Konten dari Pengguna

Safety Doesn't Always Come First, Eh?

4 Januari 2017 12:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surawira Lintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lembar awal tahun ini dibuka dengan berita duka. Terbakarnya KM Zahro Express, sesaat setelah meninggalkan pelabuhan, yang membawa total penumpang sebanyak 238 orang (247, versi Basarnas)—seharusnya hanya 100 orang, seperti yang tercatat dalam manifes—menjadi suatu bukti solid ketidakpedulian manusia yang terlalu mementingkan keserakahannya. Seakan-akan keamanan dan keselamatan penumpang hanyalah hal remeh seperti sebuah mainan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini adalah yet another wake up call bahwa keselamatan penumpang tidak bisa ditawar dengan apapun. Regulasi yang ada pun dihiraukan—dari kesesuaian manifes pelayaran penumpang hingga ketersediaan serta kelayakan jaket pelampung yang tidak memadai. Well, bagaimana mau memadai jika jumlah penumpang saja tidak sesuai dengan kenyataan yang ada? Ya, kan?
Persoalan manifes menjadi krusial saat data yang tercatat tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, rekapitulasi manifes kapal yang menjadi tanggung jawab nakhoda tersebut berfungsi sebagai dasar untuk pengajuan Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan syahbandar setempat. Syahbandar berhak menolak memberikan surat tersebut apabila manifes yang diajukan tidak sesuai dengan spesifikasi kapal, misalnya melebihi muatan maksimal kapal.
ADVERTISEMENT
Memang tak ada yang pernah tahu kapan musibah akan terjadi, namun, bagaimana hal paling mendasar seperti ini saja tidak bisa dipenuhi?
Evakuasi Kapal Zahro Express yang Terbakar (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Salah satu reader kumparan, Annisa, berpendapat korban nyawa terjadi lantaran kurangnya peralatan keselamatan. “Pada [penumpang] berebut pelampung. Karena jumlah penumpang yang ga sesuai, pasti jumlah pelampung juga kurang. Mungkin itu yang bikin ada beberapa orang jatuh ga pake pelampung? Tapi, alhamdulillah, semua keluarganya selamat.”
Reader lainnya, Sekar Jatiningrum, mengatakan bahwa evaluasi perlu dilakukan dari dua pihak, yaitu penyedia dan penumpang. Penyedia jasa harus memberikan pelampung atau life jacket dalam kondisi baik dan para penumpang pun harus mempunyai disiplin yang tinggi terkait keselamatan diri.
Nasi sudah menjadi bubur. 23 orang harus kehilangan nyawa—termasuk ibu hamil dengan usia kandungan tiga bulan—dan 17 lainnya yang masih hilang. Nakhoda KM Zahro Express, M Nali, juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan bertanggung jawab atas peristiwa ini. Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Muara Angke, Deddy Junaedi, pun turut diberhentikan dari posisinya karena gagal memastikan seluruh komponen kapal laik jalan.
ADVERTISEMENT
Peti berisi jenazah korban diangkut. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta maaf atas peristiwa Zahro Express ini. Ia berjanji akan meningkatkan pelayanan berupa pengadaan angkutan baru yang menggantikan atau bersamaan operasinya dengan kapal yang ada. Tak hanya itu, Kementerian Perhubungan juga akan memperbarui aturan keselamatan transportasi laut.
Lalu, apa selanjutnya? Apakah dua hal tersebut cukup untuk menutupi semuanya sekarang? Apakah semudah itu? Tentu tidak. Kesadaran diri dan kedisiplinan yang tinggi atas pentingnya keselamatan penumpang (dan diri sendiri) saat di perjalanan adalah absolut. It may sound cliché, but God gives you the life you deserve, so, use it well!
Pepatah “sedia payung sebelum hujan” benarlah adanya. Tindakan preventif memang jauh lebih baik daripada telanjur ke depannya. Tidak hanya itu, evaluasi berkala terhadap kapal dan ABK juga diharapkan (selalu) menjadi perhatian khusus oleh manajemen perkapalan.
ADVERTISEMENT