Antara Tren Sepeda, Bisnis, dan Ekonomi Digital

Sumarna
Peminat dan Pemerhati Ekonomi Digital, Direktur MUTU International
Konten dari Pengguna
11 Agustus 2020 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sumarna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sepeda. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sepeda. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tren sepeda yang booming baru baru ini mengingatkan kita pada kemunculan arus gaya hidup baru, yang menyeimbangkan antara gaya dan kesehatan tubuh.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang merasa begah karena terkungkung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena pandemi Covid-19 selama berbulan-bulan, merasa perlu melenturkan tubuhnya dengan berolahraga. Bersepeda pun menjadi saluran pembalasan dendamnya.
Sementara itu, kalangan masyarakat berpendapat bahwa bersepeda menjadi jalan olahraga yang aman selama pandemi Covid-19. Benar atau tidak? Hanya waktu yang akan menjawab.
Terlepas dari polemik di atas, bukan kali ini saja tren sepeda menimbulkan kontroversi. Jika tren bersepeda di indonesia sekarang berkisar pada gaya hidup versus kesehatan tubuh, maka tren sepeda sebelumnya berbicara pula soal gaya hidup versus kesehatan, khususnya kesehatan bisnis. Hal ini pernah terjadi (atau masih sedang terjadi) di Tiongkok. Berikut cerita ringkasnya.
Ekonomi Digital Peminjaman Sepeda Online Ala Tiongkok
ADVERTISEMENT
Status Tiongkok sebagai inovator ekonomi digital pada dekade ini tak lagi dapat dipungkiri. Mulai dari belanja digital harga tradisional ala Taobao milik Alibaba, pembayaran digital ala Alipay (milik Alibaba juga), sampai ekosistem ekonomi digital ala WeChat yang menyajikan semua layanan dari pesan pribadi sampai pembayaran digital dalam satu muka aplikasi.
Tiongkok juga tak mau ketinggalan dalam urusan kesehatan dan gaya hidup, tentu berlandaskan pada kerangka ekonomi digital yang sedang dibangun oleh pemerintah negara tirai bambu itu. Dalam bidang kesehatan dan gaya hidup, Tiongkok turut melahirkan model bisnis peminjaman sepeda secara online, salah satu di antaranya adalah Ofo.
Ofo didirikan pada tahun 2014 oleh lima orang anggota klub bersepeda di Universitas Peking, dengan seorang pemotor kunci bernama Dai Wei, seorang jebolan Master of Science (M.Sc) di bidang ekonomi dari Universitas Peking. Ofo terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada tahun 2017, di mana diperkirakan valuasi Ofo telah mencapai US$ 1 miliar.
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun 2018, Ofo, yang sejak tahun 2015 harus berkompetisi secara cutt throat dengan Mobike, perusahaan penyewaan sepeda lainnya asal Tiongkok, mulai kehabisan napas.
Tercatat, pengguna aktif Ofo turun dari 26 juta pengguna pada Maret 2018 menjadi tinggal 10 juta pengguna saja pada Februari 2019. Sementara Mobike juga tidak jauh lebih baik dengan jumlah pengguna pada Maret 2018 sebanyak 22 juta pengguna turun ke 12 juta pengguna pada Februari 2019.
Alhasil, Dai Wei sekarang masuk dalam daftar hitam kredit Pemerintah Tiongkok karena gagal memenuhi berbagai kewajiban kredit. Dai Wei tidak bisa menggunakan beberapa layanan kereta api, maskapai penerbangan, sampai pembelian barang-barang tertentu.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Paling tidak terdapat tiga alasan kenapa hal tersebut terjadi.
ADVERTISEMENT
Pertama, Ofo dan Mobike terjebak dalam perang harga sampai batas harga yang kelewat murah. Ofo dan Mobike, untuk beberapa waktu yang signifikan, sempat mematok biaya langganan layanan mereka hanya sebesar CH¥ 1 per bulan (sekitar Rp 2 ribu). Walhasil, biaya operasional perusahaan menjadi tidak tertutupi.
Alasan kedua adalah mereka berkembang terlalu cepat dan memiliki suplai barang (sepeda sewaan) terlalu besar. Sebab, penambahan barang sama dengan penambahan biaya operasi. Di sisi lain, pendapatan tidak berkembang secepat perkembangan biaya. Sebagai gambaran, siapa pun yang pernah ke kota-kota besar di Tiongkok pasti pernah melihat tumpukan sepeda sewaan di sana-sini. Demikian gambaran betapa melimpahnya suplai sepeda sewaan di Tiongkok.
Alasan ketiga adalah pendapatan dari data pengguna aplikasi yang belum cukup menutupi biaya operasional perusahaan. Meskipun dijanjikan dengan manis bahwa segalanya butuh data dalam ekonomi digital, namun tampaknya penjualan dan integrasi data belum memberikan dampak terhadap pendapatan perusahaan dalam kerangka ekosistem ekonomi digital yang dibayangkan oleh perusahaan.
ADVERTISEMENT
Mantra Bisnis Ekonomi Analog dan Ekonomi Digital Masih Sama
Hal pertama yang ditanyakan kepada siapa pun yang pertama kali mengikuti mata kuliah pengantar manajemen adalah apa tujuan orang berusaha atau berdagang.
Jawaban yang banyak bermunculan adalah mencari nafkah, mendapatkan penghasilan, menjadi kaya dan lain sebagainya. Semuanya pada akhirnya berpangkal pada satu hal, yakni mendapatkan keuntungan.
Namun, ternyata masih ada yang kurang. Apakah itu?
Keberlanjutan. Mengapa?
Sederhana saja. Setiap orang ingin bisnisnya terus tumbuh bukan? Sementara dalam bisnis tersebut dia harus berhadapan dengan banyak hal. Ada pemerintah, pesaing lain, klien, sampai supplier bahan baku. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Kita ingin cuan tetap mengalir, namun juga tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu lambat. Bahasa mudahnya, mengalir di waktu yang tepat dalam jumlah yang tepat.
ADVERTISEMENT
Terlalu besar, bisa saja dipajaki terlalu besar oleh pemerintah, sementara pembukuan perusahaan saja masih belum siap. Terlalu cepat besar juga membuat pesaing tiba-tiba menjadi sigap.
Sedangkan terlalu lama pun berakibat buruk bagi kita. Pesaing bisa jadi telah melompat terlalu jauh. Atau klien sudah keburu kecantol dengan brand sebelah.
Maka, perencanaan tentang kapan dan bagaimana harus berkembang menjadi sangat dibutuhkan. Perkembangan perusahaan harus dirancang, di-engineering sedemikian rupa. Hal ini telah berlaku sejak era VOC pertama kali menerbitkan saham di dunia, sampai sekarang, ketika kita bisa membeli saham di smartphone kita masing-masing, thanks to ekonomi digital yang sudah mengglobal.
Entah sudah berapa banyak start up yang tumbang karena mengabaikan prinsip keberlanjutan. Tahun ini mendapat penghargaan dari berbagai pihak. Tahun depan sudah bangkrut dikejar-kejar oleh kreditur. Start up terlena potensi multiplier penggunaan teknologi dengan embel-embel ekosistem ekonomi digital, namun kelewat bergantung pada pendanaan atau seeding dari venture capital yang belum pasti dapat. Ditambah pula perencanaan cash flow belum mantap. Hal ini semakin membuat usaha yang anda geluti menjadi kurang seksi di mata investor.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah bisnis model ada sudah berkelanjutan di era ekonomi digital ini? Hanya anda yang dapat menjawab dan waktu yang akan membuktikan.