Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dibalik Skandal Lapas: Menggali Kebenaran dan Reformasi Sistem Pemasyarakatan
24 November 2024 19:35 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Suprianto Haseng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus video viral yang melibatkan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Raja, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, mengungkapkan sisi gelap dari sistem pemasyarakatan kita.
ADVERTISEMENT
Dalam video yang beredar tersebut, terlihat sejumlah narapidana berpesta narkoba sambil berjoget diiringi musik remik, menciptakan gambaran yang mengejutkan tentang kehidupan dibalik jeruji besi.
Namun, yang lebih menarik adalah reaksi sang petugas, Robby Adriansyah, yang terpaksa menghadapi konsekuensi setelah videonya itu viral. Alih-alih menjadi pahlawan, Robby malah dimutasi dan merasa terpojok oleh instansi yang seharusnya mendukungnya.
Peristiwa ini tidak hanya mengguncang masyarakat, tetapi juga memaksa seorang petugas, Robby Adriansyah, untuk berdiri di tengah badai kontroversi. Alih-alih diakui sebagai pahlawan yang berani mengungkap kebobrokan, ia justru terpojok, dimutasi, dan terpaksa berjuang untuk membela dirinya.
Dalam skandal ini, pertanyaan mendalam muncul, bagaimana bisa sebuah lembaga yang seharusnya mengayomi justru menjadi ajang kebebasan bagi pelanggaran hukum?
ADVERTISEMENT
Dalam pernyataan penuh emosionalnya pada saat melakukan klarifikasi, Robby Adriansyah menegaskan bahwa alih-alih menyalahkan dirinya, seharusnya pihak Kemenkumham atau Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) saat ini harus menyelidiki bagaimana video itu bisa muncul dan mengapa narkoba bisa beredar di dalam lapas.
Robby meminta keadilan dari Presiden Prabowo Subianto, berjanji akan membongkar kebusukan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Di sisi lain, pernyataan pejabat Kemenimipas Sumsel yang menyebut Robby menyebarkan hoaks semakin mengguncang situasi. Mereka menuding Robby berusaha meminta uang dari narapidana dengan merekam video tersebut.
Ironisnya, seorang petugas yang seharusnya menjaga keamanan justru terjebak dalam permainan yang lebih besar, menciptakan ketidakpastian di tengah masyarakat. Ketika pejabat berupaya menutup-nutupi masalah, Robby bersikeras untuk berbicara, memunculkan pertanyaan tentang integritas dan akuntabilitas dalam sistem yang seharusnya menjadi benteng keadilan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, terkuaknya fakta penggunaan ponsel di lapas menjadi tamparan bagi kita semua. Bagaimana mungkin tempat yang seharusnya aman dan teratur justru dibiarkan beroperasi dalam kekacauan? Dengan lemahnya pengawasan, pelanggaran menjadi hal yang wajar, dan narapidana pun merasa bebas beraksi. Kenyataan pahit ini menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari kata ideal.
Robby, dengan segala kontroversi yang membelitnya, mengajak kita semua untuk berperan serta dalam menuntut keadilan. Robby percaya bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk menuntut akuntabilitas dalam sistem pemasyarakatan. Jika tidak ada yang berani menyoroti masalah ini, siapa lagi yang akan melakukannya? Kini, semua mata tertuju pada lapas yang seharusnya menjadi tempat rehabilitasi, bukan arena pesta.
Larangan Tahanan Memiliki Alat Komunikasi
ADVERTISEMENT
Dalam Permenkumham Nomor 8 Tahun 2024, khususnya pada Pasal 26 huruf i, terdapat larangan tegas bagi tahanan atau narapidana untuk memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi seperti ponsel di dalam lembaga pemasyarakatan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dianggap sebagai pelanggaran berat.
Sayangnya, kita sering melihat banyaknya kasus pelanggaran di lapas terkait penggunaan ponsel. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah, mulai dari penyebaran informasi ilegal hingga komunikasi dengan pihak luar yang bisa mengatur peredaran gelap narkoba. Hal ini semakin nyata dengan banyaknya kasus yang telah terungkap, yang menunjukkan bahwa penggunaan ponsel di dalam lapas tidak hanya mengancam keamanan, tetapi juga memperburuk situasi kejahatan terorganisir.
Untuk menegakkan aturan ini, sanksi yang tegas diatur dalam Pasal 45 dan 46. Mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi berat, termasuk penempatan dalam sel pengasingan selama maksimal 12 hari dan pembatasan hak bersyarat seperti remisi, asimilasi, atau pembebasan bersyarat.
ADVERTISEMENT
Sanksi-sanksi ini dirancang untuk memberikan efek jera dan menjaga ketertiban serta keamanan di dalam lapas. Namun, dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi, jelas bahwa penegakan hukum harus diperkuat. Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung rehabilitasi, bukan sebaliknya, agar lembaga pemasyarakatan dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya
Namun, meskipun regulasi telah jelas, pelaksanaan sanksi di lapangan sering kali menghadapi berbagai tantangan. Integritas petugas dan efektivitas pengawasan menjadi kunci utama dalam keberhasilan penerapan aturan ini.
Oleh karena itu, penguatan sistem pengawasan dan pelatihan bagi petugas sangat penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan sesuai ketentuan yang ada.
