Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Orde Baru Yang (tak) Ku Rindukan
Pembaca Buku, ya Juga Belajar Nulis. hub [email protected]
26 Maret 2017 17:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Supri Banjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 11 Maret yang lalu, lini masa saya penuh dengan informasi bahwa akan diselenggarkannya Shalawat dan Dzikir Untuk Negeri. Sebuah acara yang dimaksudkan oleh sang empunya untuk memperingati 51 tahun sebuah surat sakti bernama Supersemar. Saktinya sudah terbukti pada tahun 1966an, sang diberi mandat menggunakan surat tersebut untuk “menyingkirkan” lawannya.
ADVERTISEMENT
Kesaktian surat tersebut kembali teruji, karena sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan apa saja isi surat tersebut yang ditandatangani oleh Soekarno dalam keadaan yang kurang sehat. Bahkan tidak ada yang bisa menjamin mana surat asli dari surat perintah tersebut. Namun jika kita baca kembali sejarah, apa saja dampak dari surat tersebut, di sinilah salah satu letak perdebatan yang selama ini antara pro dan anti orba.
Jika kita bicara akan sejarah dan dampak langsung pada masa itu dari Supersemar tersebut maka sudah banyak buku dan situs internet berbicara soal ini, maka saya akan mencoba melihat bagaimana isu ini kembali dihembuskan dan digoreng oleh pihak-pihak yang mengambil untung dari kembalinya isu ini. Ideologi apakah yang ingin ditanamkan oleh para pengembus isu ini.
ADVERTISEMENT
Buku “Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia” terbit di pertengahan tahun 2016 tadi, selain yang pro juga ada yang kontra. Pihak yang kontra terhadap buku ini, salah satu alasannya adalah dalam buku tersebut pak Harto dan Orba dianggap sebagai pihak yang sangat jahat dan biang kerok beberapa masalah di negeri ini, yang menurut mereka itu adalah sebuah kebohongan.
Pada acara peringatan 51 tahun Supersemar tersebut, Habib Rizieq Shihab menjadi salah satu penceramah bahkan menjadi penceramah di acara puncak di kegiatan tersebut. Dalam ceramah tersebut sang habib menegaskan bahwa surat perintah yang gaib tersebut adalah keputusan dari Soekarno yang sangatlah tepat, karena menurut beliau, Indonesia pada saat itu sedang darurat. Habib Rizieq pun menimpali bahwa apa yang dilakukan oleh Soeharto dengan “membubarkan” dan “membasmi” PKI adalah tugas yang mulia.
ADVERTISEMENT
Isu kebangkitan PKI adalah isu yang sangatlah sedap, jika dihadapkan dengan kenangan rakyat negeri ini akan orde baru, era di mana Soeharto memerintah selama 32 tahun. Namun sekarang jargon “Enak Zamanku to??” menjadi usungan oleh orang-orang yang memimpikan akan kembali sang Jendral yang murah senyum tersebut. Banyak yang kita tidak ketahui bahwa di balik senyumnya itu banyak tersimpan jeritan atau suara-suara mereka yang mengalami penindasan selama beliau memimpin negeri ini.
Banner-banner peringatan ini sudah bertebaran dua minggu sebelum acara ini berlangsung, bahkan di dunia maya acara ini menjadi pembicaraan banyak orang. Tak sedikit orang yang merindukan dan mencintai orde yang cukup lama berkuasa ini dan meninggalkan banyak masalah di negeri ini. Jika kita lihat dengan kacamata strukturalisme Claude Levi Strauss apa yang terjadi selama pra hingga pelaksanaan acara tersebut terselip pesan yang ingin ditanamkan di kepala rakyat yang masih buta atau rabun atas apa yang dilakukan rezim ini. Saya menyebutnya inilah dimulainya Soeharto mulai dimitoskan sebagai tokoh yang cinta dan banyak jasanya pada Islam.
ADVERTISEMENT
Memitoskan Soeharto, Merabunkan Sejarah
Adanya usaha untuk menampilkan Soeharto yang bersahabat dan banyak jasanya pada Islam, adalah bagian dari kampanye beberapa pihak untuk menumpulkan gerakan rakyat yang sering diasumsikan sebagai bagian dari bangkitnya gerakan-gerakan kiri. Yang notabene adalah salah satu musuh “stabilisasi” dari Orde Baru.
Menampilkan Soeharto sebagai tokoh yang dekat dengan Islam bisa kita lihat dari iklan banner di internet atau banner yang tersebar di Jakarta. Inilah yang akan kita lihat dari kacamata Claude Levi-strauss (kemudian ditulis CLS), benarkah adanya usaha memitoskan Soeharto tersebut atau tidak dan jika ada, bagaimana mitos itu dibangun?
CLS adalah seorang antropolog yang terkenal berasal dari Perancis, salah satu teori yang dikemukakan beliau adalah analisis struktur mitos. Menurut CLS, dalam sebuah mitos memiliki pesan-pesan yang dibawa dalam mitos tersebut, walau sering pengirim pesan tersebut tidak jelas, namun yang jelas cuma penerima pesan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa landasan yang harus kita ketahui sewaktu kita melakukan analisis struktural mitos, pertama, mitos tersebut haruslah bermakna, maka makna ini bukanlah terdapat dalam unsur yang berdiri sendiri, namun bisa saja terpisah-pisah atau terpecah ke beberapa bagian. Di sinilah tugas kita sebagai peniliti untuk mencari makna tersebut dan menggabungkannya sehingga bisa melihat makna apa yang ada dalam pesan-pesan tersebut.
Kedua, bahasa yang digunakan dalam mitos bukanlah sekedar bahasa, ia memiliki ciri-ciri bahasa yang berbeda dengan bahasa yang biasanya dan bukan hanya berbeda namun juga bisa memiliki tingkat kesulitan yang tinggi atau bahasa yang kiasan. Mari kita lihat beberapa penggalan kata-kata yang dilontarkan oleh para pembicara di acara tersebut, ada 3 orang yang bebicara pada masa itu, KH. Abdullah Gymnastiar (AA Gym), Siti Hediati Hariyadi (Mbak Titiek), dan Habib M. Rizieq Shihab.
ADVERTISEMENT
Dari 3 orang yang berbicara di acara tersebut hanya 2 orang yang menyingung atau membincang soal Supersemar atau orde baru, yaitu Siti Hediati Hariyadi (Mbak Titiek), dan Habib M. Rizieq Shihab. Mbak Titiek begitu dia disapa, anak keempat dari mantan presiden Soeharto ini, menegaskan bagaimana di masa ayahnya memimpin keadaan lebih enak dan murah, maka tak sedikit orang yang merindukan kehadiran masa itu di masa sekarang.
Mbak Titiek menegaskan ada 3 fondasi pembangunan bapaknya yaitu stabilitas, pertumbuhan,dan pemerataan. Dari itu semua menelurkan sebuah keberhasilan dalam bidang pertanian, infrastruktur dan kesejahteraan rakyat, yang ditandai diberikannya beberapa penghargaan kepada bapaknya. Bahkan di akhir dia menegaskan bahwa banyak yang masih merindukan masa-masa “indah” di masa Soeharto memimpin.
ADVERTISEMENT
Sedengkan Habib Rizieq cuma membicarakan momen Supersemar tersebut momen yang sangatlah tepat, karena menurut beliau hasil dari Supersemar tersebut dinilai sangat berhasil sebab berhasil menyingkirkan atau “membumihanguskan” Partai Komunis Indonesia. Surat perintah yang dihasilkan oleh dua orang “hebat” ini menurut Habib Rizieq adalah hasil dari kecerdasan dari kedua orang tersebut yaitu Soeharto dan Soekarno.
Dari pembicaraan kedua orang ini tidak ada yang menyinggung apa dampak negatif dari surat tersebut atau apa saja “dosa” Soeharto kepada rakyat Indonesia. Berapa duit rakyat yang dia korupsi, berapa hektar lahan yang dia caplok hanya untuk keluarganya saja, berapa orang dari rakyatnya yang hilang karena menentang kebijakannya. Data soal-soal ini sama sekali tidak dibahas, oh ya lupa inikan pidato khusus untuk mengenang “kebaik-baikan” beliau saja.
ADVERTISEMENT
Kembali ke pertanyaan di atas yaitu benarkah adanya usaha memitoskan Soeharto tersebut atau tidak dan jika ada, bagaimana mitos itu dibangun? Mari kita lihat dari kata-kata dua pembicara ini, semuanya membincangkan bahwa Soeharto adalah orang yang berjasa yang cukup banyak terhadap bangsa ini. Mbak Titiek bahkan mengurutkan beberapa penghargaan internasional yang diraih oleh Soeharto.
Sedangkan dari Habib Rizieq, kita didegungkan bahwa apa yang dilakukan oleh Soeharto selama menerima dan menjalankan perintah dari Supersemar tersebut adalah jasa yang sangatlah baik. Ini beberapa kali ditegaskan dalam ceramah yang berdurasi 1 jam tersebut walau porsi pembicaraan ini tidak seimbang dibanding dengan kampanye soal kepimpinan muslim, tapi soal Soeharto adalah orang yang berjasa banyak pada negeri ini disampaikan di awal ceramah, bahkan Habib Rizieq mengajak kita mendoakan Soeharto, Ibu Tien dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Maka kita bisa menyakini ini sebagai sebuah narasi untuk memitoskan Soeharto agar apa yang selama ini banyak narasi bahwa Soeharto telah melakukan banyak dosa kepada negeri ini. Namun, setelah ini mungkin banyak yang berubah persepsinya. Apalagi beberapa kali disebut pengunjung acara tersebut sangatlah banyak bahkan disebut-sebut sampai mencapai 1 juta orang, kita tidak tahu apakah ini benar atau tidak.
Namun melihat ini semua apakah penumpulan akal dan perabunan sejarah, kita mungkin tidak bisa melihatnya sekarang namun dari semua pembicaraan di atas kemungkinan itu bisa dan sangat mungkin terjadi. Di sinilah tugas kita untuk selalu menampilkan data-data penyimbang, karena seperti apa yang dikatakan oleh KH. Abdurrahman Wahid, “Soeharto itu banyak jasanya, namun dosanya lebih banyak”..
ADVERTISEMENT