Konten Media Partner

Potret Kerusakan Hutan Mangrove di Sumut, Nelayan Kehilangan Mata Pencaharian

25 April 2020 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerusakan terjadi Pantai Labu, Deli Serdang. Sumut. Foto: SumutNews
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan terjadi Pantai Labu, Deli Serdang. Sumut. Foto: SumutNews
ADVERTISEMENT
MEDAN | Mata pencaharian nelayan semakin terpuruk seiring dengan kerusakan kawasan pesisir karena aktivitas yang merusak.
ADVERTISEMENT
Kerusakan kawasan pesisir pantai timur Sumatera Utara ini terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir. Di saat yang sama, perhatian dari pemerintah masih sangat minim.
Dalam Workshop Online bertema Ekspos Data Kerusakan Hutan Pantai Timur Sumatera yang digelar Walhi Sumut dan SIEJ Simpul Sumut pada Jumat (24/4), peneliti dan dosen di Fakultas Kehutanan USU, Onrizal mengatakan keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir sangatlah penting.
Pertama, hutan mangrove menjadi tempat berkembangbiaknya biota perairan seperti udang, kepiting, udang dan lain sebagainya.
"Dari berbagai hasil riset kita tahu kemudian, kalau mangrovenya sehat biota perairannya, seperti ikan, udang, kepiting dan lainnya itu akan sangat banyak dan sehat. Sebaliknya, kalau mangrove rusak akan berdampak pada hilangnya biota perairan di sana," katanya.
ADVERTISEMENT
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Hasil penelitian Danoto tahun 2011 menyatakan bahwa hutan mangrove di indo-pasifik memiliki kapasitas menyerap dan menyimpan karbon itu 4 - 5 kali dari ekosistem hutan daratan, hutan tropika dan lain sebagainya.
Dibandingkan dengan negara lain, katanya, Indonesia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan negara lain karena memiliki hutan mangrove terbesar dan
terluas dan proporsi penyimpan karbon terbesar di dunia.
Ia mengaku, tsunami 26 Desember 2004 menunjukkan fungsi mangrove sebagai pelindung pesisir dari tsunami maupun badai.
Dilihat dari peta beberapa hari sebelum terjadi tsunami yang diambil globalsecurity.com, misalnya di daerah Ulele, hutan mangrove hampir habis semuanya karena sebagian besar sudah menjadi tambak, terbangun pemukiman dan lain sebagainya. Sehingga setelah tsunami datang habis semua.
Warga duduk di sebuah gubuk di bibir Pantai Labu, Deli Serdang. Tampak di sekatnya terdapat puing-puing bangunan rumah dan sumur yang tak lagi berfungsi setelah abrasi hebat akibat pengerukan pasir dan hancurnya hutan mangrove sejak beberapa tahun lalu. Foto: SumutNews
"Berbeda dengan yang di Simeulue dan Nias masyarakatnya yang aman, energi tsunami itu diredam oleh mangrove," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di Ulele pada Januari 2005 atau beberapa hari setelah tsunami, mangrove yang tersisa sangat kecil dan tidak mampu meredam tsunami. Justru yang terjadi adalah patahan mangrove, sehingga menjadi tambahan energi yang merusak pada masyarakat terhadap ekosistem di pesisir.
"Di Nias Utara tepatnya di Lahewa. Rumah-rumah masyarakat yang hanya berdindingkan tepas dan atapnya dari rumbia aman dari terjangan tsunami karena terlindung hutan mangrove yang sangat sangat baik, sangat rapat," ungkapnya.
Hal tersebut merupakan bukti ilmiah kemudian yang sudah dipublikasikannya di publikasi internasional tentang, bagaimana kemampuan mangrove meredam daya rusak tsunami sehingga sumber daya manusia bisa selamat.
Ia mengaku, di satu sisi ekosistem mangrove itu merupakan elemen yang sangat produktif, mampu menyediakan jasa ekosistem namun juga sangat rentan terhadap gangguan. Secara global, data dari FAO mengungkap kondisi mangrove tahun 2014 dalam waktu 34 tahun itu 30 persen hutan mangrove telah hilang. Indonesia, katanya, berkontribusi besar.
ADVERTISEMENT
"Indonesia penyumbang terbesar. Kita kehilangan sekitar 800.000 hektare. Dalam 3 dekade Indonesia menyumbang 50 persen kehilangan mangrove dunia. Kita penyumbang kehilangan biota perairan dan juga emisi karbon yang sangat besar," jelasnya.
