Konten dari Pengguna

Hutan Gambung Jaga Kehidupan di Tengah Konflik

Sultan Rafly
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
9 Desember 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sultan Rafly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hutan Gambung, 22 November 2024. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Hutan Gambung, 22 November 2024. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Di lereng pegunungan Gambung, Kabupaten Bandung, biasanya terdengar suara riuh alat penyadap dan langkah para petani yang sibuk bekerja di tengah hutan pinus. Langkah-langkah para petani yang memanjat pohon pinus untuk menyadap getah dan obrolan di sela-sela pekerjaan seakan menghilang. Hutan yang dahulu menjadi
ADVERTISEMENT
nadi kehidupan masyarakat setempat kini seakan menjadi sunyi. Hal ini didasari setelah beberapa anggota Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Gambung menghadapi tuduhan atas dugaan pencurian getah pinus. Tuduhan tersebut membuat banyak petani sementara menghentikan aktivitas mereka di hutan, khawatir bahwa langkah berikutnya bisa menyeret mereka ke pusaran hukum. Apa yang sebenarnya terjadi di balik konflik ini?
Hutan Gambung tidak hanya sekadar kawasan hijau, bagi ratusan warga Desa Mekarsari dan sekitarnya, hutan ini adalah sumber utama penghidupan mereka. Melalui skema Perhutanan Sosial yang disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, Gapoktanhut mendapatkan hak untuk mengelola kawasan ini secara mandiri. Surat Keputusan (SK) tersebut menjadi simbol kemenangan kecil bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang klaim Perhutani. Dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti getah pinus, masyarakat berharap dapat membangun kemandirian ekonomi sekaligus menjaga kelestarian ekosistem. Namun, perjalanan menuju kemandirian itu terancam oleh tuduhan kriminalisasi yang belakangan diarahkan kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut Asosiasi Petani Pengelola Sumberdaya Hutan Indonesia (AP2SI), apabila petani dapat mengelola hasil hutan secara langsung tanpa campur tangan pihak luar, pendapatan mereka berpotensi meningkat secara signifikan. Namun, kondisi saat ini tidak memungkinkan. Petani terpaksa menjual hasil penyadapan mereka kepada Perhutani dengan harga yang mereka anggap rendah, pembayaran yang seringkali tidak langsung, dan tanpa adanya kontribusi kepada Gapoktanhut dan desa setempat. Dengan tuduhan pencurian yang dialamatkan kepada mereka, para petani kini sama sekali kehilangan pendapatan, mengakibatkan tekanan ekonomi yang berat pada keluarga mereka.
"Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh para petani individu, tetapi juga masyarakat yang lebih luas," ungkap Ketua AP2SI Jawa Barat, Dedi Junaedi.
Masyarakat Gambung telah lama meyakini bahwa pohon-pohon pinus di kawasan ini adalah hasil dari kerja keras mereka sendiri. Menurut Ayi Sobari, salah satu anggota Gapoktanhut saat memaparkan historis tanaman di kawasan hutan dalam perspektif masyarakat, penanaman pohon-pohon pinus di kawasan ini dimulai sejak 1991 oleh masyarakat setempat secara swadaya.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperkuat oleh narasi sejarah yang tercatat pada pertemuan antara Gapoktanhut, Perhutani, dan beberapa pihak terkait pada 15 Mei 2024, yang menyebutkan bahwa masyarakat telah merawat hutan ini bahkan sebelum istilah Perhutanan Sosial diperkenalkan.
Pada 30 Mei 2024, suasana di Desa Mekarsari berubah ketika petugas kepolisian dari Polresta Bandung mendatangi lokasi penyadapan getah pinus. Berdasarkan keterangan dalam dokumen Kronologi Kejadian, kedatangan mereka bertujuan untuk menindaklanjuti laporan Perhutani yang menuduh beberapa petani melakukan pencurian. Tanpa dialog yang cukup dengan masyarakat, polisi mengeluarkan surat panggilan untuk klarifikasi. Surat itu, bagaimanapun, tidak menjelaskan secara detail status hukum para petani yang dipanggil, apakah sebagai saksi atau tersangka. Ketidakjelasan ini memicu kepanikan, terutama di kalangan petani yang telah lanjut usia, seperti yang diungkapkan Ibu Cucun, salah satu anggota Gapoktanhut.
