Berbenah setelah Pesta Demokrasi

Suprihatin
Kepala Pusat Kajian Komunikasi Prapanca-Stikosa AWS
Konten dari Pengguna
15 Februari 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suprihatin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu 2024 telah usai digelar. Pesta demokrasi dengan jamuan hak bagi warga negara Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden serta para wakil rakyat berlangsung dengan tertib, aman, dan damai. Sebuah kondisi yang layak dan perlu disyukuri mengingat beberapa waktu sebelum pemilu beredar sebuah video berisi paparan para ahli hukum mengenai kecurangan-kecurangan yang terjadi sebelum terlaksananya Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Video berjudul “Dirty Vote” itu diputar di channel Youtube. Informasi tentang link salurannya, dengan segera menyebar ke pesan-pesan singkat dan menggemparkan jagad media sosial. Hingga saat tulisan ini dibuat, video tersebut telah ditonton oleh lebih dari 8,5 juta orang. Tentu saja pro dan kontra memenuhi udara menanggapi video tersebut. Bahkan tiga ahli hukum yang menjadi narasumber dan pembuat video, dituntut dan dilaporkan ke polisi karena dianggap menyebarkan fitnah pada pasangan kandidat presiden dan wakil presiden.
Era kebebasan informasi tentu perlu disikapi dengan kedewasaan: arif, berhati-hati, skeptis, objektif, dan tidak emosional. Teks-teks yang hadir di ruang publik dan melukai salah satu kelompok, mestinya bisa disikapi dengan perlawanan melalui teks (pula), alih-alih kekerasan atau anarkhis. Melihat perkembangan kasus video tersebut, kita boleh berharap bahwa publik atau masyarakat Indonesia sudah kian dewasa menyikapi perang teks meski mungkin sambil menggerutu atau menulis kritik di media sosial masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dari pelaksanaan Pemilu 2024 ini ada beberapa catatan yang menjadi tugas pekerjaan rumah kita bersama. Pertama, angka golput. Golput atau golongan putih adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut pilihan warga negara untuk tidak memilih dan tidak ikut Pemilu. Mereka yang telah masuk sebagai pemilih memutuskan tidak menggunakan hak suaranya dalam Pemilu. Meski selalu muncul dalam setiap Pemilu, tidak semua keputusan Golput didasari persoalan idealisme, melainkan kondisi yang memaksa seseorang tidak mencoblos. Misalnya soal domisili yang berbeda dengan alamat pada kartu identitas penduduk, lalu ketidaktahuan atau keengganan untuk mengurus surat pindah memilih.
Dalam sebuah survei sederhana yang saya lakukan di kelas-kelas yang saya ampu, beberapa mahasiswa menyebut bahwa mereka pesimistis Pemilu diselenggarakan dengan jujur. Alasan ini menjadi pendorong mereka untuk memilih golput: “Toh hasil akhirnya sudah di-setting”, begitu komentar mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, angka Golput pada dua periode Pemilu terakhir mengalami penurunan. Pada Pemilu 2014, jumlah Golput 30,22 persen atau sebanyak 58,61 juta orang, dan menurun pada Pemilu 2019 menjadi 18,02 persen atau 34,75 juta orang dari total pemilih terdaftar (www.cnbcindonesia.com). Hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS) sebagaimana dilansir media cnbcindonesia.com, sebanyak 11,8 persen responden memilih Golput pada Pemilu 2024. Padahal menurut data Komisi Pemilihan Umum, kelompok pemilih muda mendominasi dengan 56,4 persen pemilih Pemilu 2024. Artinya jika perkiraan CSIS ini mendekati angka di lapangan, maka jumlah pemilih muda yang golput cukup tinggi.
Hal kedua yang perlu menjadi perhatian adalah mengapa angka golput pemilih muda tinggi? Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Jawa Timur bersama KPU di kampus Stikosa-AWS beberapa waktu sebelum Pelaksanaan Pemilu, para mahasiswa dari berbagai kampus melontarkan pernyataan rata-rata mereka tidak mengetahui bahwa ada mekanisme mengurus surat undangan pindah memilih. Setelah mendapat penjelasan dari narasumber KPU, mereka berpendapat prosedurnya terlalu rumit. Mereka berharap prosedur semacam itu dapat diakses melalui aplikasi sehingga tidak menyita waktu untuk melakukan pengurusan secara luring.