Di tahun 2018, dia melakukan studi spasial membandingkan 30 tahun yang lalu dengan citra satelit pada 2009 - 2018. Dalam rentang waktu 30 tahun terakhir, Sumut dan sebagian Aceh (Aceh Timur) 60 persen tutupan hutan mangrove sudah lenyap. Kemudian, 40 persen sisanya, kondisinya belum tentu baik.
Dijelaskannya, dari 40 yang tersisa itu, 28 persen menjadi semak belukar karena adanya penebangan mangrove untuk dapur arang. Itu ada di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu di Langkat dan Langsa, Aceh.
ADVERTISEMENT
"Kita lihat apakah dapur arang itu punya izin atau tidak. Karena setahu saya tidak ada HPH mangrove di Sumut dan Aceh," katanya.
Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh tambak udang, ikan dan lainnya dan perkebunan kelapa sawit sebesar 27 persen, sedangkan akibat pertanian 4,3 persen. Di Pangkalan Susu misalnya, di Pulau Kampai dan perbatasan Sumut - Aceh, tahun 1989 - 2018 65 persen hutan mangrove juga sudah hilang.
"Ini karena masih banyaknya dapur arang. Ini bisa dicek apakah puunya izin atau tidak. Kalau sudah rata-rata 2 cm sudah ditebang, makanya mangrovenya sangat pendek. 50 persen jadi semak belukar. Tambak 17 persen dan daerah pertanian 5 persen. Itu di luar daerah konservasi," katanya.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, kerusakan mangrove juga terjadi di kawasan konservasi, yakni di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut. Di kawasan itu pada kurun waktu 1989, 2009 dan 2018, 26 persen mangrove sudah hilang karena dikonversi menjadi pertanian 9 persen, sawit 3 persen.
Warga menunjuk pohon yang tumbang akibat akarnya tak lagi mencengkeram di tanah setelah abrasi hebat terjadi akibat pengerukan pasir dan hancurnya hutan mangrove di sebuah kawasan wisata di Pantai Labu, Deli Serdang. Foto: SumutNews
"Jadi jika pergi ke daerah selatan atau utaranya, maka akan dilihat di sana itu kebun sawit tumbuh di sana. Termasuk orang memasang plank menyatakan lahan miliknya ratusan hektare. Ini luar biasa," katanya.
Luasnya kehilangan mangrove tidak berbanding dengan upaya pemulihan melalui rehabilitasi. Dikatakannya, laju kehilangan mangrove per tahun mencapai 31.000 hektare. Sementara kemampuan untuk memulihkan, misalnya program pemerintah, paling tinggi 15.000 hektare.
"Itu lah mengapa trennya di Sumatera dari waktu ke waktu baik di dalam maupun uar konservasi luas hutan mangrovenya terus berkurang. Jadi kerusakan terjadi, tapi kemampuan memulihkan masih sangat kurang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Direktur Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan mengatakan, penurunan luas tutupan hutan di pantai timur dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yakni perkebuan kelapa sawit berperan sebanyak 45 persen, tambak 35 persen, pertanian 25 persen dan hal hal lain seperti dapur arang 5 persen, baik itu abrasi karena reklamasi tambang pasir dan lainnya.
Informasi yang didapatnya di website kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI hanya 4 izin usaha perkebunan di Sumut.
Selebihnya masih akan diselidiki kenapa bisa banyak perkebunan kelapa sawit.Menurutnya, dengan hanya ada 4 IUP, bisa diduga yang lain itu ilegal.
"Harapannya harus ditindak pemerintah dan aparat keamanan kalau mau menyelamatkan pantai timur Sumut. Kalau tidak, sebagian besar pantai timur Sumut akan tenggelam karena abrasi, alih fungsi dan lainnya," katanya.
ADVERTISEMENT
Minim Perhatian Pemerintah Provinsi
Dana menambahkan, salah satu kantong kemiskinan itu ada di wilayah pesisir. Masyarakat di pesisir akan terus terpuruk karena semakin hari mangrovenya semakin rusak. Nelayan yang tak punya motor, mata pencahariannya ada di pesisir.
"Dan itu yang dirusak mulai dari arang sampai kepada perkebunan kelapa sawit, tambak, alih fungsi, reklamasi dan tambang pasir laut membuat semakin hancurnya di pesisir," katanya.
Ia mengaku, akan semakin parah karena Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum melihatnya sebagai masalah penting. Hingga kini, rehabilitasi dan perlindungan belum menjadi prioritas pemerintah.
"Saya pikir Pemprov Sumut mulai melihat ke pesisir. selamatkan masyarakat di pesisir," pungkasnya. | SUMUTNEWS