Tantangan Partai Baru Jelang 2024

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
Konten dari Pengguna
15 September 2021 12:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tantangan Partai Baru Jelang 2024
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tantangan yang harus dihadapi partai-partai baru dalam Pemilu 2024 akan lebih sulit. Biasanya tantangan itu ada dua. Pertama, aturan yang berat untuk lolos menjadi peserta pemilu. Kedua, perlunya kombinasi yang cukup antara memiliki tokoh yang kuat, basis organisasi yang baik, dan logistik yang memadai. Kini, muncul tantangan ketiga, yaitu kecenderungan sistem kepartaian yang mulai stabil.
ADVERTISEMENT
Tentu saja ini harus didahului dengan kemampuan partai baru untuk menawarkan sesuatu yang baru ke publik, baik berupa kepemimpinan maupun narasi atau program. Dengan kata lain, sungguh berat tantangan bagi partai-partai baru untuk masuk ke lembaga legislatif, terutama di tingkat nasional.
Pertama, aturan di sistem pemilu menjadi penghalang masuk (entry barrier) yang tak mudah ditembus partai baru atau partai yang di pemilu sebelumnya tak lolos ambang batas parlemen.
UU No 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (Pasal 173) menegaskan partai baru harus lolos dua tahapan proses untuk bisa jadi peserta pemilu, yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Ada sembilan persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa yang tak mudah adalah memiliki kepengurusan di semua provinsi, memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, dan memiliki anggota minimal 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota bersangkutan dengan bukti kartu anggota
ADVERTISEMENT
Juga tak mudah, *syarat memiliki kantor tetap di semua tingkatan kepengurusan sampai tahap akhir pemilu selesai* Menyiapkan semua ini tentu perlu waktu, SDM dan dana tak sedikit.
Semua persyaratan itu akan diverifikasi secara administrasi terlebih dahulu. Bila lolos, baru bisa mengikuti proses verifikasi faktual. Dua kegiatan ini juga akan sangat menguras waktu, tenaga, dan dana yang juga tak sedikit.
Pengalaman menunjukkan, bahkan partai lama yang tak lolos parlemen, beberapa kali gagal mengikuti proses ini. PBB dan PKPI, mengalami kegagalan ini di Pemilu 2019 dan lolos menjadi peserta pemilu melalui proses gugatan pengadilan. Proses hukum seperti ini, bila dilalui juga oleh partai baru, tentu menguras waktu, tenaga, dan dana lagi.
Kedua, ketika menjadi peserta pemilu, pengalaman empat kali pemilu sejak 2004 menunjukkan bahwa partai yang bisa bertahan adalah yang mampu mengombinasikan tiga kekuatan yaitu ketokohan, basis organisasi, dan logistik yang cukup. Setiap partai perlu ketokohan yang cukup di tingkat nasional, dan memiliki kemampuan menarik tokoh-tokoh yang berpengaruh dan punya pengikut di tingkat daerah/dapil.
ADVERTISEMENT
Tingkat pengenalan publik terhadap partai juga harus cukup baik, paling tidak 50 persen lebih rata-rata nasional. Untuk menjalankan dua hal ini perlu logistik yang tak sedikit dan waktu yang cukup. Tahapan Pemilu 2024 akan segera dimulai sekitar Maret 2022. Partai-partai baru hanya punya waktu kurang dari satu tahun dari sekarang sebelum tahapan pemilu dimulai. Tantangan yang tidak mudah.
Partai baru, sesuai namanya, mestinya lebih mudah menarik pemilih jika betul-betul mampu menawarkan kebaruan. Minimal dua kebaruan yang harus ditawarkan. Pertama, kebaruan dari segi ketokohan atau kepemimpinan. Kedua, kebaruan dari segi narasi dan program. Ini juga tak mudah.
Dari segi ketokohan, partai-partai baru yang ada belum menunjukkan kebaruannya. Kebanyakan tokoh lama yang juga sudah dikenal sebagai politisi. Demikian juga narasi dan program. Belum terlihat apa yang baru. Menawarkan kebaruan dengan hanya menawarkan baju baru tapi isinya lama, tak akan laku, karena pemilih kita memiliki informasi cukup memadai.
ADVERTISEMENT
Tantangan berikutnya adalah adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian. Ini berarti, pola kompetisi antar partai mulai terbentuk dan pemilih mulai punya kebiasaan memilih partai-partai yang sudah dikenal dan memiliki kemampuan lolos ambang batas saja. Gejala ini, antara lain, yang menjelaskan mengapa tak ada satupun partai baru lolos ke parlemen di Pemilu 2019. Ini membuat tantangan bagi partai baru makin sulit.