Konten dari Pengguna

Penurunan Jumlah Tunawisma dan Upaya Penanganannya di Negeri Sakura

Sukma Khoirul Putri
Mahasiswa prodi Bahasa dan Sastra Jepang di Universitas Airlangga
22 April 2025 16:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sukma Khoirul Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tenda-tenda yang didirikan oleh tunawisma. Source: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Tenda-tenda yang didirikan oleh tunawisma. Source: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika suatu negara berkembang dengan pesat, maka akan muncul berbagai permasalahan yang terjadi, salah satunya adalah tunawisma. Tunawisma adalah orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap sehingga biasanya menetap di berbagai fasilitas umum seperti taman umum, pinggir jalan raya, dan stasiun kereta api. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan, krisis ekonomi, dan lain sebagainya. Negara-negara di seluruh dunia telah berusaha untuk mengurangi tunawisma di negaranya. Jepang menjadi salah satu negara yang berhasil mengelola krisis tunawisma mereka dengan sangat baik. Tingkat tunawisma di Jepang turun hingga mencapai angka 84% dari 20 tahun lalu. Sebaliknya, seluruh dunia mengalami pertumbuhan jumlah tunawisma hingga rata-rata 50% (Homeless World Cup, 2022).
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 125 juta orang. Dari jumlah penduduk tersebut, terdapat 2.820 orang tunawisma pada tahun 2024, itu berarti Jepang hanya memiliki tunawisma sebesar 0,003% dari populasi. Pemerintah Jepang tampaknya berhasil memberantas tunawisma, tetapi banyak tunawisma yang luput dari perhitungan karena stigma orang Jepang yang sempit terhadap tunawisma.
Orang Jepang menghitung tunawisma hanya berdasarkan jumlah orang yang terlihat di taman dan tepi sungai pada siang hari. Mengapa demikian? Hal itu berawal dari Undang-Undang tentang Tindakan Khusus mengenai Asisten dalam Swadaya Tunawisma, pada tahun 2002, yang mendefinisikan tunawisma sebagai mereka yang tinggal di taman kota, tepi sungai, jalan raya, dan stasiun kereta api tanpa alasan yang sah dan menjalani kehidupan sehari-hari mereka di sana. Perhitungan tersebut hanya dilakukan pada siang hari, dan tidak dilakukan jika malam hari.
ADVERTISEMENT
Awalnya Jepang mengalami krisis tunawisma setelah Perang Dunia II yang menyebabkan hampir 9 juta orang Jepang kehilangan tempat tinggalnya. Namun, berkat pertumbuhn industri yang berkembang pesat, Jepang mengalami penurunan tunawisma pada tahun 1960-an. Kemudian pada awal tahun 1990-an Jepang mengalami stagnasi ekonomi yang menyebabkan pengangguran dan tunawisma meningkat lagi. Bahkan pada tahun 2003 jumlah tunawisma di Jepang mencapai angka 25 juta orang. Baru setelah pemerintah membuat serangkaian kebijakan, tunawisma mengalami penurunan drastis. Berikut adalah serangkaian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Jepang untuk membantu mengurangi jumlah tunawisma:
1. Undang-Undang Dukungan Mandiri bagi Tunawisma (2002)
Undang-undang ini bertujuan untuk membantu para tunawisma mendapatkan pekerjaan dan mencapai kemandirian. Program ini dikenal sebagai Seikatsu-Hogo (Perlindungan Mata Pencaharian), menyediakan bantuan tunai bagi mereka yang mengalami ketidakamanan perumahan. Fitur pentingnya adalah bahwa pembayaran dicairkan dalam waktu 14 hari sejak pengajuan. Satu-satunya kualifikasi untuk program ini adalah menunjukkan bahwa mereka hidup dalam kemiskinan, dan sering kali disertai dengan tunjangan perumahan tambahan dan perawatan medis lengkap.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Jepang juga menunjuk petugas kesejahteraan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk memeriksa penerima bantuan bagi tunawisma. Petugas ini berperan penting dalam memastikan bahwa bantuan yang disediakan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan dan mencegah penyalahgunaan sistem.
