Bom Sampah di Yogyakarta dan Budaya Partisipasi Publik

Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
Konten dari Pengguna
1 April 2019 18:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Sumbo Tinarbuko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta (Ilustrasi: Vincensius Dwimawan)
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta (Ilustrasi: Vincensius Dwimawan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harian Kompas (28/3/2019) menayangkan kabar visual berupa foto Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto karya fotografer harian Kompas Ferganata Indra Riatmoko, menampilkan penampakan visual lautan sampah di TPST Piyungan.
ADVERTISEMENT
Keterangan foto TPST Piyungan menyertakan selarik informasi, ‘TPST Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, tampak sepi. Sejak Minggu (24/3/2019), warga menutup TPST Piyungan sehingga tidak ada aktivitas pembongkaran sampah di lokasi tersebut. Penutupan TPST Piyungan membuat sampah di sejumlah kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta menumpuk.’’
Menurut Kompas, warga sekitar TPST Piyungan sejak Minggu pagi sengaja menutup akses menuju TPST Piyungan. Aksi demo yang dilakukan sejumlah warga disebabkan antara lain terjadinya antrean panjang truk sampah di dekat permukiman. Selain bau busuk, cairan sampah mengotori jalan.
"Saat ini, kondisi dermaga di TPST Piyungan tak layak karena tertimbun sampah. Akibatnya, pembongkaran sampah butuh waktu lama sehingga terjadi antrean panjang,’’ tulis harian Kompas.
Kepala UPTD TPST Piyungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY Kuncoro, seperti dikutip Harianjogja.com (30/3/2019) menjelaskan kondisi TPST Piyungan diperkirakan akan normal pada lima hari ke depan. Pembangunan dermaga bawah diperkirakan selesai pada Selasa pekan depan sehingga bisa segera digunakan untuk menampung.
ADVERTISEMENT
“Nanti akan digunakan untuk dump truck dan non truk akan dibedakan, untuk saat ini memang baru satu pintu yang dibuka,” katanya.
Sementara itu, kabar warganet yang disampaikan akun @nawankcrossline lewat WAG Info Event Jogja (31/3/2019) mengabarkan perkembangan masalah sampah yang melanda DI Yogyakarta. "Hari ini sudah ada perkembangan untuk masalah sampah. Tadi siang saya lihat truk pengangkut sampah BLH mulai bekerja," tulis akun @nawankcrossline.
Ditambahkannya, ‘’Sore tadi, bak sampah di Timur Jembatan layang sudah kosong. Padahal kemarin-kemarin 1 truk full mangkrak di sana dan 10 gerobak full sampah juga berjejer. Semoga kekhawatiran teman-teman yang peduli dengan sampah segera reda.’’
Kota Budaya
Atas terjadinya ledakan bom sampah yang berlangsung mulai Minggu 24 Maret 2019, agaknya konsep pembangunan masyarakat di DI Yogyakarta harus diubah orientasinya. Pola pendekatan fisik yang selama ini kerap mendominasi, mestinya dirombak total. Alasannya sederhana. Pelaksanaan pembangunan dengan mengedepankan bidang fisik terbukti gagal total. Untuk itu perlu digagas hadirnya nilai baru dan positioning anyar.
ADVERTISEMENT
Dengan hadirnya UU Keistimewaan, DI Yogyakarta, diposisikan sebagai kota budaya. Pada titik ini DI Yogyakarta sedang menjalani proses panjang repositioning dan rebranding menjadi kota budaya yang dilengkapi fasilitas pariwisata memadai.
Selain itu, DI Yogyakarta diposisikan dan di-branding sebagai kota budaya dilengkapi fasilitas pendidikan yang memadai. Tidak kalah penting, DIY juga diposisikan dan di-branding sebagai kota budaya dilengkapi fasilitas belanja, kuliner, dan seni kerajinan yang memadai.
Ketika peluit penyelenggara negara ditiupkan guna menjalankan proses repositioning dan rebranding DI Yogyakarta sebagai kota budaya dilengkapi fasilitas pendidikan, belanja dan pariwisata kelas premium, mereka terlebih dahulu membangun budaya partisipasi publik di ruang publik.