ADVERTISEMENT
Berikutnya adalah tentang ketidaktahuan para pemilih muda tentang latar belakang para kandidat yang harus mereka pilih, terutama anggota legislatif. Sebagian besar pemilih muda menyatakan bahwa mereka asing dengan wajah maupun nama para caleg tersebut, meski di masa kampanye wajah-wajah tersebut memenuhi ruas-ruas jalan dengan baliho dan poster. Hal ini mengindikasikan bahwa kampanye belum menyentuh esensi yang diharapkan.
Poster dan baliho yang dipasang di masa kampanye, lebih banyak berisikan jargon, slogan, klaim-klaim moral, dan belum memuat informasi yang substansial. Misalnya, informasi tentang identitas mereka, rekam jejak, visi misi dan program kerja, atau bahkan sekadar gambaran tentang mengapa mereka harus dipilih. Apalagi ketika mereka adalah calon legislatif yang baru saja maju di Pemilu 2024 dan berasal dari partai politik yang baru pula.
ADVERTISEMENT
Kuncinya Literasi Politik
Belajar dari pengalaman tersebut, minimnya pendidikan politik bagi pemilih muda patut menjadi perhatian. Jika di masa-masa Pemilu sebelumnya, ketika pemilih didominasi generasi baby boomers ataupun generasi X dan Y, masyarakat tertib mengikuti prosedur formal demokrasi, maka pemilih muda ini memiliki karakteristik yang berbeda: kritis, rasional, menyukai teknologi, dan tidak mudah terpesona.
Dapat dikatakan bahwa partai politik nyaris sama sekali tidak memberikan pendidikan politik. KPU sebagai penyelenggara pemilu telah memasuki ruang-ruang kampus sebagai basis massa pemilih muda, namun sayangnya terlalu dekat waktunya dengan pelaksanaan pemilu dan belum mencapai kesepakatan esensial tentang mekanisme pemilihan dan urgensi pemilu bagi masa depan para pemilih ini.
Beberapa akun media sosial dengan sangat menarik telah berupaya melakukan literasi politik seperti bijakmemilih.id, thinkpolicy.id, atau festivalpemilu. Bergerak melalui Instagram, akun-akun tersebut bukan saja melakukan edukasi tentang pemilu dan politik, namun juga mengajak pemilih muda mengikuti aktivitas-aktivitas yang mereka selenggarakan, yang sayangnya rata-rata masih berpusat di Jakarta. Beberapa platform mengenai identitas para caleg sebenarnya juga sudah disediakan, misalnya website KPU, jariungu.com, atau goodkind.id. Sayangnya belum banyak juga masyarakat yang memanfaatkan platform-platform tersebut untuk mencari informasi tentang para kandidat legislatif.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, salah satu tugas kita usai Pemilu ini adalah bebenah. Jika kita menginginkan perubahan, maka kita bertanggung jawab menjadi agen perubahan. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan sementara kita hanya duduk berpangku tangan dan memilih jadi penonton. Edukasi dan literasi politik menjadi tanggung jawab bersama sehingga Pemilu 5 tahun yang akan datang akan berlangsung dengan tingkat partisipasi politik yang lebih baik. Pendidikan politik bukan hanya tugas penyelenggara pemilu. Partai politik misalnya, memiliki tanggung jawab untuk secara aktif melakukan edukasi dengan memerhatikan karakteristik pemilih muda sebagai digital native. Boleh jadi, kampanye konvensional tidak lagi diperlukan apalagi di lapangan, baliho dan poster yang berserakan bukan saja menjadi sampah visual namun juga membahayakan pengguna jalan.***
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Dosen, Kepala Pusat Kajian Ilmu Komunikasi Prapanca, di Stikosa-AWS Surabaya.
Shutterstock