Kelapa Sawit Indonesia, Kekayaan yang Merusak atau Kemiskinan Lestari

Sulthan Haidar Dziban
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
3 November 2021 14:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sulthan Haidar Dziban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kelapa sawit, Source pic https://pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Kelapa sawit, Source pic https://pixabay.com

Kelapa sawit dan keuntungannya bagi Indonesia.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti yang kita semua ketahui bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia menempati ranking satu eksportir kelapa sawit terbesar dengan market share global yang mencapai 55%, dan diikuti Malaysia di urutan kedua dengan market share yang kurang lebih 30%. Untuk Indonesia sendiri kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar, dan kelapa sawit menjadi pemasukan yang cukup besar bagi negara. Di masa sulit layaknya pandemi COVID-19 ini semua sektor sangat merasakan dampaknya, dari yang penurunan angka pemasukan hingga perusahaan yang terpaksa gulung tikar, namun berbeda dengan sektor kelapa sawit, mungkin sektor inilah yang tidak merasakan dampak besar dari pandemi ini, Seperti yang dilansir oleh CNBC Indonesia pada 30 juni 2021 lalu, disebutkan bahwa sektor ini tetap berjalan normal meski yang membedakannya hanya menggunakan protokol kesehatan, bahkan sektor ini disebutkan mengalami angin segar berupa pergerakan kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sejak awal tahun 2021 hingga sempat mencapai di atas US$ 1.000 per ton pada bulan Mei tahun 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai salah satu komoditas terbesar bagi ekspor negara kita, kelapa sawit juga dapat membuka lapangan pekerjaan. Berdasar pemaparan Musdhalifah Machmud selaku Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, dalam acara webinar Sustainable Palm Oil Development in Indonesia, beliau menyebutkan bahwa komoditas ini menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dalam jumlah yang besar, menurutnya saat ini terdapat hampir 19,5 juta rakyat Indonesia yang bekerja di industri kelapa sawit, dan angka ini akan meningkat dari tahun ke tahunnya secara konsisten.

Konflik Indonesia-Uni Eropa Mengenai Kelapa Sawit.

Namun di tahun 2019 lalu, Uni Eropa yang merupakan salah satu tujuan ekspor kelapa sawit Indonesia secara sepihak mengeluarkan sebuah kebijakan yang dianggap diskriminatif, kebijakan tersebut berupa Renewable Energy Directive/RED II, yang di mana isi dari kebijakan tersebut adalah membatasi penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar dan menggantinya dengan bahan bakar lainnya misalnya minyak biji matahari ataupun kacang kedelai, kebijakan ini dinilai sama saja mematikan salah satu komoditas ekspor Indonesia, selain itu juga kebijakan RED II akan memberikan citra buruk untuk produk kelapa sawit di mata internasional.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya Indonesia memutuskan untuk menghubungi WTO (World Trade organization) sebagai penengah dari kasus ini, dan di awal tahun 2021 kemarin hal serupa dilakukan oleh Malaysia, dimana Malaysia meminta WTO untuk membentuk pilar untuk mengawasi regulasi yang dikeluarkan Uni Eropa ini. Dalam hukum Internasional sendiri terdapat beberapa cara dalam menyelesaikan konflik, dan cara yang dilakukan oleh Malaysia dan Indonesia ini adalah mediasi. Mediasi sendiri adalah salah satu dari banyaknya cara yang dilakukan oleh negara dalam mengatasi konfliknya, dalam mediasi terdapat penengah atau biasa disebut mediator, dan peran mediator cukup aktif dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa berbeda dengan cara lainnya yaitu Good Offices. Indonesia yang lebih dahulu melaporkan UE ke WTO lebih memperlihatkan keberlanjutan dari kasus ini ketimbang Malaysia yang baru beberapa bulan ini melaporkan UE ke WTO. Langkah agresif yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melarang ekspor bijih nikel kepada pihak UE, yang mana UE sendiri merupakan negara penghasil stainless steel terbesar kedua setelah China.
ADVERTISEMENT
Dan pada tanggal 2 Juni 2021 kemarin, Menlu Indonesia Retno Marsudi bertemu dengan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, yaitu Josep Borrell, dalam pertemuan ini Menlu Indonesia meminta agar UE berlaku adil terhadap kelapa sawit Indonesia, dan Menlu juga sudah berdiskusi dengan Josep Borrell mengenai komitmen dalam mengurangi emisi, yang mana merupakan salah satu alasan UE membentuk RED II. Pihak Indonesia menekankan kepada pihak UE bahwa salah satu prioritas Indonesia merupakan pembangunan hijau dan berkelanjutan.

Kritik Pedas Greenpeace Terhadap Kelestarian Hutan, Sesuai dengan fungsi NGO Lingkungan.

Dalam Hukum internasional terdapat istilah aktor/subjek hukum internasional, yang di mana para aktor ini akan berperan sebagai penggerak dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dan para aktor tadi tidak sebatas berbentuk negara saja melainkan sudah berbagai macam, misalnya; NGO/INGO (International non-Governmental Organization), MNC (MultiNational corporation), non-state actor, dan yang lainnya. Dan pada permasalahan kelapa sawit ini Greenpeace yang merupakan NGO yang bergerak dalam lingkup lingkungan memberi kritikan pedasnya terhadap situasi kelapa sawit Indonesia saat ini, dan hal ini dalam hukum internasional sendiri menjadi suatu hal yang biasa karena memang sudah tugas dari Greenpeace untuk menyikapi permasalahan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sudah banyak langkah-langkah dari pemerintah maupun organisasi-organisasi lainnya guna mengatasi permasalahan Kelapa sawit, namun sayangnya langkah-langkah tadi belum sepenuhnya efektif. Bahkan pada maret 2021 Greenpeace memberikan kritikan pedasnya mengenai kinerja kelestarian maupun sertifikasi kelestarian di seluruh dunia, dalam kritikannya ini memang tidak terkhusus untuk Indonesia, namun terdapat berbagai contoh kasus Indonesia. Menurut Greenpeace sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dinilai begitu lemah dan tidak efektif, karena terdapat beberapa masalah transparansi, terdapat masalah dalam pelaksanaan peraturan, terdapat masalah dalam hak-hak masyarakat adat dan masalah tidak adanya deforestasi. Di dalam ISPO sendiri hanya mengatur pada asal dan harga tandan buah segar (TBS) dan mengharuskan perusahaan untuk berkomitmen pada kode etik.