Konten dari Pengguna

Fenomena Gunung Es: Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja

Sultan Wahyu Fadhli
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Riau - Staff of the Ministry of Law and Human Rights (BEM UIR)
4 Agustus 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sultan Wahyu Fadhli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Sumber: Unsplash (by: charlesdeluvio)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Sumber: Unsplash (by: charlesdeluvio)
ADVERTISEMENT
Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk kekerasan berbasis gender, merupakan permasalahan yang serius. Adanya kekerasan dan pelecehan, dapat menimbulkan dampak buruk bagi dunia bisnis, perusahaan dan pekerja, antara lain mempengaruhi hubungan di tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan pekerja, produktivitas perusahaan maupun para pekerjanya dan reputasi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan dalam upaya mengakhiri kekerasan dan pelecehan di dunia kerja di indonesia adalah minimnya kesadaran publik terkait hal ini, termasuk kemampuan untuk mengindentifikasi bentuk kekerasan publik terkait hal ini, termasuk kemampuan untuk mengindetifikasi bentuk kekerasan dan pelecehan. bagaimana cara menyikapinya? sering diibaratkan seperti fenomena es, tidak sedikit korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja enggan untuk melaporkan kasusnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahun 2022-2023 mencatat ada 401.975 kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Bagaimana bisa negara konoha yang masih kental akan budaya seperti Indonesia memiliki angka yang begitu menyedihkan? Mungkin ini adalah bentuk "Komitmen" dari para pelaku pelecehan seksual yang sering terjadi sehingga posisinya di puncak perzinaan terbesar didunia. Selain itu, menurut Survei International Labour Organization Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Indonesia 2022 dengan metode kuantitatif menunjukkan memiliki total 1173 responden dengan 832 orang (70.81%) di antaranya pernah menjadi korban, 855 orang (72,77 %) pernah menjadi saksi, serta 627 orang (53,36%) pernah menjadi saksi sekaligus korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Baik korban maupun saksi memiliki latar belakang yang beragam, baik dilihat dari identitas gender, usia, tingkat pendidikan, jabatan, sektor kerja, dan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa semua bisa kena, walau tidak dapat dipungkiri tetap terdapat kelompok yang lebih rentan, yaitu kelompok queer/non-biner, perempuan, dan penyandang disabilitas. Jika dilihat dari bentuknya, kekerasan dan pelecehan psikologis merupakan yang paling marak terjadi atau tepatnya pernah dialami oleh 77.40% korban. Disusul dengan kekerasan dan pelecehan seksual, berdimensi ekonomi, secara daring, dan fisik. Hal tersebut kemudian berdampak negatif terhadap kehidupan profesional maupun personal dari para korban dan juga saksi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya hal tersebut tidak dimbangi dengan kebijakan yang kuat, 34,53% responden bahkan menyatakan di perusahaannya tidak terdapat kebijakan anti kekerasan dan pelecehan. Sejalan dengan hal tersebut, 42,55% korban menyatakan hanya bisa diam dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mengalaminya. Sehingga tak heran, untuk mendapatkan keadilan, tidak semua korban dapat menempuh jalur-jalur formal. Survei menunjukan hanya 10,94% korban yang melaporkan kasus tersebut ke SDM dan hanya 1,80% korban yang melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian. Dalam menghadapi berbagai tekanan ini, mayoritas saksi berperan aktif dalam membantu korban dan turut menyuarakan perbaikan kondisi keamanan dan keselamatan kerja ke manajemen. Peran aktif dari para pekerja menjadi langkah awal yang sangat baik dalam menciptakan dunia kerja aman untuk semua.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi ini, menunjukkan urgensi akan adanya perlindungan hukum yang komprehensif untuk melindungi pekerja Indonesia dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Kita semua pun bisa berperan untuk menghapus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Upaya yang telah dilakukan lembaga negara, asosiasi pengusaha dan bisnis, serikat pekerja, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil perlu terus dilanjutkan. Tak kalah pentingnya upaya membrantas dan mengurangi angka pelaku negatif adalah memberikan penyuluhan sosialisasi "Stop Kekerasan dan Pelecahan Seksual" kepada lembaga pendidikan agar tidak berdampak negatif terhadap kehidupan profesional nantinya. Pemerintah juga harus mempertegas regulasi sanksi pidana apalagi biasa nya jika kategori pelajar itu masih di klasifikasikan di bawah umur.
Terkadang yang sulit di negara kita dalam memberikan sanksi, apalagi di lihat dari kasus diluar sana khususnya anak masih di bawah umur, masih ada keringanan, tentu pemerintah harus lebih selektif dan menjadi sebuah PR baru bagi pemerintah saat ini. Jangan sampai ada kejadian-kejadian kekerasan dan pelecehan seksual di rumah, sekolah maupun di perusahaan kerja yang ada di tanah air tercinta, negara melindungi dan menjamin agar semua hak pekerjaan dapat memperoleh HAM tanpa adanya kekerasan guna memberikan dampak yang baik bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT