Konten dari Pengguna

Perkembangan Partai Politik dalam Sistem Pemilu yang Berbeda

Sultan Naufal Fairiza
Mahasiswa S.1 Ilmu Politik Universitas Andalas
5 Juli 2022 21:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sultan Naufal Fairiza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi adalah dengan diadakannya pemilihan umum, yang dianggap sebagai cara dan sarana yang paling baik bagi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan sarana kedaulatan rakyat di dalam negara Indonesia. Pemilu pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955 yang bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan konstituante. Pemilu menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia hingga sekarang dan tentunya ada hal yang diharapkan dalam penyelenggaraan pemilu ini bagi seluruh pihak.
ADVERTISEMENT
Ada seperangkat metode yang ditetapkan dalam sebuah negara sehingga rakyat dimungkinkan untuk memilih sejumlah orang yang akan mengisi jabatan dalam negara itu yang disebut dengan sistem pemilu, di mana sistem pemilu inilah yang diharapkan mampu memenuhi fungsi dan tujuan tertentu yang diinginkan oleh sistem politik. Salah satu di antara fungsi pemilu itu adalah kaitannya dengan partai politik, di mana dengan diadakannya pemilu, partai politik bisa memperoleh kursi atau jabatan politik.
Pemilih menjadi satu-satunya kunci partai untuk mampu memperoleh kekuasaan, karena rakyat sebagai pemilih mempunyai legitimasi sehingga seseorang mendapatkan jabatan tertentu dalam pemerintahan. Hal inilah yang diinginkan oleh sistem politik di mana pemilu menjadi alat untuk mengonversi suara rakyat dan gambaran keinginan masyarakat untuk siapa yang berhak memperoleh kekuasaan itu. Akibatnnya mengarah pada kesimpulan bahwa hasil dari pemilu juga merupakan representasi dari rakyat terhadap partai politik mana yang berkuasa, karena pemeran dan kontestan dibalik pemilu itu sendiri adalah partai politik. Namun seberapa besar dan akuratnya terbentuk sebuah representasi partai politik dari hasil pemilu perlu dianalisis lebih mendalam.
ADVERTISEMENT
Dapat dikaji dari contoh kasus berbeda yang terjadi pada Pemilu Tahun 2014 di mana dari 12 partai politik yang berkompetisi, tidak ada yang memperoleh suara lebih dari 20%, dan kasus yang terjadi pada Pemilu Tahun 1999 di mana partai politik peserta pemilu saat itu adalah 48 partai di mana 5 partai teratas menduduki 90% lebih perolehan kursi dari yang tersedia.
Terjadi perubahan dalam sistem Pemilu Tahun 2014 di mana pemilu dilakukan dengan model suara terbanyak (sistem proporsional terbuka), perbedaannya yang mencolok dengan Pemilu Tahun 1999 terlihat pada pemilih yang hanya memilih partai dan calon ditentukan oleh masing-masing partai politik. Pada Pemilu Tahun 1999 diperoleh hasil Partai PDIP memperoleh 33,74% suara, Golkar memperoleh 22,44% suara, dan PKB memperoleh 12,61% suara yang merupakan tiga partai dengan perolehan tertinggi. Sedangkan Pemilu Tahun 2014 perolehan Partai PDIP sekitar 18,9%, Golkar 14,7%, Gerindra 11,8%, Demokrat 10,1%, PKB 9%, PAN 7,5%, Nasdem 6,6%, PPP 6,5%, dan Hanura 5,2%.
ADVERTISEMENT
Dari perbandingan data yang diperoleh, terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah pemilih terhadap partai politik, maksudnya adalah ada suatu kemunduran loyalitas pemilih terhadap partai politik pada Pemilu Tahun 2014 yang merupakan hasil terparah di era reformasi ini. Jika tahun 1999 PDIP hampir memperoleh 35% suara nasional, maka tahun 2014 jika dikalkulasikan tiga partai atas pemenang pemilu hanya mendapatkan perolehan suara sekitar 45% dan partai pemuncak PDIP memperoleh suara kurang dari 19%.
Greg Fealy (2015) menyatakan bahwa perubahan sistem pemilu Indonesia dengan model suara terbanyak ini memicu lemahnya loyalitas pemilih pada partai politik, data hasil TPS menunjukkan bahwa pemilih lebih banyak mencoblos nama caleg 60%, sedangkan pemilih yang mencoblos tanda gambar partai politik hanya dikisaran angka 40%. Jika data survei beberapa lembaga menunjukkan pemilu 1999 menunjukkan loyalitas pemilih pada partai politik sampai pada 80%, pada tahun 2014 hanya sampai pada kisaran 20% (Riwanto, 2015).
ADVERTISEMENT
Hal ini sampai pada simpulan bahwa pemilih tanpa ideologi partai menguat terjadi dalam tubuh sistem politik Indonesia yang nampak pada hasil pemilu. Ada suatu perilaku pemilih yang disebut dengan "Party ID" (Party Identity), yang diartikan secara singkat oleh Haryanto (2014) sebagai kecenderungan pemilih mengidentikkan diri dengan partai. Dibanding mempercayakan pilihan kepada partai, pemilih cenderung mempercayakan pilihan kepada perorangan, akibatnya pemilih merasa diwakili oleh anggota peserta pemilu bukan kepada partai politiknya. Sampailah pada hubungan jika masalah representasi masih menjadi persolan dalam sistem pemilu Indonesia.
Akibat dari persoalan ini, membuat perkembangan partai politik di Indonesia cenderung terhambat. Sementara Pemilu Tahun 2014 memang sudah lebih baik karena sudah menyisihkan dan menyeleksi partai politik dari sekian banyak pendaftar pemilu, namun suara yang relatif seimbang dalam artian tidak ada partai yang terlalu besar dalam tubuh pemerintah membuat sistem politik menjadi juga tidak stabil dan goyah. Bukan hanya karena banyaknya partai politik yang membuat suara masyarakat pecah dan menyulitkan proses legislatif, namun ketika hasil pemilu yang diperoleh cukup memberikan kekuasaan yang besar di antara beberapa partai sudah cukup sebenarnya menciptakan keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Pemilu Tahun 2014 sudah cukup menggambarkan bahwa suara masyarakat menjadi terfragmentasi meskipun partai politik peserta pemilu tidak banyak. Akibatnya, ketimbang partai politik memperkuat kedudukan dan posisinya di pemerintahan terutama legislatif, partai didesak oleh sistem untuk berkoalisi. Namun menjadi permasalahan jika para partai politik tidak menjalin koalisi dengan partai lain dengan konsisten, seharusnya koalisi ini terus konsisten dan tidak berubah sehingga tidak mempengaruhi dukungan suara dan menghindari ketidakstabilan di masa selanjutnya.
Salah satu cara lain menghindari terjadinya persoalan ini adalah dengan menaikkan ambang kuota atau threshold. Ichlasul Amal dan Samsurizal (2012) mengatakan bahwa mekanisme threshold dan munculnya blok-blok kepartaian dalam DPR melalui proses yang alami dan wajar, diharapkan dapat mengantisipasi efek negatif sistem multipartai yang menimbulkan fragmentasi dan munculnya partai-partai baru. Terus berupaya meningkatkan tren kepercayaan rakyat sudah seharusnya dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Komunikasi, sosialisasi, dan rekrutmen hendaknya benar-benar dilakukan partai politik, karena pada dasarnya kepercayaan masyarakat itu bisa dibentuk dan partai politik harus adaptif terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Analisis harus dilakukan atas dasar kenapa suatu partai politik tidak terlalu memperoleh presentasi di pemilu yang begitu besar. Hal inipun tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada tahun selanjutnya yakni tahun 2019 di mana perolehan tertinggi partai politik hanya 19% yaitu PDIP. Dari Fenomena ini bukan hal yang tidak mungkin juga akan terjadi pada Pemilu Tahun 2024 mendatang.