. Sebuah keberanian telah menggusur kepasrahan pada nasib.
Semakin merebak jumlah aksi pemogokan di berbagai kota industri menjadi bukti ketidakpuasan. Pabrik, gedung Dewan Perwakilan Rakyat, instansi-instansi pemerintah yang berurusan dengan masalah perburuhan, dan jalanan-jalanan kota menjadi panggung yang mementaskan keresahan kaum buruh yang tak kunjung terhenti. Menurut berita, di Jawa Timur tercatat 155 pemogokan yang semuanya dihadapi tentara.
ADVERTISEMENT
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. “Ya sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan masuk, keamanan saya serahkan kepada bapak, kami sekarang hendak berunding dengan pengusaha!”, ucapnya pada salah seorang aparat keamanan.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara ikut bermain.
ADVERTISEMENT
Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam masyarakat kita.
Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. “Saya tidak terima! Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi.
Kemana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja.
Awal Kebangkitan
ADVERTISEMENT
Marsinah telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan kecurigaan. Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Anak-anak desa yang menemukan Marsinah, dan kita, menjadi saksi. Sekarang atau esok, anak-anak itu dan kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh pejuang, tentang buruh perempuan yang tidak ragu untuk kehilangan nyawanya demi keyakinannya tentang kebenaran.
Peristiwa tersebut paling tidak menunjukkan bagaimana negara, pengusaha dan militer berkongkalikong untuk merampas kesejahteraan rakyat kecil dan juga bagaimana rentannya posisi perempuan dalam perjuangan pembebasan rakyat dari penindasan. Kasus Marsinah yang mengandung indikasi campur tangan militer dalam usaha penghancuran gerakan buruh di era Soeharto berusaha dikaburkan lewat alibi bahwa pembunuhan itu adalah kasus pemerkosaan, meski bukti hanya menunjukkan bahwa ia mengalami penganiayaan berat dan bukan diperkosa.
Hal ini juga adalah tendensi patriarkis rezim ORBA yang masih bertahan hingga hari ini, kematian Marsinah yang berlatar belakang politik pengekangan gerakan buruh berusaha dikaburkan menjadi sebuah kasus pemerkosaan. Di dalam kacamata patriarkis, pemerkosaan adalah sebuah kasus kriminal biasa yang tidak bernilai politis seperti isu penghancuran gerakan buruh atau penghalangan perjuangan buruh, sehingga menjadikan kasus Marsinah sebagai kasus pemerkosaan akan meredam efek politis dari kematianya.
ADVERTISEMENT
Rezim berhasil menghilangkan jasad dan nyawa Marsinah dari muka bumi, tapi mereka tidak akan pernah berhasil menghapuskan sosok dan semangat Marsinah dari para buruh dan kaum gerakan Indonesia. Marsinah yang kondisinya sama dengan buruh-buruh berupah rendah lainnya menjadi prasasti pengingat bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan yang memang haknya, kaum buruh akan berhadapan langsung dengan rezim; pemilik modal, pemerintah dan militer. Di masyarakat luas pun sosok Marsinah dikenang sebagai sebuah satire negara demokrasi.
Bertahun setelah kematiannya, Marsinah menjadi sosok yang subversif bagi rezim. Beberapa karya seni yang mengangkat kisah Marsinah dihalang-halangi oleh pemerintah, seperti film Marsinah karya Slamet Rahardjo yang oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea sempat diminta untuk ditunda rilisnya dan pementasan drama monolog Marsinah menggugat oleh Ratna Sarumpaet dilarang oleh kepolisian Malang meski pun sebelumnya sudah sukses diadakan di tujuh kota lainnya.
ADVERTISEMENT
Pementasan drama tidak termasuk dalam hal yang membutuhkan ijin dari pihak kepolisian, cukup hanya memberikan surat pemberitahuan pelaksanaan. Namun bila pementasan yang bertajuk Marsinah Menggugat sampai dilarang oleh pihak keamanan, maka bisa disimpulkan ada hal terlarang dari pementasan tersebut. Apa hal terlarang tersebut? Marsinah, ya, Marsinah adalah kata subversif dalam kemapanan rejim selama ini.
Labor Market Flexibility (Sistem Pasar Kerja yang Lentur) yang diterapkan oleh rezim Neolib menurunkan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang semakin melemahkan posisi buruh di dalam pekerjaannya, belum lagi perekonomian yang masih berorientasi pada penanaman modal asing mengakibatkan upah rendah masih menjadi sebuah opsi utama.