Partisipasi publik dalam konteks ini meliputi sikap mental pejabat publik yang terlebih dahulu di-repositioning dan di-rebranding agar dapat menjalankan tugas negara sebagai pelayanan masyarakat. Mereka juga secara sadar memiliki inisiatif menyejahterakan warganya dengan kebijakan bertumpu pada kebermanfaatan masyarakat yang dilayani dan diayominya.
ADVERTISEMENT
Manakala dedikasi pejabat negara secara kuantitatif menunjukkan angka statistik peningkatan signifikan dalam konteks pelayanan publik. Pada titik ini, gerbong partisipasi publik dengan mudah ditarik sang lokomotif bernama pejabat publik penyelenggara negara.
Paparan di atas tampak indah ketika dipercakapkan. Realitas sosial di lapangan menunjukan catatan buruk. Kota budaya yang dikonsepsikan sebagai representasi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta harus didorong dengan energi positif oleh siapa pun yang merasa mencintai kota tercinta ini.
Ramah Lingkungan
Tumpukan sampah Foto: Pixabay
Guna menumbuhkan budaya menjaga kebersihan di lingkungan masyarakat DI Yogyakarta, memang tidak mudah. Tidak segampang membalik telapak tangan. Semuanya butuh proses, upaya rutin, dan pengendalian diri yang terkontrol.
Untuk mewujudkan "Daerah Istimewa Yogyakarta Bersih dan Hijau’’ yang berwawasan ramah lingkungan, perlu disengkuyung dan disikapi semangat proaktif. Kebijakan tersebut dilandasi niatan mulia agar kesadaran warga DI Yogyakarta dalam mengelola lingkungan hidupnya senantiasa berwawasan ramah lingkungan dapat ditingkatkan partisipasinya sampai pada tataran budaya malu.
ADVERTISEMENT
Langkah konkret ke arah pengelolaan lingkungan lewat pola laku hidup tertib, bersih, dan sehat dengan cara mengedukasi masyarakat agar mau dan mampu mengelola sampah rumah tangga secara mandiri. Strateginya, pertama, mengajak setiap satuan rumah tangga untuk memisahkan sampah organik dan non-organik sebelum dibuang ke tempat sampah yang sudah disediakan.
Kedua, Pemerintah DI Yogyakarta dengan dukungan penuh dari Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo, secara bersama-sama membangun hutan kota di berbagai tempat. Dengan menanam aneka macam tumbuhan yang diyakini mampu menjadi paru-paru kota.
ADVERTISEMENT
Hal itu dilakukan untuk mengembalikan fungsi hutan kota yang bertugas menyerap air hujan serta karbon sebagai hasil pembakaran BBM akibat polusi kendaraan bermotor dan industri.
Jika hutan kota berhasil ditumbuhkan maka lambat laun berbagai satwa dan burung berkicau pun akan hinggap menyemarakkan suasana yang ada di sekitar hutan kota. Dampak yang muncul, DI Yogyakarta bebas banjir, menjadi hijau, sejuk, nyaman, damai dan masyarakat penghuni kota pun cenderung lebih santun, berperilaku, dan berbudi bahasa halus seperti yang diwariskan nenek moyang kita.
Senyampang membangun hutan kota, Pemerintah DI Yogyakarta dengan dukungan penuh dari Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo perlu mengajak partisipasi aktif masyarakat luas untuk melakukan penghijauan dengan menanam pohon pelindung atau tanaman perindang (sekaligus merawatnya) di lingkungan tempat tinggalnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, meminta para produsen penghasil sampah, dalam hal ini pedagang kaki lima yang berjualan makanan dan produk atau jasa sejenis di pinggir Jl. Kaliurang, Jl. Solo, Jl. Gejayan – Affandi, Jl. Malioboro, seputar Alun-Alun Utara dan Selatan, Jl. AM Sangaji, Jl. Cik Ditiro, Jl. Pangeran Diponegoro, Jl. P. Mangkubumi, Jl. Jend. Sudirman, Jl. C. Simanjuntak, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Pasar Kembang, seputar stasiun Lempuyangan, dan tempat-tempat lain yang dianggap strategis untuk berjualan agar meningkatkan nurani kesadarannya demi menjaga kebersihan di wilayah kerjanya. Jika ajakan diabaikan, perlu ditindak tegas dengan aturan hukum yang berlaku.