ADVERTISEMENT
Tim kami telah berusaha mendapatkan keterangan dari pihak Perhutani dengan mengunjungi kantor mereka pada 1 November 2024 untuk melakukan wawancara. Namun, mereka meminta waktu 3-4 hari kerja untuk memberikan jawaban. Ketika akhirnya dihubungi kembali pada 4 November, Perhutani menolak memberikan pernyataan resmi. Alasannya, permasalahan Gambung masih dalam tahap proses hukum dan tidak dapat dipublikasikan. Penolakan ini memperkuat kesan masyarakat bahwa Perhutani tidak bersikap transparan.
Menurut Fikri, anggota Gapoktanhut, "Jika memang ini tahap proses, mestinya mereka terbuka dengan fakta-fakta yang ada. Tapi kenyataannya, semua terasa tertutup." Fikri pun menambahkan bahwa laporan ini seolah-olah mengabaikan fakta bahwa masyarakat memiliki SK dari KLHK yang secara sah memberikan mereka hak pengelolaan. Menurutnya, Perhutani belum mampu menunjukkan bukti kuat bahwa pohon-pohon pinus tersebut adalah aset negara. Hal ini membuat masyarakat semakin merasa bahwa tindakan hukum yang dilakukan adalah bentuk kriminalisasi terhadap hak mereka.
ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Gapoktanhut, Perhutani, dan beberapa pihak terkait juga dilakukan sebagai upaya untuk mencari titik temu. Namun, hasilnya belum memuaskan semua pihak. AP2SI yang hadir dalam mediasi tersebut menyoroti pentingnya pengakuan atas hak masyarakat lokal. Mereka menilai bahwa konflik ini mencerminkan persoalan yang lebih besar terkait kebijakan agraria di Indonesia. Ketua AP2SI Jawa Barat, Dedi Junaedi, menyebut bahwa ada ketidaksesuaian interpretasi regulasi antara pihak Perhutani dan masyarakat, terutama terkait status aset hutan.
LBH Jabar, yang mendampingi Gapoktanhut dalam kasus ini, menilai bahwa mediasi sejauh ini belum menghasilkan solusi konkret. Dalam wawancara, Valerianus B. Jehanu menyebut bahwa kasus ini menunjukkan perlunya reformasi hukum terkait pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan lokal. Mereka juga menyarankan pendekatan restoratif sebagai alternatif penyelesaian, alih-alih jalur hukum pidana yang dianggap tidak relevan untuk kasus seperti ini.
ADVERTISEMENT
Kasus di Gambung ini tidak hanya menunjukkan konflik antara masyarakat dengan Perhutani, tetapi juga memperlihatkan ketimpangan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat lokal, yang selama ini menjadi penjaga hutan, sering kali terpinggirkan oleh klaim institusional yang tidak sepenuhnya transparan. Hal ini diperburuk oleh sejarah panjang intimidasi terhadap masyarakat, seperti yang diungkapkan dalam notulensi dialog. Salah satu warga mengungkapkan bahwa dulu mereka sering menerima ancaman pengusiran dari lahan jika tidak mematuhi aturan Perhutani. Namun, di tengah huru-hara ini, masyarakat Gambung tetap berharap akan solusi yang adil. Mereka tidak menolak kerja sama dengan Perhutani, tetapi menginginkan adanya kesetaraan dan penghormatan terhadap hak mereka.
Konflik di Gambung merupakan salah satu cerminan dari persoalan besar dalam tata kelola hutan di Indonesia. Ketidakjelasan regulasi, ketimpangan kekuasaan, dan kurangnya diskusi sering kali menjadi pemicu konflik antara masyarakat lokal dengan institusi negara. Dalam konteks ini, kasus Gambung harus menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa hutan bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama.
ADVERTISEMENT
Semua pihak kini menantikan langkah berikutnya. Apakah pemerintah akan mengambil kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, atau apakah kasus ini akan menjadi contoh lain dari dominasi kekuasaan atas hak rakyat kecil? Yang jelas, suara masyarakat petani di Gambung menuntut untuk didengar. Mereka berharap keadilan yang selama ini direnggut dapat kembali, agar hutan ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga simbol kebersamaan dalam menjaga alam untuk generasi mendatang.