Kepentingan untuk menarik para penanam modal dan pelancaran sistem yang kapitalistik meminggirkan tugas negara yang sudah diamanatkan dalam naskah-naskah kemerdekaan dan perundangan dasar, yaitu mensejahterakan rakyat, seluruh rakyat tanpa pembedaan, sejahtera yang sesejahtera-sejahteranya!
ADVERTISEMENT
Meski pun ada hukum yang dianggap mampu melindungi hak-hak buruh, namun dengan lemahnya posisi buruh dalam peradilan negara, maka hukum ini pun gagal menjalankan fungsinya. Lebih tepatnya, hukum di Indonesia memang tidak disusun untuk benar-benar berpihak kepada kaum buruh dan rakyat kecil. Sudah umum diketahui, kasus-kasus perburuhan yang sampai di meja peradilan hampir seluruhnya dimenangkan oleh pihak pengusaha.
Masih banyak sekali perusahaan yang menolak untuk merundingkan dan menandatangai Perjanjian Kerja Bersama antara pengusaha dan buruhnya, karena hal itu akan memberikan kesadaran akan posisi yang lebih tinggi pada buruh. Begitu juga sistem jaminan sosial menjadi semacam lagu nina bobo rakyat kecil pada umumnya dan kaum buruh pada khususnya, memberikan ilusi kesejahteraan dan perlindungan negara.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme, dalam bentuk Neoliberalisme tidak mempertimbangkan buruh dalam posisi yang setara dengan para pemilik modal, buruh hanya dijadikan bagian dari mesin-mesin produksi dan direbut harga kemanusiaannya dan negara telah membantu para pemiliki modal untuk melemahkan kesadaran juang kaum buruh lewat iming-iming permainan kata di lembar-lembar perundangan dan ilusi jaminan sosial.
Jelaslah bahwa selama sistem yang dipakai adalah sistem Neoliberalisme, selama itu pula lah kesejahteraan hanya akan menjadi milik segelintir orang, sementara rakyat kecil tidak akan pernah sejahtera.
Menanti Buruh Bertindak
Melihat keterpurukan posisi buruh dalam alam yang kapitalistik, maka sangat mudah dipahami ketakutan rejim akan munculnya pemberontakan massa buruh. Pada saat beban kehidupan menghimpitm kesadaran para buruh akan situasinya akan meningkat, borok-borok kelakuan rejim terhadap kaum buruh akan semakin jelas terlihat dan dirasakan.
ADVERTISEMENT
Saat buruh-buruh yang sadar dan penuh api kemarahan ini bangkit dan bersatu, maka dapat kita bayangkan betapa menyeramkannya situasi itu bagi rejim, ini sebabnya mereka berusaha membius kaum buruh lewat hegemoni paradigma perburuhan yang sejatinya hanya penghalusan makna dari perbudakan dan ilusi-ilusi jaminan kesejahteraan.
Di Indonesia, ada ribuan Marsinah yang belum berhasil mereka bunuh. Kaum buruh yang memiliki kesamaan latar belakang dengan Marsinah tentunya memiliki sentimen kuat atas apa yang dialaminya, karena mencerminkan kehidupan kaum buruh secara umum. Bila sentimen dan kesadaran buruh akan kondisi mereka meluas dan menguat, maka sangat pasti pemberontakan akan terjadi.
Bisa dilihat betapa rezim gentar akan nyala api yang telah dihidupkan Marsinah di dalam jiwa kaum buruh, nyala api yang bila bersatu akan membakar habis kemapanan penindasan mereka, menjatuhkan mereka ke bawah kekuasaan yang sejati, kekuasaan kelas pekerja. Karena hal ini, selamanya Marsinah akan tetap hidup, selamanya Marsinah akan menjadi bagian dari api perlawanan kaum buruh, selamanya Marsinah akan jadi pahlawan kaum buruh, pahlawan kaum tertindas.
ADVERTISEMENT
Ditangan kaum buruhlah keputusan berada, apakah akan merebut kehidupan yang dipasung oleh rezim atau kah berdiam diri dan tunduk menjadi budak para pemilik modal. Namun karena manusia itu sejatinya adalah sederajat dan memiliki hak yang sama untuk hidup selayaknya manusia, layak yang paling layak tidak hanya cukup makan cukup minum, maka kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya harus bangkit melanjutkan perjuangan pemerdekaan kaum tertindas.
