Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Gagal Masuk Kampus Negeri Bukan Berarti Dunia Kiamat
7 April 2021 20:55 WIB
Tulisan dari Sukma Gayatri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramainya postingan soal seleksi masuk kampus negeri (SNMPTN dan SBMPTN—kepanjangannya terlalu panjang) membuatku bernostalgia.
ADVERTISEMENT
Aku pernah ada di masa-masa melelahkan itu. Segala keringat, jerih payah, begadang memelototi buku kumpulan soal, berujung aku gagal.
Dunia seakan runtuh. Malu rasanya melihat teman-teman berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri impian.
Aku sekolah di SMA negeri favorit. Keberhasilan masuk kampus negeri menjadi gengsi di antara para siswa. Bahkan, banyak siswa yang ketika gagal di tes masuk itu mereka rela les lagi selama satu tahun untuk mencoba kembali di tahun berikutnya.
Aku sebenarnya sempat berpikir seperti itu juga (istilah kami: Gap year), tapi apa daya, aku tidak mendapat restu orang tua.
Aku berusaha ikhlas dan akhirnya mendaftarkan diri ke salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, dengan jurusan yang memang aku mau yaitu komunikasi. Sebenarnya, kampusku itu merupakan salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta—tapi tetap saja, gengsi “tidak masuk negeri” itu masih ada.
ADVERTISEMENT
Awalnya Suram
Di semester pertama, aku masih segan untuk memberi tahu universitas tempat aku kuliah ketika bertemu dengan teman-teman SMA-ku.
Awalnya, aku hanya berniat untuk fokus kuliah, tidak mau merepotkan diri ikut organisasi apa pun. Sampai ketika memasuki semester kedua: Aku masuk ke salah satu organisasi radio kampus yang terbilang cukup beken di kampusku.
Aktif, Bahkan Bisa Cari Uang Sendiri
Di semester dua, aku mulai menjadi mahasiswi yang aktif. Pagi belajar di bangku kuliah, siang siaran di bangku studio. Atau sebaliknya.
Di semester tiga, kesibukanku bertambah lagi: Mulai menjadi Master of Ceremony (MC) dan moderator di sejumlah event. Dari pekerjaan MC ini aku mendapatkan honor pertamaku. Rasanya senang bisa jajan pakai uang hasil keringat sendiri.
Jadi Penyiar Radio Sungguhan
Memasuki semester keempat, aku ditawari menjadi announcer di salah satu radio swasta di Jakarta. Tentu saja, dengan senang hati aku menerimanya. Dan siapa sangka, dengan menjadi penyiar di sana, aku bisa mendapatkan banyak pengalaman yang tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.
ADVERTISEMENT
Mewawancarai artis internasional? Pernah. DEAN, Rad Museum, The Boyz, Z-Pop, hingga New Hope Club.
Mewawancarai artis lokal? Sering! Maudy Ayunda, Sivia Azizah, Sandy Sandhoro, The Overtunes, dan masih banyak lagi.
Ini fotoku ketika mewawancarai Maudy Ayunda:
Juara Juara Juara
Pada semester tiga, aku yang memang hobi sinematografi mengikuti beberapa kompetisi video campaign dan public service announcement tingkat nasional dan melawan beragam universitas negeri dan swasta.
Bersama timku, aku berhasil memenangkan kompetisi tersebut dengan menjadi juara pertama selama dua tahun berturut-turut.
Di semester tiga dan lima, aku bersama teman-teman menjuarai radio announcing competition tingkat nasional. Berkompetisi sebagai announcer, aku berhasil "melahap" materi yang diberikan panitia dan menyiarkannya ke pendengar.
Lulus dan Dapat Kerjaan
Di masa akhir kuliah, aku memutuskan untuk berani mengambil program lulus 3,5 tahun alias cumlaude. Walaupun saat itu kegiatanku cukup banyak—bekerja sekaligus menjalani kewajiban magang dari kampus, tapi aku tetap nekat ingin lulus duluan. Dan setelah melewati perjuangan yang sangat melelahkan, aku berhasil.
ADVERTISEMENT
Flashback ke masa SMA. Ada stigma yang selalu digaungkan baik oleh siswa dan beberapa guru, yakni “Jangan masuk universitas swasta, nanti ketika lulus kamu susah cari kerja.” Kisahku mematahkan stigma itu.
Begitu lulus pada Februari lalu, aku mengirimkan resume ke perusahaan-perusahaan. Tapi yang namanya mencari pekerjaan di masa pandemi, persaingannya amat sengit apalagi aku "hanya" lulusan kampus swasta.
Modalku bukan cuma ijazah dan prestasi. Ketika lulus itu aku sedang magang di perusahaan video platform lokal nomor satu di Indonesia. Dan panggilan dari perusahaan-perusahaan itu mulai berdatangan mulai dari korporasi di bidang software, agency, hingga entertainment.
Aku memutuskan menambatkan hati di satu perusahaan ini. Bergerak di bidang media, cocok dengan impian karierku.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bukan untuk menyombongkan segala prestasi dan pengalaman yang aku dapatkan. Tapi, aku berharap, kamu bisa mengambil hikmah dan pesan dari pengalamanku.
Orang tua, pengajar, terutama untuk seluruh pelajar yang sedang merasa terpuruk karena gagal masuk perguruan tinggi negeri, mohon tanamkan perspektif baru dalam diri kalian: Tidak masuk perguruan tinggi negeri bukan akhir dari segalanya.
Dan untuk teman-teman yang masih berjuang, yakinlah pada kemampuan yang ada pada dirimu sendiri. Karena, cuma kamu yang tahu apa potensi yang kamu miliki. Aku yakin, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Tapi kamu juga harus ingat, tidak ada yang instan di dunia ini. Semuanya perlu kerja keras dan pengorbanan.
Ingat: Gengsi tidak akan membawamu ke mana-mana.
ADVERTISEMENT