Urgensi Reformasi dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia
Peristiwa yang terjadi di Lapas Tanjung Raja ini sangat mencolok dan menyoroti beberapa masalah serius dalam sistem pemasyarakatan kita. Dalam konteks ini, tindakan Robby Adriansyah sebagai petugas lapas menunjukkan bahwa ada ketidakberesan dalam pengawasan dan disiplin di dalam lembaga pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Jika benar Robby memanfaatkan situasi untuk meminta uang kepada tahanan atau narapidana, hal ini mencerminkan adanya budaya korupsi yang harus diatasi.
Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan, Agus Andrianto, menunjukkan keseriusannya dalam menangani insiden pesta narkoba yang terjadi di Lapas Tanjung Raja, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Dalam respons cepatnya, ia memberikan arahan kepada Direktur Jenderal Permasyarakatan untuk menindaklanjuti peristiwa mencoreng nama lembaga tersebut.
Agus Andrianto memutuskan untuk menonaktifkan sementara Kepala Lapas dan Kepala Pengamanan Lapas guna menjalani pemeriksaan, sekaligus menyatakan bahwa petugas lapas yang diduga menyebarkan video pesta tersebut juga akan diperiksa.
Tindakan menteri untuk memerintahkan investigasi, menonaktifkan sementara Kepala Lapas dan Kepala Pengamanan Lapas dan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat diperiksa secara adil adalah langkah positif yang patut diapresiasi. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa tindakan tersebut tidak hanya bersifat reaktif, melainkan proaktif.
ADVERTISEMENT
Penulis berharap Menteri Agus Andrianto sebaiknya dapat juga mengambil langkah berani dengan melakukan inspeksi mendalam (sidak) ke seluruh lapas di Indonesia.
Bayangkan jika Menteri turun langsung ke lapangan, meninjau setiap sudut lembaga pemasyarakatan, memastikan bahwa kejadian memalukan seperti pesta narkoba tidak terulang.
Sidak ini seharusnya tidak hanya sekadar formalitas, tetapi menyeluruh dan mencakup pemeriksaan fasilitas, pengawasan petugas, hingga kondisi narapidana.
Ada keyakinan di benak penulis bahwa kasus-kasus serupa di dalam lapas sudah sangat banyak, namun belum terungkap ke publik. Seperti puncak gunung es, mungkin hanya sebagian kecil yang terlihat, sementara banyak masalah serius lainnya terpendam.
Jual beli kamar, peredaran narkoba, fasilitas mewah, dan banyak lagi. Semua ini mungkin sudah menjadi rahasia umum di kalangan narapidana dan petugas, tetapi belum ada yang berani mengungkap karena takut.
ADVERTISEMENT
Di balik pagar tinggi dan dinding tebal lembaga pemasyarakatan, ada sebuah dunia yang seakan dibiarkan, di mana mafia penjara beroperasi dengan sangat leluasa.
Keberadaan mereka menciptakan iklim ketakutan, di mana suara-suara yang berani menentang sering kali dibungkam. Inilah sebabnya mengapa sidak yang dilakukan Menteri sangat krusial untuk segera dilakukan.
Dengan keberanian dan keinginan untuk membawa perubahan, Sidak ini bisa memecahkan kebisuan dan mengungkapkan kebenaran yang selama ini terpendam. Jika tidak, kasus-kasus seperti ini akan terus berlanjut, dan hiruk-pikuk kehidupan di dalam lapas hanya akan menjadi cerita yang berulang tanpa akhir.
Selain itu, melibatkan pihak independen dalam audit dan evaluasi sistem pemasyarakatan bisa menjadi langkah cerdas yang layak dicoba. Bayangkan jika ada tim pengawas yang terdiri dari ahli, akademisi, dan aktivis, yang datang dengan kacamata kritis untuk meneliti setiap celah dan sudut dalam sistem pemasyarakatan kita.
ADVERTISEMENT
Ini bukan hanya soal transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga tentang membuka tirai gelap yang selama ini menutupi praktik-praktik ilegal yang tidak sesuai.
Selain audit, penting juga untuk memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas kepada petugas lapas. Mereka bukan hanya penjaga gerbang, tetapi juga garda terdepan dalam menjaga keamanan dan rehabilitasi.
Dengan pelatihan yang tepat, diharapkan petugas lapas siap dalam menghadapi situasi sulit di dalam lembaga pemasyarakatan. Petugas yang terlatih dengan baik bisa menjadi pahlawan di balik dinding penjara, bukan hanya penjaga yang berpatroli.
Tidak kalah penting, keterlibatan masyarakat dan organisasi non-pemerintah dalam pengawasan sistem pemasyarakatan juga bisa menjadi angin segar. Dengan suara masyarakat yang dinamis dan penuh semangat, hak-hak narapidana bisa terjaga, dan sistem pemasyarakatan dapat berfungsi sesuai dengan prinsip keadilan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat bukanlah penonton dalam kisah ini, mereka bisa menjadi aktor kunci yang memastikan bahwa setiap narapidana diperlakukan dengan layak.
Pada akhirnya, kisah Robby Adriansyah dan insiden di Lapas Tanjung Raja mencerminkan kerentanan sistem pemasyarakatan kita. Reformasi mendesak, pengawasan ketat, dan keterlibatan masyarakat adalah kunci untuk mengembalikan keadilan dan transparansi.
Mari bersama-sama menuntut perubahan demi masa depan yang lebih baik bagi semua.