Kiprah Rudy Alfonso: Habiskan Masa Kecil di Mamasa, Kini Dubes RI di Portugal

Konten Media Partner
19 November 2021 16:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Duta Besar RI untuk Portugal, Rudy Alfonso, bersama sahabat semasa kecil, Tomi Lebang, saat pulang kampung di Mamasa. Foto: Dok. Tomi Lebang
zoom-in-whitePerbesar
Duta Besar RI untuk Portugal, Rudy Alfonso, bersama sahabat semasa kecil, Tomi Lebang, saat pulang kampung di Mamasa. Foto: Dok. Tomi Lebang
ADVERTISEMENT
Nama Rudy Alfonso mencuat dalam beberapa hari terakhir. Pria kelahiran Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, 15 September 1965 silam itu dilantik menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) untuk Portugal.
ADVERTISEMENT
Rudy Alfonso merupakan satu di antara 12 nama yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar RI untuk negara sahabat di Istana Negara, Rabu (17/11/2021).
Bagaimana kiprah pria yang lahir dan dibesarkan di punggung pegunungan Quarles Mamasa itu hingga menjadi Duta Besar RI untuk Portugal? Tomi Lebang, teman sejak kecil Rudy Alfonso mengenang kebersamaannya saat masih kanak-kanak di Mamasa.
"Saya mengenalnya semenjak saya kecil. Di kampung, Mambi, nun di punggung pegunungan Quarles di Sulawesi Barat. Ibunya seorang guru, ayahnya petani. Saya memanggilnya kakak," ungkap Tomi Lebang dalam tulisannya yang diterima SulbarKini, Jumat (19/11/2021).
"Ibunya itu guru bahasa Inggris saya waktu sekolah di SMPN Mambi," tambahnya.
Tomi Lebang mengisahkan bahwa puluhan tahun silam setelah Indonesia merdeka, ia dan Rudy Alfonso masih hidup dalam kepompong halimun gunung. Tak ada suara mobil. Hanya ringkik kuda dan kokok ayam kampung yang bersahutan setiap pagi dan petang.
ADVERTISEMENT
Untuk sampai ke kota, mereka terpaksa berjalan kaki atau berkuda menembus belantara hutan 30 kilometer berjalan kaki ke Malabo, atau 48 kilometer ke Mamasa, atau hampir 100 kilometer ke ibukota kabupaten (saat itu) Polewali, sekarang Polewali Mandar (Polman).
"Mobil dalam bentuk fisik baru sampai ke sana di tahun 1987 saat saya sudah duduk di bangku SMP. Sebelumnya, mobil hanya ada di gambar kalender dan buku sekolah. Kami sering melihat pesawat yang terbang melintas di langit melewati pucuk Buntu Pepana, meninggalkan jejak panjang bagaikan ekor naga putih di awan-awan," lanjut Tomi Lebang.
Rudy Alfonso saat pulang kampung ke Mamasa. Foto: Dok. Tomi Lebang
Setiap hari, jika hendak ke sungai untuk bermain, mandi, atau mencuci pakaian, Tomi berjalan kaki lewat depan rumah Rudy Alfonso, kadang-kadang mampir untuk memetik jambu air di pekarangan.
ADVERTISEMENT
Diceritakan juga di kampung mereka yang menjadi idola adalah para tokoh sakti atau jawara yang nama-namanya kerap terbawa sampai ke dalam mimpi. Ada jago silat seperti Linci, Baco Buta, Idi, Saing - jagoan-jagoan ini dipercaya punya ilmu kanuragan Sala Ujung untuk berkelit dari pukulan dan peluru, kekuatan Sorong Sappiku. Tentu juga sang satria bergitar, Rhoma Irama, yang suaranya kerap terdengar dari siaran radio AM yang sampai ke gunung.
"Begitulah. Waktu berlalu dan kami merantau, berpisah jalan, ke kota untuk melanjutkan sekolah dan mencari penghidupan. Pergi ke mana takdir mengayun. Saya ke Toraja, lalu Makassar. Saya dengar Kak Rudy ke Parepare, lalu entah ke mana," ungkapnya.
Belasan tahun kemudian, lanjut Tomi, sekitar tahun 2000, mereka bertemu di Jakarta. Saat itu, Rudy Alfonso baru pulang dari luar negeri. Rupanya ia telah bermukim di Wina, Austria. Ia menjadi diplomat.
ADVERTISEMENT
"Saya sungguh takjub, Kak Rudy yang dulu kerap mandi dan mencuci pakaian di Sungai Mambi, sudah bekerja di kedutaan di luar negeri. Sejak pertemuan itu, kami tak lagi berjauhan. Ia membangun sebuah kantor dan saya ikut menjadi anak buahnya," tambahnya.
Di tahun 2010, Tomi Lebang menemaninya Rudy Alfonso pulang kampung di Mambi. Menikmati alam yang selama puluhan tahun tak pernah kembali di tanah kelahiran dan dibesarkan. Keduanya menyusuri kampong mengingatkan saat masa-masa kecilnya mereka waktu silam.
"Kami berdua, di jalan menjelang kampung, dengan latar Buntu Pepana, gunung berbentuk kerucut yang selalu saya ingat sebagai tempat paling angker, dihuni monyet dan orang bunian. Sebuah perjalanan nostalgia, menekuri waktu-waktu indah yang telah lama hilang," kenang Tomi.
ADVERTISEMENT
Kini Mambi telah berubah semenjak mekar menjadi Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Banyak mobil yang terparkir di garasi rumah warga. Akses jalan yang menghubungkan Mamasa ke Polman dulunya ditempu berhari-hari. Kini hanya ditempuh 2 jam setengah menggunakan kendaraan karena akses jalan yang menghubungkan kedua kabupaten tersebut jalannya sudah di beton. Bahkan juga pemerintah telah membangun bandar udara Sumarorong untuk pesawat komersil.
"Tapi keriaan bertemu teman-teman kecil masih seperti dulu, kami berceloteh berbahasa Mambi, aka umbabe, beleke la’o, menna boung iting ke sara (Apa kabar, Tuh kaan, Ada apa gerangan), menginap di rumah keluarga masing-masing dengan meriung dalam sarung, dan berziarah ke makam ayahanda," ujarnya.
Tomi Lebang masih mengenang masa-masa indah bersama Rudy Alfonso di kampung halaman mereka di Mambi. Untuk sekian tahun ke depan, Rudy Alfonso akan berkantor di Lisabon, di negeri Christiano Ronaldo.
ADVERTISEMENT
"Dari pojok Jakarta yang lain, saya menyampaikan ucapan selamat dan rasa bangga. Semoga Kak Rudy sukses menjadi duta besar, membawa nama Indonesia di negeri orang," pungkas Tomi Lebang.