Konten Media Partner

OPINI: Covid-19 dan Kedaruratan Kesehatan Nasional dalam Perspektif HAM

1 April 2020 21:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Majda El Muhtaj
zoom-in-whitePerbesar
Majda El Muhtaj
ADVERTISEMENT
Oleh: Majda El Muhtaj | Berdasarkan laporan situasi WHO ke-71 pada 31 Maret 2020, Wabah COVID-19 telah menjangkiti hampir seluruh negara di dunia. Indonesia bersama dengan negara-negara kawasan Eropa (khususnya Italia, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Belgia dan Swedia), Amerika Serikat dan Turki merupakan sederetan negara dengan jumlah korban terpapar COVID-19 dan jumlah korban meninggal dunia terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pandemi global COVID-19 telah berdampak serius terhadap ekuilibrium totalitas kehidupan manusia sejagad. Sampai kini, WHO masih menetapkan kedaruratan kesehatan publik menjadi keprihatinan internasional (PHEIC) akibat COVID-19 terhitung sejak 30 Januari 2020.
Bagi Indonesia, kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini telah berjalan memasuki bulan kedua. Aktivitas kehidupan masyarakat dirasakan berubah drastis. Belajar dan kerja dari rumah telah dijalankan.
Ini tidak mudah karena berisiko tinggi terhadap daya tahan kehidupan rumah tangga masyarakat. Kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, keterbatasan logistik dan ekses beban-beban kehidupan lainnya dipastikan akan mewarnai kondisi terbaru Indonesia ke depan.
Tidak ada cara lain kecuali negara mampu mengoptimalisasi seluruh kekuatannya bersama seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi realitas buruk ini. Ini ujian bagi sistem pemerintahan negara dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, masyarakat harus benar-benar dilindungi, dipandu dan dilibatkan secara aktif mendapatkan informasi yang valid dan bertindak disiplin tentang apa dan bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Selain itu, produk-produk rekayasa positif Pemerintah tidak boleh lamban akibat ego sektoral kementerian/lembaga, pemerintahan daerah dan aktor-aktor keamanan.
Presiden Jokowi telah membentuk gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 melalui Kepres No. 7 Tahun 2020, sebagaimana diubah dengan Kepres No. 9 Tahun 2020 dan Inpres No. 4 Tahun 2020 untuk mendukung mekanisme revisi APBN dan APBD.
Terkini, pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi menerbitkan tiga regulasi penting, yakni (1) Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19; (2) PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19; dan (3) Kepres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19.
ADVERTISEMENT
Melalui Kepres No. 11 Tahun 2020, secara resmi Pemerintah Pusat melalui Presiden Jokowi telah menetapkan pertama COVID-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kedua, menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini langkah serius dan patut diapresiasi sebagai bentuk adopsi atas berlakuknya mekanisme sistem hukum untuk semua tindakan penanganan percepatan COVID-19.
Responsivitas melalui karantina wilayah dan pembatasan sosial skala besar di wilayah tertentu selanjutnya akan menjadi prioritas yang berada di bawah pertimbangan dan penilaian otoritas menteri kesehatan dan pejabat karantina kesehatan. Sekali lagi, komitmen, koordinasi dan tanggung jawab menjadi kata kunci untuk mengimplementasikan mandat peraturan kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif HAM, penetapan status kedaruratan publik (public emergency) berimplikasi pada pada ragam pembatasan HAM. Begitupun, negara dituntut wajib memahami adanya korelasi realisasi kewajiban HAM negara dalam kondisi kedaruratan publik.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 menyatakan bahwa falam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
ADVERTISEMENT
Penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat berdasarkan mandat UU No. 6 Tahun 2018 merupakan kondisi darurat publik yang dibenarkan menurut hukum HAM internasional. Sekalipun berada dalam kedaruratan publik, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) ICCPR menegaskan, ada hak-hak yang tidak bisa diderogasi/dikesampingkan (non-derogable rights) yang senantiasa melekat sebagai kewajiban HAM negara, yakni (1) hak hidup; (2) hak bebas dari penyiksaan; (3) hak bebas dari segala bentuk perbudakan; (4) hak kesetaraan di hadapan hukum; dan (5) hak kebebasan berkeyakinan dan beragama.
Sesungguhnya komitmen Indonesia terhadap implementasi standar dan norma regulasi kesehatan internasional (international health regulation/IHR telah dinyatakan tegas melalui UU No. 6 Tahun 2018. Pemerintah wajib merealisasikan komitmen tersebut dengan secepatnya menerbitkan peraturan organiknya serta mengimplementasikannya dengan maksimal dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
IHR justru mengakui relasi yang kuat antara statuta kesehatan publik internasional dan HAM. Pasal 3 IHR menyatakan dengan tegas, bahwa the implementation of these Regulations shall be with full respect for the dignity, human rights and fundamental freedoms of persons (pelaksanaan IHR wajib tunduk pada penghormatan kemartabatan, HAM dan kebebasan mendasar setiap orang).
Melalui mekanisme penetapan kedaruratan kesehatan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memastikan tanggung jawab dan kewajiban melindungi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Hal ini menuntut konsekuensi logis ketegasan, kedisiplinan, kecepatan dan ketundukan pada langkah-langkah koordinatif dan konsultatif yang ditopang dengan mekanisme penganggaran yang transparan, akuntabel dan tanpa diskrminasi.
Pandemi global COVID-19 yang diyakini sebagai bentuk kedaruratan global dan nasional meniscayakan maksimalisasi kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap HAM. Ini suasana darurat dan tidak normal.
ADVERTISEMENT
Begitupun, perspektif HAM mengafirmasi tindakan mulia untuk melindungi dan memenuhi HAM, terutama kelompok-kelompok rentan (anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, penyandang disabilitas mental, tahanan, WBP, dan masyarakat adat) wajib menjadi prioritas tanpa diskriminasi dan pelibatan aktif masyarakat.
Penting juga disetaskan bahwa penetapan status kedaruratan sesungguhnya meniscyakan risiko-risiko terukur yang sejatinya bisa dievaluasi sesuai dengan taraf kebutuhan di setiap fase krisis tertentu.
Lebih penting lagi, iklim kedaruratan tidak boleh dimaknakan sebagai justifikasi penetapan langkah-langkah krisis yang eksesif dan brutal. Ruang aktualisasi kerja-kerja pembela HAM dan jurnalis wajib dihormati dalam kerangka merawat akuntabilitas publik untuk kepentingan mengadvokasi implementasi kebijakan-kebijakan perlindungan dan pemenuhan HAM oleh negara.
*Penulis adalah Dosen Hukum Hak Asasi Manusia di Universitas Negeri Medan
ADVERTISEMENT