BAB XII
Perjuangan Buruh Era Reformasi (1998-sekarang)
Reformasi dimulai dengan ditancapkannya kebijakan neoliberal lewat paket letter of intent (loi) sebagai akibat dari peminjaman hutang luar negeri yang sangat besar. Loi secara umum berisi kesepakatan tentang pengurangan subsidi, privatisasasi perusahaan negara, dan perdagangan bebas.
Tak lama setelah reformasi, pemerintah meratifikasi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (No. 87) dengan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998, yang kemudian dilanjutkan dengan kepmenaker No.05 tahun 1998. Pada akhir 1998 tercatat sudah terbentuk 14 SP setingkat federasi, termasuk didalamnya SPSI reformasi yang merupakan hasil perpecahan dari SPSI pasca reformasi.
ADVERTISEMENT
Perpecahan dan perubahan formasi dalam tubuh SPSI terjadi sedemikian massif pasca reformasi. Diantaranya SP-LEM (sektor logam, elektronika, mesin dalam tubuh SPSI reformasi) berubah menjadi FSPMI, lalu SP-TSK (sektor tekstil sandang kulit dalam tubuh SPSI reformasi) kemudian berubah menjadi SPN. Dalam perkembangan selanjutnya FSPMI dan SPN membangun suatu konfederasi baru bernama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menambah jumlah konfederasi setelah KSPSI dan KSBSI sebelumnya.
Pada awal tahun 1999 terbentuk pula Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) yang digagas oleh beberapa aktivis KOBAR.
Peringatan Mayday (Hari Buruh Internasional) yang semasa Orba dilarang, pertama kali digelar kembali pada 1 Mei 1999 oleh gabungan organisasi buruh yang membentuk Komite Aksi 1 Mei.
Geliat perjuangan buruh kembali meninggi saat pemerintah mulai memberlakukan UU No.21 tahun 2000 tentang Kebebasan Berserikat, yang langsung disambut oleh aktivis buruh dengan pendirian ratusan serikat buruh hanya dalam jangka waktu setahun.
ADVERTISEMENT
Dengan lahirnya UU tentang kebebasan berserikat ini, selain membawa dampak positif bahwa semakin banyak serikat buruh yang lahir, tetapi sekaligus juga membawa dampak negatif yaitu semakin banyaknya pengkotakan serikat buruh berdasarkan kepentingan pragmatis, berdasarkan daerah, sektor usaha, dll, yang sering menyulitkan persatuan buruh.
Meluasnya aksi-aksi dan konsolidasi buruh
Dengan bekal organisasi, tercatat perjuangan buruh mengalami peningkatan. Selama tahun 2000 misalnya, menurut catatan Depnaker saja (catatan paling konservatif) terdapat 173 kali aksi buruh. Sedangkan tahun 2001 terdapat 261 kali aksi buruh. Aksi-aksi tersebut umumnya dilakukan untuk menuntut kenaikan upah, menolak PHK, dan kejelasan/pengangkatan status kerja.
Aksi-aksi tidak hanya dilakukan oleh buruh-buruh manufaktur (pabrik) seperti di jaman orde baru, tapi juga sudah meluas ke pekerja-pekerja pendidikan (guru), pekerja ritel (contoh: Hero) dan BUMN (contoh PT. Pos).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2001 juga terjadi gelombang aksi yang meluas dari berbagai serikat untuk menolak pemberlakuan Kepmen 78/2001 yang membatalkan hak-hak pesangon pekerja setelah diberhentikan atau mengundurkan diri.
Selain bergerak menurut isu perburuhan yang sifatnya lebih ekonomis/normatif, buruh juga sudah mulai merespon isu-isu yang berada diluar dunia advokasi perburuhan, contohnya adalah aksi menolak kenaikan harga BBM hasil dari pengurangan subsidi pemerintah. Tahun 2001 contohnya, Forum Solidaritas Union (FSU) yang dibentuk antara lain oleh FNPBI dan SBSI melakukan aksi dengan gabungan isu menuntut kenaikan upah 100% dengan isu menolak kenaikan BBM. Dalam aksinya, buruh tidak lagi menyasar perusahaan semata, namun sudah mulai sering menyasar instansi-instansi pemerintahan seperti Depnaker, DPR dan Istana negara.