2. Penurunan harga rumah
Jumlah fasilitas perumahan bagi para tunawisma di Tokyo meningkat secara signifikan, menyediakan perumahan sementara dan layanan rehabilitasi. Di sekitar Stasiun Futako Tamagawa, salah satu pusat kota baru terbesar di Tokyo, Tokyu merobohkan 100 rumah keluarga tunggal dan membangun kembali gedung pencakar langit dengan lebih dari seribu unit rumah. Pernyataan perusahaan tentang pembangunan tersebut berbunyi: “Tujuannya adalah untuk mencapai pembangunan kota di mana setiap orang dapat hidup dengan nyaman.” Perusahaan tersebut menekankan bahwa flat tersebut terjual dengan cepat karena dekat dengan stasiun kereta api.
ADVERTISEMENT
3. Kebijakan Kesehatan Mental dan Narkoba
Penegakan hukum yang ketat terhadap narkoba di Jepang dan fasilitas kesehatan mental yang luas juga berperan. Negara ini telah melawan tren global menuju deinstitusionalisasi, dengan mempertahankan jumlah tempat tidur kesehatan mental per kapita yang lebih tinggi, yang telah membantu mengurangi tunawisma yang terlihat.
Walaupun pemerintah Jepang telah memberikan bantuan kepada para tunawisma, lantas mengapa masalah tersebut masih ada sampai saat ini? Ini dikarenakan budaya orang Jepang yang menghindari bantuan. Budaya tidak meminta bantuan meluas ke dalam masyarakat Jepang, di antara para tunawisma dan istilah-istilah yang diciptakan seperti hikikomori (individu yang sangat menarik diri dari kehidupan sosial). Bantuan publik sangat bagus jika orang-orang memintanya. Beberapa bahkan tidak menyadari bahwa mereka membutuhkannya. Sejumlah besar tunawisma masih tersembunyi dari penghitungan resmi karena faktor budaya dan hukum.
ADVERTISEMENT
Jepang mendefinisikan tunawisma sebagai orang yang tinggal di tempat umum, seperti jalan dan taman, kecuali mereka yang tinggal di tempat penampungan atau akomodasi sementara. Definisi sempit ini berarti banyak tunawisma tidak dihitung dalam statistik resmi.
Tunawisma di Jepang sangat terstigma, yang menyebabkan banyak orang menyembunyikan situasi mereka dari masyarakat. Stigma ini khususnya kuat bagi kaum pria, yang jumlahnya mencapai lebih dari 90% dari populasi tunawisma. Akibatnya, banyak tunawisma menghindari tempat umum dan mencari perlindungan di kafe internet atau lokasi lain yang tidak mencolok.
Saat ini semakin banyak tunawisma, terutama kaum muda, yang tinggal di warnet 24 jam. Pengungsi warnet adalah para tunawisma yang memilih untuk tinggal di warnet 24 jam daripada di jalanan atau di tempat penampungan umum. Warnet-warnet ini menawarkan ruang pribadi, akses internet, dan fasilitas dasar, sehingga menjadi pilihan yang lebih disukai bagi mereka yang ingin menghindari stigma tunawisma.Warnet-warnet ini menawarkan ruang pribadi, akses internet, dan fasilitas dasar seperti kamar mandi, sehingga menjadi alternatif yang lebih baik daripada tempat penampungan umum. Diperkirakan sekitar 15.000 orang tinggal di warnet di Tokyo saja—lima kali lipat dari jumlah tunawisma resmi di Jepang.
ADVERTISEMENT
Upaya Jepang dalam mengatasi tunawisma patut diapresiasi karena telah berhasil menurunkan angka tunawisma secara signifikan melalui kebijakan yang terintegrasi dan dukungan sosial yang kuat. Namun, tantangan masih tetap ada, terutama terkait stigma sosial dan definisi tunawisma yang sempit sehingga banyak tunawisma tersembunyi yang belum terjangkau bantuan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan sensitif terhadap kondisi sosial-budaya agar setiap individu yang membutuhkan dapat memperoleh hak dan perlindungan yang layak. Dengan demikian, penanganan tunawisma di masa depan diharapkan tidak hanya berfokus pada angka statistik, tetapi juga pada kualitas hidup dan martabat setiap warga negara.