Konten dari Pengguna

Mendadak Digital Kala Pandemi COVID-19

Sumarna
Peminat dan Pemerhati Ekonomi Digital, Direktur MUTU International
29 Juli 2020 19:01 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sumarna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian nasional. Hampir seluruh sektor usaha melakukan percepatan transformasi ekonomi digital dalam proses bisnisnya. Beruntung, Indonesia telah memiliki modal awal untuk mengakselerasi ekonomi digital, yaitu pesatnya perkembangan penggunaan internet dan pemakaian ponsel pintar (smartphone). Berdasarkan laporan terbaru We Are Social, pada 2020 ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia atau mencapai 64% dari total populasi. Tren pengguna internet ini tercatat melonjak 17% dibandingkan periode tahun lalu. Di tengah wabah, penggunaan internet kian masif, dimana trafik internet terpantau meningkat hingga 5-10% dibandingkan periode normal.
ADVERTISEMENT
Pelaku usaha tak punya pilihan selain mempercepat adopsi teknologi digital. Apalagi kondisi perekonomian terpukul cukup dalam karena pembatasan mobilitas dan aktivitas sosial. International Monetary Fund (IMF) menyatakan dampak Covid-19 terhadap perekonomian global berpotensi memicu resesi di berbagai negara. Penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi tak dapat dihindari, tak terkecuali oleh Indonesia. Sebelum wabah melanda, pemerintah optimistis perekonomian dapat melaju hingga 5,3 % tahun ini, namun pada 1 April pemerintah sepakat untuk memangkas proyeksi pertumbuhan menjadi kisaran 0,4% - 2,3%.
Perubahan pola bisnis yang mengarah ke digital utamanya terjadi pada industri fast moving consumer goods (FMGC) atau barang-barang kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Marketplus Industry Roundtable, terdapat perubahan kebiasaan konsumen dalam berbelanja, dimana makanan olahan menjadi primadona, disusul oleh makanan cepat saji, dan makanan siap santap. Pertimbangan konsumen terbilang sederhana, yaitu karena harganya yang relatif terjangkau serta masa kadaluarsa yang panjang sehingga awet disimpan. Alih-alih pergi ke restoran atau memesan makanan di luar, masyarakat lebih memilih untuk memasak dan mengolahnya sendiri di rumah. Kekhawatiran akan penyebaran wabah yang belum usai mendasari perilaku ini.
ADVERTISEMENT
Tak hanya pola belanja konsumen yang berubah, strategi bisnis produsen FMGC juga menyesuaikan kondisi terkini. Strategi marketing atau penjualan produk kini diarahkan melalui platform digital, khususnya media sosial. Pasalnya, konsumen tak lagi seperti dulu yang bisa dengan leluasa pergi ke supermarket untuk berbelanja. Produsen mau tak mau harus menyiapkan platform penjualan online, baik melalui situs mereka sendiri, atau berkolaborasi dengan e-commerce. Konten promosi yang kreatif turut diciptakan produsen, dengan meningkatkan interaksi dengan konsumen atau engagement di akun media sosial.
Kondisi ini tak lagi mengejutkan, terlebih pada awal masa wabah, Indonesia sempat mengalami fenomena ‘panic buying’. Fenomena itu terjadi tepat setelah pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 yang pertama pada awal Maret lalu. Orang-orang begitu khawatir dengan ketersediaan produk, seperti bahan makanan, masker, maupun cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dalam jangka panjang. Namun, seiring dengan jaminan ketersediaan stok barang yang diawasi langsung oleh pemerintah, fenomena ini perlahan melambat.
ADVERTISEMENT
Tak seperti perusahaan konvensional yang menyulap proses bisnisnya menjadi digital dengan kilat, perusahaan teknologi sudah barang tentu memiliki kesiapan yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, perusahaan teknologi asing ternama telah banyak banyak berinvestasi dalam industri digital dalam negeri. Misalnya, platform e-commerce Tokopedia yang baru-baru ini memperoleh suntikan modal US$ 1,1 miliar dari kelompok investor Alibaba asal Cina. Kemudian, platform super apps Gojek yang dengan cepat mendiversifikasi bisnisnya mulai dari logistik hingga pembayaran digital, mengandalkan raksasa teknologi Cina yaitu Tencent Holdings Ltd. Dan JD.com sebagai investor pengusungnya.
Perusahaan-perusahaan teknologi itu bisa dikatakan mendapatkan keuntungan atau blessing in disguise di tengah pandemi. Bagaimana tidak, kini masyarakat begitu bergantung pada belanja online melalui e-commerce, bahkan kemudahan memesan makanan melalui aplikasi. Layanan antar makanan seperti GoFood dan GrabFood misalnya meningkat hingga 20%, sedangkan e-commerce mencatatkan peningkatan penjualan 26% dari rata-rata bulanan kuartal II 2019.
ADVERTISEMENT
Adapun pemanfaatan teknologi digital saat ini tercatat naik sekitar 15-20%, yang antara lain terdiri dari pemanfaatan e-commerce, e-learning, peningkatan literasi digital, serta permintaan jasa pengantaran (delivery). Tak hanya korporasi besar, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga mempercepat transformasi digital di tengah pandemi. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebanyak 301.115 pelaku UMKM bertransformasi menjadi digital pada periode 14 Mei – 9 Juni 2020.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendukung ketahanan sektor usaha. Salah satunya, kebijakan untuk mendorong penjualan produk-produk pasar tradisional secara online. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya telah bekerja sama dengan platform Gojek untuk merealisasikan rencana ini melalui fitur GoShop. Sektor korporasi pun tak ingin ketinggalan memainkan peran, Tokopedia berkomitmen untuk memberikan biaya pengiriman gratis bagi pelanggan UMKM melalui platform miliknya. Mempertahankan roda bisnis tetap berjalan di masa pandemi memang bukan perkara mudah. Namun, transformasi digital yang kian masif dilakukan, memberikan harapan untuk kelancaran aktivitas perekonomian di tengah keterbatasan.
ADVERTISEMENT