Konten dari Pengguna

Mengenal Lebih Dekat Kebijakan Rokok Polos di Indonesia

Muhammad Sulthon Arafat
Mahasiswa S1 - Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
20 Desember 2024 23:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sulthon Arafat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kemasan rokok polos. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemasan rokok polos. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) yang mengatur pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik semakin menarik perhatian publik. Salah satu kebijakan paling mencolok dalam rancangan ini adalah penerapan kemasan polos (plain packaging) untuk produk tembakau. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menjadi landasan bagi upaya pengendalian zat adiktif dalam produk tembakau. Langkah ini dianggap strategis untuk mengurangi daya tarik rokok, terutama di kalangan remaja dan perokok baru.
ADVERTISEMENT
Aturan kemasan rokok polos melarang penggunaan elemen visual seperti logo, warna, gambar merek, atau informasi promosi pada kemasan. Hanya nama merek dan produk yang boleh ditampilkan, itupun dalam warna, huruf, atau gaya font yang seragam. Kebijakan ini merupakan adaptasi dari Konvensi Kerangka WHO tentang Pengendalian Tembakau (FCTC), sebuah perjanjian hukum untuk melindungi generasi kini dan mendatang dari dampak kesehatan serta kerugian sosial-ekonomi akibat penggunaan tembakau.
Hingga saat ini, sudah 25 negara mengadopsi kebijakan kemasan polos sebagai upaya mengurangi daya tarik produk rokok. Australia menjadi pelopor penerapan kebijakan ini pada Desember 2012, diikuti oleh Prancis dan Inggris pada 2017. Kebijakan ini terbukti efektif dalam menurunkan prevalensi merokok, dengan data dari Australia menunjukkan bahwa tingkat perokok harian menurun dari 11,6% pada tahun 2016 menjadi 9,2% pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Landasan Kebijakan Kemasan Polos
Lantas sebenarnya apa yang menjadi acuan R Permenkes dalam mengurangi konsumsi perokok di Indonesia? Berikut ini beberapa alasan yang mendasari penerapan kebijakan tersebut:
1. Mengurangi daya Tarik visual
Kemasan polos dirancang untuk menghilangkan elemen branding yang menarik, sehingga mengurangi daya tarik visual bagi konsumen, terutama bagi perokok pemula. Penelitian menunjukkan bahwa negara yang menerapkan kebijakan ini, seperti Australia, mengalami penurunan jumlah perokok aktif dan peningkatan usia awal merokok setelah penerapan kemasan polos. Dengan mengurangi daya tarik kemasan, diharapkan lebih sedikit orang yang tertarik untuk mencoba rokok.
2. Peningkatan usia awal merokok
Di negara-negara yang menerapkan kemasan polos, seperti Australia, rata-rata usia perokok baru meningkat dari 15,4 tahun menjadi 15,9 tahun. Sebaliknya, di Indonesia, usia perokok pemula semakin menurun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), rata-rata usia perokok pemula di Indonesia turun dari 17,4 tahun pada 2007 menjadi 14–15 tahun pada 2010. Penurunan ini menunjukkan perlunya tindakan yang lebih tegas untuk melindungi generasi muda dari dampak tembakau.
ADVERTISEMENT
3. Memperkuat Peringatan Kesehatan
Dengan kemasan polos, peringatan kesehatan pada kemasan rokok akan lebih terlihat dan tidak terhalangi oleh desain visual merek rokok yang menarik. Tanpa elemen branding dan warna mencolok, peringatan kesehatan menjadi lebih dominan, sehingga konsumen dapat lebih mudah menyadari risiko kesehatan akan bahaya rokok.
4. Meningkatkan Persepsi Risiko
Penelitian menunjukkan bahwa kemasan polos dapat meningkatkan persepsi risiko di kalangan konsumen. Desain kemasan yang sederhana dan minim elemen menarik membuat konsumen lebih fokus pada bahaya yang tercantum dalam peringatan kesehatan. Hal ini mendorong mereka untuk berhenti merokok atau tidak memulai kebiasaan merokok sama sekali.
5. Tren Global dan Bukti Efektivitas
Negara-negara yang telah menerapkan kebijakan ini, seperti Australia, Prancis, dan Inggris, menunjukkan penurunan prevalensi merokok setelah penerapan kemasan polos. Misalnya, di Australia, tingkat perokok harian pada tahun 2016-2019 terjadi penurunan sebesar 2,4% setelah kebijakan ini diterapkan.
ADVERTISEMENT
Tantangan dalam Penerapan Kebijakan
Penerapan kebijakan kemasan polos ternyata tidak semudah yang dibayangkan, karena menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Salah satu dampak signifikan adalah potensi berkurangnya pendapatan negara dari cukai hasil tembakau (CHT). Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kebijakan ini dapat mengurangi pendapatan negara hingga Rp 308 triliun, angka yang cukup besar mengingat 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia berasal dari CHT. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok merupakan salah satu kontributor utama pendapatan negara melalui setoran cukai dan pajak, jauh melampaui kontribusi sektor lain, seperti pajak penghasilan BUMN.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Juru bicara Komunitas Kretek, Khoirul Afiffudin, menyatakan bahwa kebijakan ini kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor usaha. Terdapat potensi penurunan permintaan rokok legal hingga 42% jika kebijakan ini diterapkan. Sementara itu, Khoirul menambahkan bahwa kebijakan ini dapat menyebabkan lonjakan signifikan dalam peredaran rokok ilegal. Pada tahun 2023 saja, tingkat peredaran rokok ilegal telah mencapai 7%. Kenaikan harga rokok yang terus berlanjut, ditambah penerapan kebijakan kemasan polos, berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal di tahun-tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Penerapan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai kemasan polos pada produk rokok diharapkan menjadi langkah strategis dalam menekan angka prevalensi merokok di Indonesia, khususnya di kalangan remaja dan perokok pemula. Walaupun kebijakan ini menuai pro dan kontra, pengalaman dari negara-negara yang telah menerapkannya menunjukkan efektivitas dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok terhadap kesehatan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu terus melakukan kajian mendalam dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan optimal, memberikan dampak positif yang nyata bagi kesehatan masyarakat.