Mangngaro, Tradisi Membungkus Ulang Jenazah Leluhur di Mamasa, Sulawesi Barat

Konten Media Partner
31 Agustus 2020 7:15 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengeluarkan jenazah leluhur dari liang atau alang-alang. Foto: Frendy/sulbarkini
zoom-in-whitePerbesar
Mengeluarkan jenazah leluhur dari liang atau alang-alang. Foto: Frendy/sulbarkini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mangngaro merupakan tradisi upacara kematian yang masih dilestarikan hingga kini. Ritual membungkus jenazah leluhur itu masih dilakukan masyarakat di Kecamatan Nosu, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
ADVERTISEMENT
Sekali dalam setahun, warga Kecamatan Nosu akan mengeluarkan jenazah leluhurnya dari liang yang berbentuk seperti lumbung (alang), mengaraknya menuju tenda (lattang) di hamparan tanah datar, membungkus ulang jenazah, dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam alang-alang atau lokko (goa tanah).
Mangngaro berasal dari kata 'mang' yang artinya melakukan dan 'aro' yang berarti keluar, yang berarti sedang mengeluarkan. Sekilas, ritual ini mirip dengan ma'nene di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang masih berbatasan dengan Mamasa.
Hanya saja, dalam tradisi mangngaro, pakaian jenazah tidak diganti. Namun menambahkan balutan tambahan hingga membentuk buntalan menyerupai guling raksasa.
Tradisi mangngaro dilakukan setiap tahun pada bulan Agustus selepas panen padi. Foto: Frendy/sulbarkini
Tradisi mangngaro dilakukan masyarakat Nosu setiap tahun pada bulan Agustus selepas panen padi. Prosesinya dimulai dengan anggota keluarga dan kerabat almarhum berjalan beriringan menuju kuburan, di mana kaum perempuan menggunakan pakaian adat berwarna hitam.
ADVERTISEMENT
Setibanya di kuburan, jenazah leluhur lalu dikeluarkan dari liang dan diarak ke suatu tempat di mana para kerabat perempuan menunggu. Setelah jenazah leluhur terkumpul, para keluarga lalu melakukan arak-arakan melintasi pematang sawah menuju tenda atau lattang yang sudah disediakan sebagai tempat persemayaman.
Arak-arakan menuju tenda persemayaman atau disebut ma'titting ini memiliki daya tarik tersendiri. Para perempuan yang berpakaian adat berwarna hitam berjalan paling depan sambil membentangkan kain merah diikuti barisan anggota keluarga yang menggotong buntalan-buntalan kain yang berisi jenazah.
Ma'titting atau mengarak jenazah menuju tenda persemayaman. Foto: Frendy/sulbarkini
Selanjutnya, jenazah para leluhur kemudian disemayamkan di bawah tenda yang sudah disiapkan di area persawahan (ratte) selama satu malam untuk dilakukan proses pembungkusan ulang jenazah.
Di malam hari, sembari membungkus ulang jenazah, kaum laki-laki di luar tenda melakukan ritual ma'badong sementara kaum perempuan di dalam tenda melakukan ritual ma'sailo.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, tradisi mangngaro dilanjutkan dengan menyembelih hewan ternak seperti kerbau dan babi. Selanjutnya, anggota keluarga melakukan persembahan kepada jenazah sebelum diarak kembali ke alang-alang atau lokko (liang tempat menyimpan jenazah).
Tradisi mangngaro sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur. Foto: Frendy/sulbarkini
Pada proses ma'titting, tetua perempuan membentangkan kain merah menuju lattang atau tenda persemayaman. Foto: Frendy/sulbarkini
Jenazah akan disemayamkan semalam di lattang atau tenda khusus untuk dilakukan pembungkusan kembali jenasah leluhur. Foto: Frendy/sulbarkini
Jenazah leluhur yang terbungkus buntalan kain digotong oleh anggota keluarga laki-laki. Foto: Frendy/sulbarkini
Jenazah leluhur yang terbungkus buntalan kain digotong oleh anggota keluarga laki-laki. Foto: Frendy/sulbarkini
Usai dibungkus, jenazah leluhur akan diarak kembali untuk dimasukkan ke dalam liang atau alang-alang. Foto: Frendy/sulbarkini