Hal itu perlu dilakukan mengingat keberadaan mereka ditengarai sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kumuh, bau, dan kotornya wajah kota DI Yogyakarta akibat sampah makanan sisa-sisa dagangan yang dibuang sembarangan. Belum lagi limbah minyak dan air kotor yang menggenang di sepanjang trotoar.
ADVERTISEMENT
Gerobak dorong, lapak, tumpukan kursi-meja, berikut tenda peneduh yang acap kali ditinggal di sekitar lokasi pedagang kaki lima menambah kumuhnya wilayah hunian tersebut. Mereka juga dicap kurang mampu menjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kota budaya DI Yogyakarta.
Perang terhadap sampah seperti yang pernah dicanangkan Pemkot Yogyakarta tentunya tidak sekadar mengajak partisipasi warga masyarakat memiliki budaya membuang sampah pada tempatnya. Atau melaksanakan program kerja bakti yang dikoordinasikan masing-masing Ketua RT untuk membersihkan wilayah lingkungannya menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Sampah Visual
Petugas gabungan mencopot baliho saat penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) Pemilu 2019 di kawasan KOta Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (16/1/2019). Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Semangat mewujudkan ‘’Daerah Istimewa Yogyakarta Bersih dan Hijau’’ perlu ditambah dengan perang terhadap sampah visual yang secara nyata meneror kalbu. Apalagi tampilan visualnya yang terkadang tidak utuh lagi mempunyai potensi memendam kekerasan visual.
ADVERTISEMENT
Sampah visual yang dimaksud dalam konteks ini adalah iklan luar ruang (iklan politik dan iklan komersial) yang dipasang sembarangan, tampilan visualnya menjadi kumuh. Iklan luar ruang yang sejatinya sebagai sebuah media komunikasi visual dirancang dengan pemikiran desain secara maksimal, akhirnya menjadi kambing hitam. Karena dalam perkembangannya menjadi salah peruntukan akibat pola pemasangan dan penempelan yang tidak menghiraukan estetika dan ekologi visual kota.
Sampah visual yang lebih ganas lagi terlihat pada iklan luar ruang yang memanfaatkan media billboard, poster, mural iklan, spanduk, rontek, baliho, banner, umbul-umbul, dan sebangsanya. Di wilayah Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo, keberadaan sampah visual iklan komersial dan iklan politik menjadi pemandangan yang menyesakkan dada.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari media tersebut berujung pada teror visual. Tebaran cengkeramannya dilemparkan lewat visualisasi dan teks mencolok yang seluruhnya memproduksi citraan budaya konsumsi. Dan setiap orang, dalam ruang yang disesakinya diprovokasi ke dalam citraan-citraan tersebut.
Untuk menuju kota yang berwawasan ramah lingkungan, tentu tidak dimaknai hanya sekadar perang terhadap sampah material dan sampah visual saja. Untaian langkah menuju "Daerah Istimewa Yogyakarta Bersih dan Hijau’’ dalam konteks ini memiliki konotasi meluas sekaligus melebar.
Harapannya, akan merambah pada konotasi ‘’bersih diri’’ atas polah tingkah antarmanusia dengan sesamanya, perilaku antarmanusia dengan lingkungannya, dan manusia dengan Sang Khalik. Ketika semangat ‘’bersih diri’’ senantiasa dikobarkan dalam kalbu dan sanubari kita, maka hidup dan kehidupan ini akan jauh lebih bermakna.
ADVERTISEMENT
Jika terwujud, citra visual DI Yogyakarta akan semakin baik di masa datang. Hal itu terejawantah manakala niatan positif ini senantiasa didengungkan dengan merapatkan barisan antara pemerintah dan masyarakat luas untuk menuju ’’Daerah Istimewa Yogyakarta Bersih dan Hijau’’. Sanggup?
Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta