news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Merawat Warisan Leluhur Melalui Kain Tenun Mamasa, Sulawesi Barat

Konten Media Partner
26 Februari 2020 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menenun bagi perempuan Mamasa tak sekadar untuk menambah penghasilan keluarga, tetapi warisan leluhur yang tetap harus dilestarikan. Foto: Frendy/sulbarkini
zoom-in-whitePerbesar
Menenun bagi perempuan Mamasa tak sekadar untuk menambah penghasilan keluarga, tetapi warisan leluhur yang tetap harus dilestarikan. Foto: Frendy/sulbarkini
ADVERTISEMENT
Untaian helai per helai benang mulai disusun rapi. Suara alat tenun tradisional masih terdengar jelas di sejumlah rumah warga di siang itu, Selasa (25/2), tepatnya di Desa Balla Satanetean, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
ADVERTISEMENT
Hampir semua ibu-ibu rumah tangga di desa ini bekerja sebagai penenun. Bagi mereka, selain untuk mendapatkan tambahan penghasilan, menenun menjadi warisan yang sudah diturunkan leluhur mereka dari masa ke masa dan hingga kini masih tetap dirawat.
Hasil tenun khas Mamasa yang dibuat ibu-ibu di Desa Balla Satanetean tentunya sangat indah dan cantik. Namun, di balik kecantikannya itu, hadir melalui tetesan keringat, kesabaran, keuletan, dan ketelitian.
Para penenun perempuan ini juga mesti sabar lantaran proses dalam menenun cukuplah rumit. Toh, mereka sudah terbiasa karena sudah menjadi pekerjaan sehari-hari.
Alhasil, dari kerja keras tangan-tangan mereka, menghasilkan karya tenun yang sangat indah. Mulai dari sambu atau sarung tradisional khas Mamasa, hingga dalam bentuk baju, jas, celana, yang dibuat dari kain tenun tradisional Mamasa.
Dalam menenun, dibutuhkan keuletan, kesabaran, dan ketelitian. Foto: Frendy/sulbarkini
Sambo Ma’dika, salah seorang penenun yang dijumpai pada Selasa (25/2), menuturkan bahwa ia mulai belajar menenun sejak di bangku Sekolah Dasar (SD) yang diajarkan oleh orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Selain merupakan warisan leluhur yang tetap dilestarikan, menenun bagi perempuan Mamasa juga merupakan salah satu cara menyiasati kerasnya kehidupan, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam proses menenun, kata Sambo’, bagian tersulit adalah ma'sampang, yakni proses memilah dan menyusun benang dari warna ke warna sebelum ditenun. Proses ini dianggap rumit karena dibutuhkan ketelitian, kejelian, dan tak boleh salah dalam memilih warna. Untuk menghasilkan sebuah karya tenun, umumnya memakan waktu yang cukup lama.
"Menenun selembar sambu atau sarung misalnya diperlukan waktu lima hari sampai satu minggu lamanya," ujarnya.
Hasil tenun mereka, selanjutnya dijual ke sejumlah toko di Mamasa. Selain itu, mereka juga kerap menerima pesanan dari luar daerah, seperti Mamuju, Polewali Mandar, dan daerah-daerah lainnya di Sulawesi hingga Jawa.
ADVERTISEMENT
"Selembar hasil tenun biasa dijual Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Tergantung corak atau motif dari kain tenun yang dibuat, apakah berupa baju atau selimut," ucapnya.
Presiden Jokowi menggunakan kain tenun khas Mamasa, sambu Bembe, pada pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Istana Negara, beberapa waktu lalu. Foto: Dok. Istimewa
Sambo' meyakini kain tenun Mamasa tak akan tergerus oleh zaman karena kain tenun tradisional tersebut sudah menjadi corak budaya daerah itu dan akan terus diturunkan ke generasi muda.
Salah satunya, Dayang Sari. Di usianya yang masih muda, 23 tahun, ia sudah pandai menenun layaknya ibunya. Dayang Sari menjadi bukti nyata kalau kain tenun tradisional Mamasa terus diwariskan ke generasi selanjutnya.
"Meski saya kuliahnya di luar daerah, namun jika balik ke kampung liburan, saya menenun. Hampir semua ibu-ibu rumah tangga di sini bekerja sebagai penenun," kata Dayang.
ADVERTISEMENT
Dia berharap, warisan leluhurnya itu bisa terus terjaga dengan baik, tak lekang oleh waktu agar Mamasa tetap dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya akan tradisi budaya dan adat istiadatnya.
(Frendy)