Konten dari Pengguna

Gadget Masuk Kelas: Musuh atau Teman Belajar?

Sulthan Syafiq Fayyaz
Seorang Mahasiswa Program studi Sistem Informasi di Universitas Pamulang
10 Mei 2025 16:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sulthan Syafiq Fayyaz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber :Pexels  (https://pixabay.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber :Pexels (https://pixabay.com/)
ADVERTISEMENT
Dahulu, membawa ponsel ke sekolah dianggap sebagai pelanggaran. Namun sekarang, di banyak sekolah, perangkat tersebut telah menjadi sarana pembelajaran yang sangat berguna. Pandemi COVID-19 telah mempercepat perkembangan digital dalam pendidikan, sehingga para guru dan siswa kini lebih terbiasa dengan alat-alat digital. Namun, setelah kembali ke kelas, muncul pertanyaan besar: apakah gadget benar-benar menjadi teman dalam belajar? Atau justru menjadi musuh yang tersembunyi?
ADVERTISEMENT

Gadget: Antara Alat Belajar dan Distraksi

Tak dapat dipungkiri, gadget mempermudah akses terhadap informasi. Siswa dapat mencari referensi, menyelesaikan tugas melalui aplikasi, bahkan mengikuti kuis interaktif yang dibuat oleh guru. Di beberapa sekolah, telah diterapkan metode pembelajaran berbasis digital, termasuk Google Classroom, Quizizz, serta pemanfaatan video pembelajaran dari YouTube.
Namun, ada sisi negatif yang juga harus diperhatikan. Gadget menjadi sumber gangguan terbesar di kelas. Banyak guru mengeluhkan bahwa siswa terlihat diam, tetapi bukan karena mereka berkonsentrasi mendengarkan—melainkan karena mereka sibuk bermain game, menjelajahi TikTok, atau mengobrol secara diam-diam. Seringkali, saat guru menyampaikan materi, siswa lebih tertarik mencari hiburan.
Ini bukan hanya masalah disiplin, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami proses pembelajaran. Gadget hanyalah sebuah alat—yang menjadi penentu baik atau buruk adalah cara penggunaannya.
ADVERTISEMENT

Saat Guru Ketinggalan Teknologi

Satu permasalahan penting lainnya adalah kesiapan para guru. Banyak guru—khususnya yang sudah senior—masih belum akrab dengan teknologi. Sebagian merasa gaptek, canggung menggunakan platform pembelajaran digital, atau bahkan menolak teknologi karena dianggap "merepotkan" dan "mengganggu metode pembelajaran tradisional. "
Nyatanya, siswa saat ini merupakan generasi yang tumbuh di era digital. Mereka dibesarkan bersama internet dan teknologi. Jika guru tidak dapat mengikuti perkembangan, kelas akan terasa membosankan dan ketinggalan zaman.
Hal ini membuat banyak siswa lebih memilih belajar secara mandiri lewat internet ketimbang mendengarkan penjelasan guru. Mereka dapat mengakses tutorial, penjelasan, dan latihan soal di YouTube atau platform lainnya—sering kali dengan cara yang lebih menarik dan interaktif.

Perlu Kebijakan yang Cerdas, Bukan Sekadar Larangan

Beberapa sekolah mengambil langkah cepat dengan melarang penggunaan ponsel di kelas. Meskipun terlihat tegas, pendekatan ini sering kali tidak memberikan hasil yang efektif. Siswa tetap akan mencari cara untuk mengakses ponsel mereka, atau bahkan merasa tertekan dengan larangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang dibutuhkan bukan larangan, tetapi pengelolaan yang tepat. Gadget dapat menjadi alat bantu yang sangat baik jika digunakan dengan bijaksana dan diarahkan secara benar. Guru perlu dilatih tentang cara mengintegrasikan teknologi dalam proses belajar. Misalnya, memberikan tugas berbasis penelitian online, mengerjakan proyek digital, atau berdiskusi melalui forum daring.
También, siswa harus diberikan pemahaman mengenai literasi digital: bagaimana melakukan penyaringan informasi, etika sosial media, dan cara memanfaatkan teknologi untuk produktivitas, bukan sekadar untuk hiburan.

Belajar Lewat Gadget: Bukan Masa Depan, Tapi Sekarang

Kita tidak sedang menuju dunia digital—kita sudah berada di dalamnya. Dunia kerja, bisnis, dan interaksi sosial saat ini sudah sepenuhnya digital. Jika pendidikan tidak beradaptasi, sekolah hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak siap menghadapi kenyataan di luar sana.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, jika gadget bisa menjadi bagian dari proses belajar, maka peluangnya sangat besar. Kita dapat menghasilkan siswa yang mandiri, kreatif, dan mampu belajar dari berbagai sumber. Namun, hal ini hanya bisa berlangsung jika ada kerja sama antara guru, siswa, sekolah, dan orang tua untuk menciptakan budaya belajar yang adaptif dan bertanggung jawab.

Penutup

Gadget bukanlah lawan. Sebaliknya, ia dapat menjadi sahabat belajar yang sangat berguna—jika diberi bimbingan, bukan dibiarkan tanpa kontrol. Apa yang diperlukan saat ini bukanlah sekolah yang anti-teknologi, melainkan institusi yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi. Pendidikan tidak perlu meninggalkan papan tulis, tetapi harus berani menghadapi layar, dan memandangnya sebagai pintu menuju dunia yang baru.