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 2002 beberapa organisasi buruh lokal-independen berusaha membangun suatu konsolidasi untuk menembus pengkotakan. Jaringan Buruh Antar Kota (JBAK) yang diikuti oleh PBL-Lampung, FSBKU-Tangerang, SBN-Tangerang, SBJP-Bogor, SBI-Bogor, GSBI-Jakarta, SPBDI-Purwakarta, FPPB-Bandung, FSBSK-Solo, SERBUK-Wonosobo, FSBI-Semarang, KKBJ-Jombang, SBPD-Sidoarjo, SBK-Surabaya, SBDM-Malang.
Pemerintah menetapkan pemberlakuan UU baru Ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 tahun 2003 yang didalamnya sudah melegalkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, walaupun pada bidang dan aspek tertentu. Hal ini memicu reaksi gerakan buruh untuk melakukan penolakan, walau kemudian UU tersebut tetap diberlakukan.
Maret 2003 JBAK membentuk Badan Kolektif Nasional (BKN) Komite Aksi Serikat Buruh Independen (KASBI). Sampai pada Juni 2004, keanggotaan KASBI bertambah lagi dengan masuknya GSBM-Jakarta, FSBIP-Jakarta, SPBI-Malang, dan SERBUK-Medan. Dibangunlah kemudian Komite Persiapan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KP KASBI) yang akhirnya melaksanakan kongres pertamanya pada Februari 2005. Dalam program perjuangannya, KASBI menekankan penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merupakan turunan dari strategi Labour Market Flexibility yang diterapkan rezim Kapitalisme Neoliberal. Setelah kongres kedua tahun 2008, beberapa organisasi juga menyatakan bergabung dengan KASBI, diantaranya Serikat Pekerja Carefour Indonesia (SPCI), Persatuan Gerakan Serikat Pekerja (PROGRESIP), dan Serikat Buruh Jaya Readymix (SBJR), dll. Pada tahun 2008 KASBI juga telah mendeklarasikan dirinya sebagai konfederasi alternatif.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2006 pemerintah berencana merevisi UUK No.13 tahun 2003 yang kemudian disambut dengan respon penolakan dari berbagai elemen gerakan buruh. Atas besarnya tekanan aksi buruh, rencana revisi UUK akhirnya dibatalkan.
Akhir tahun 2006 beberapa organisasi (seperti KASBI, FNPBI, FPBJ) menggagas sebuah konferensi nasional yang menjadikan terbentuknya Aliansi Buruh Menggugat (ABM). Tidak seperti konsolidasi buruh lain yang masih sebatas konsolidasi perserikatan buruh yang mempunyai solusi-solusi normatif, ABM cukup maju dengan slogan/solusi yang lebih meningkat secara politik, yaitu: (1) Nasionalisasi perusahaan tambang dan aset-aset vital; (2) Tolak hutang luar negeri; (3) Bangun industrialisasi nasional untuk kesejahteraan rakyat; (4) Tangkap, adili, dan sita harta koruptor. ABM sering kali turun kejalan untuk merespon isu-isu non-perburuhan seperti pendidikan, kenaikan BBM, dll. Namun pada tahun 2009 terjadi perpecahan dalam tubuh ABM.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2006 sampai 2011, terdapat banyak sekali pemberangusan gerakan buruh yang salah satunya dilakukan dengan cara menghambat atau menghalangi keberadaan serikat-serikat buruh di perusahaan, khususnya yang berafiliasi dengan serikat buruh progresif/maju. Hal ini membuat jumlah buruh yang berserikat tidak pernah mengalami peningkatan yang pesat. Jumlah kaum buruh yang berserikat masihlah kecil, yaitu berada diantara 7-10% dari keseluruhan buruh di Indonesia yang jumlahnya sekitar 30 juta. Hal ini utamanya disebabkan mayoritas kaum buruh sudah bekerja dalam sistem kerja kontrak/outsourcing yang mana mempersulit buruh untuk masuk kedalam serikat.
Namun dalam jumlah partisipasi yang masih kecil ini, terdapat kemajuan kesadaran buruh. Selain sudah mengangkat isu-isu diluar perburuhan, kaum buruh juga sudah sering bergabung dengan massa kaum tani dalam memperjuangkan hak atas tanah, dll. Disamping itu keterlibatan buruh dalam organisasi-organisasi politik progresif juga sudah mulai meningkat secara signifikan. Hal ini menandakan kesadaran buruh tidak lagi hanya sebatas kebutuhan ekonominya pribadi yang sifatnya jangka pendek, namun sudah maju pada kesadaran pada perubahan sistem/menyeluruh yang sifatnya jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Gerakan buruh sejak tahun 2007 juga sudah mulai mengenal lagi suatu gerakan pendudukan pabrik-pabrik (yang sudah lama tidak dipakai sejak era nasionalisasi zaman kemerdekaan) yang tidak beroperasi lagi atau dinyatakan pailit/merugi. Bahkan di beberapa pabrik, buruh sudah mulai mengoperasikan mesin-mesin dalam pabrik dan menjalankan suatu usaha bersama dengan manajemen kolektif buruh. Contohnya adalah apa yang terjadi di PT. Istana Magnoliatama (basis KASBI) yang memulai pendudukan tahun 2008. Namun hal ini umumnya tidak bertahan lama. Gerakan pendudukan ini biasa dipicu oleh kebijakan penutupan pabrik dan PHK massal.
Pada akhir tahun 2008, akibat dampak dari krisis ekonomi yang terjadi di AS, pemerintah mengeluarkan SKB 4 Menteri yang berisikan larangan untuk menaikkan upah melebihi pertumbuhan nasional. Dengan demikian berarti kenaikan upah tahun 2009 tidak boleh melebihi dari 5% pertumbuhan ekonomi saat itu. Hal ini kemudian menyulut aksi besar-besaran dimana-mana. Dengan tekanan yang sangat besar dan luas, pemerintah akhirnya merevisi SKB 4 menteri. Ini semakin membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, krisis yang terjadi di luar negeri pasti akan berdampak ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perpecahan kembali terjadi. Awal tahun 2011 beberapa federasi dalam KASBI memisahkan diri dari KASBI, dan menggabungkan diri dengan beberapa serikat pekerja BUMN, lalu membentuk Konfederasi Serikat Nasional (KSN). Sehingga, jika dihitung menurut klaim deklarasinya, telah terdapat 5 konfederasi serikat buruh di Indonesia saat ini.
Akhir 2011 perjuangan untuk menaikkan upah minimum propinsi dan kota (UMP/UMK) mengalami peningkatan dalam jumlah massa aksi, tuntutan aksi, dan metode-metode aksi. Tuntutan ini umumnya dikaitkan dengan penolakan terhadap Permen 17 tahun 2005 yang menjadi acuan Dewan Pengupahan dalam menghitung komponen-komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Setiap daerah bergolak. Di Batam terjadi bentrok besar yang disusul penembakan terhadap buruh. Di Tangerang, Bekasi, Cimahi, dan kota lain juga terjadi aksi massa dengan pemblokiran jalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Dalam momentum perjuangan upah tahun 2011 terdapat kemajuan juga dalam organisasi-organisasi buruh di kota-kota dengan membangun berbagai aliansi yang sudah semakin solid. Di Jabotabek sendiri sedang digagas suatu konsolidasi persatuan lewat Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh Jabotabek.
Era Jokowi yang lebih buruk
Kalangan buruh menilai, 2015 adalah tahun yang suram bagi kaum buruh di Indonesia. Pemerintah dinilai lebih melindungi kepentingan pengusaha ketimbang menja¬min pemenuhan hak-hak bu¬ruh. Langkah pemerintah men¬geluarkan PP no. 78 tahun 2015 tentang pengupahan dianggap sebagai puncak penindasan terhadap buruh lantaran kebi¬jakan tersebut mengembalikan politik upah murah sekaligus mengkebiri hak buruh untuk merundingkan upah.
Gerakan Buruh Indonesia sepanjang 2015 telah menggelar banyak aksi dan penolakan terhadap kebijaka pemerintah yang tidak pro buruh. Meski demikian suara-suara buruh tetap tidak didengar, bahkan aksi-aksi buruh dihadapi secara represif oleh aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
PP Pengupahan telah menghilangkan hak berunding serikat buruh dan kewenangan kepala daerah dalam menetapkan upah minimum di daerahnya. Upah minimum 2016 di basis-basis industri berkisar Rp 3-3,2 juta, padahal di ASEAN rata-rata upah minimum itu sudah diatas Rp 4 juta
Tak hanya itu, saat ini terjadi kesenjangan upah antar wilayah di Indonesia, di DKI Jakarta upah minimum 2016 sebesar Rp 3,1 juta sementara di Jawa Tengah ada daerah yang upah minimum 2016 masih Rp 1,3 juta. Jika setiap tahun kenaikan upah minimum se-Indonesia ditetapkan melalui formula inflasi plus pertumbuhan ekonomi maka persentase kenaikan upah se-Indonesia akan disamakan.
Selain kebijakan soal upah, buruh juga menyoroti PP no. 45 tentang Program Jaminan Pensiun. Pemerintah dianggap tidak serius menjalankan program jaminan pensiun karena menetapkan iuran pensiuan hanya 3 persen dari upah buruh.Pemerintah era Jokowi sangat melindungi kemauan pemi¬lik modal agar tidak terbebani oleh iuran jaminan pensiun. Bahkan presiden KSPI Said Iqbal menyatakan secara tegas pemerintah telah gagal. Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat nilai rapor merah dan dianggap masih berpihak kepada kelompok pemodal.Ia melihat dari beberapa tuntutan buruh dalam setahun ini, masih banyak persoalan-persoalan yang merugikan buruh.
ADVERTISEMENT
Said juga menyebut pemerintahan Jokowi tak bedanya dengan rezim Orde baru. Pasalnya, paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK dari jilid 1-8 dinilai tidak ada yang pro buruh. Di sisi lain negara masih belum berhasil melakukan perlindungan terhadap buruh migran dan menghentikan perdagangan manusia sebagai salah satu mencari tenaga kerja untuk diperbudak
Kebrutalan dan kekerasan polisi terhadap buruh juga terus terjadi sepanjang tahun 2015, dalam aksi 30 Oktober lalu di depan Istana Negara Jakarta, kepolisian menangkap 26 aktivis buruh, polisi juga menghancurkan mobil-mobil milik buruh,bahkan menganiaya buruh seperti binatang
Menurut buruh, Jokowi-JK adalah penganut kapitalisme dan liberalis (terakhir ikut TPT) yang berkedok pro-rakyat dengan retorika revolusi mental dan nawacita serta blusukan yang penuh pencitraan. Hal ini makin diperparah dengan APBN 2016 yang tidak pro rakyat dengan memberi subsidi PMN ke BUMN dan RUU Pengampunan Pajak bagi pengusaha dan anehnya buruh malah dikasih upah murah.
ADVERTISEMENT
Buruh menyongsong pemilu 2019
Kelahiran partai politik kaum buruh pada 1 Mei nanti hendaknya bukan hanya sekadar lahir, tapi juga mampu memilih pemimpin yang punya wawasan ke depan. Jika tidak ada halangan, pada peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) tanggal 1 Mei 2016, Gerakan Buruh Indonesia (GBI)—yang terdiri sejumlah organisasi buruh--akan mendeklarasikan pembentukan partai politik untuk memperjuangkan kaum buruh. Sebab, mereka merasa partai politik yang ada selama ini tidak membela kepentingan kaum buruh.
Dengan instrumen partai politik milik sendiri, kaum buruh berharap mereka dapat menempatkan anggota-anggota terbaiknya pada posisi strategis, seperti di DPRD, DPD, DPR, dan pemerintahan, bahkan presiden dan wakil presiden.Sebenarnya, pendirian partai politik milik kaum buruh bukan barang baru. Cikal bakal pendirian partai politik buruh sudah dimulai sejak tahun 1921 saat sejumlah elemen buruh melakukan demo besar-besaran menentang kebijakan PHK di berbagai perusahaan milik Belanda akibat harga beberapa komoditas anjlok. Sayangnya, upaya melakukan untuk menyatukan suara buruh dalam sebuah partai politik tak pernah kesampaian karena tentara kolonial banyak melakukan penangkapan dan penembakan terhadap kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya di zaman penjajahan, pasca kemerdekaan berbagai organisasi buruh lahir di tengah masyarakat, dari mulai organisasi persatuan yang sederhana sampai organisasi buruh yang cukup besar. Yang paling terkenal adalah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang didirikan tanggal 15 September 1945. Dalam perjalanannya selanjutnya, BBI berubah menjadi Partai Buruh Indonesia (PBI). Di dalam PBI, terdapat unsur organisasi Barisan Buruh Wanita yang dipimpin S.K. Trimurti, yang kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama.
Tahun 1955, saat pemilu pertama diadakan di Indonesia, Partai Buruh ikut bersaing memperebutkan kursi di legislatif. Hasilnya, partai ini memperoleh 224.167 suara yang kemudian menempatkan dua orang wakilnya di legislatif. Pada pemilu tahap kedua untuk memilih anggota konstituante, partai ini mendapat 332.047 suara. Dengan perolehan suara ini, Partai Buruh berhasil menempatkan wakilnya sebanyak 5 orang di Konstituante.
ADVERTISEMENT
Di era Orde Lama, Bung Karno sangat menaruh perhatian pada kaum buruh. Bahkan, setiap tanggal 1 Mei pemerintahannya menetapkan sebagai hari libur nasional, seperti yang berlaku saat ini.Dalam setiap peringatan Hari Buruh, Bung Karno selalu hadir di tengah kaum buruh. Mengutip tulisan Rekson Silaban dari ILO Governing Body di Harian Kompas, Bung Karno menyatakan perjuangan politik paling minimum gerakan buruh adalah mempertahankan politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.
Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kebebasan berserikat yang dimiliki kaum buruh, bukannya dimanfaatkan utuk memasuki fase machtsvorming, tetapi dilakoni dengan mendirikan banyak organisasi buruh dan berlomba-lomba menjadi pemimpin buruh.
Di era Orde Baru, Soeharto menekan habis gerakan buruh. Soeharto hanya mengizinkan satu organisasi buruh, yaitu Federasi Sertikat Pekerja Indonesia (FSPSI).Setelah Soeharto tumbang, gerakan buruh kembali bermunculan. Tahun 1999, saat pemilu pertama di era reformasi, lahir Partai Buruh Nasional (PBN) dan ikut bersaing bersama partai-partai lainnya. Selain PBN, ada lagi tiga partai yang mewakili suara kaum buruh, yakni Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja, dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia. Namun, dari empat partai kaum buruh itu, tak satu pun yang berhasil memperoleh 1% suara sehingga tidak dapat kursi di DPR dan tidak bisa ikut dalam pemilu berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 2004 dan 2009, tercatat dua partai yang mewakili suara buruh, yakni Partai Buruh Sosial Demokratik (kemudian berubah menjadi Partai Buruh) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI). Lagi-lagi, mereka tidak berhasl memperoleh suara yang dipersyaratkan untuk menempatkan wakilnya di legislatif.
Pada Pemiu 2014, PPPI mencoba ikut kembali, namun tidak lolos administrasi yang dipersyaratkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ironisnya, pada Pemilu Presiden 2014, suara buruh terpecah dalam dua kubu. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) mendukung capres dan cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Memang, problem utama kenapa kelompok-kelompok buruh terpecah-pecah karena kegagalan mereka mengelola konflik internal dan lebih menonjolkan ego pribadi masing-masing. Ditambah lagi mereka kerap didekati partai politik untuk mendukung dengan sejumlah janji yang menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya, kelahiran partai politik kaum buruh pada 1 Mei nanti hendaknya bukan hanya sekadar lahir, tapi juga mampu memilih pemimpin yang punya wawasan ke depan, siap menerima kritikan anggota, melepaskan egoisme, dan mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk kaum buruh, seperti yang dicita-citakan Bung Karno dan Marsinah.
Penutup
Sepanjang sejarahnya, gerakan buruh telah mengalami pasang-surut yang tiada hentinya. Setiap kali gerakan buruh mengalami pasang, itu pasti karena pengorganisiran yang militan di basis-basis, dan disertai dengan semangat berpolitik. Dan setiap kali gerakan buruh mengalami pukulan balik, itu niscaya disebabkan oleh ketergesa-gesaan, oleh mengendurnya militansi di basis-basis atau oleh keterlenaan akibat politik parlementarisme.
Gerakan buruh berlandaskan pada kolektivisme, pada pengorganisiran, pada propaganda yang sabar dan pendidikan yang tidak kenal menyerah, dan penggabungan antara perlawanan sosial-ekonomi dengan perlawanan politik untuk berkuasa. Jika gerakan buruh mengingat ini, dan konsisten melaksanakannya, dia akan kuat dan bugar. Tapi, jika dilupakan, maka gerakan buruh akan letih-lesu.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang sangat disayangkan, pengabdian mereka selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Karena pemerintah lebih mementingkan kepentingan kaum pemilik modal daripada kepentingan buruh itu sendiri.