Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Untung Besar di Tengah Harga Kelapa Melonjak, Tapi Petani Tetap Tak Untung
4 Mei 2025 14:08 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari suriadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa bulan terakhir, harga komoditas kelapa mengalami kenaikan signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Di sejumlah pasar tradisional, harga kelapa bulat meningkat hingga 30-50 persen dibandingkan tahun lalu. Kenaikan harga ini dipicu oleh meningkatnya permintaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta terganggunya rantai pasok akibat cuaca ekstrem yang menghambat produksi di beberapa sentra pertanian kelapa.
ADVERTISEMENT
Secara teoritis, naiknya harga komoditas seharusnya menjadi kabar baik bagi petani sebagai produsen utama. Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah yang diharapkan. Banyak petani kelapa justru tidak sepenuhnya menikmati keuntungan dari lonjakan harga tersebut. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor struktural dan tata niaga yang belum berpihak kepada petani kecil.
Salah satu persoalan utama yang menyebabkan petani tidak mendapatkan harga jual yang layak adalah panjangnya rantai distribusi. Dalam praktiknya, kelapa dari petani biasanya dijual kepada pengepul lokal dengan harga yang relatif rendah. Pengepul kemudian menjual ke pedagang besar atau pabrik pengolahan, yang akhirnya memasarkan produk ke pasar nasional atau internasional. Setiap mata rantai mengambil margin keuntungan, dan posisi tawar petani yang lemah membuat mereka menerima bagian paling kecil dari nilai tambah tersebut. Misalnya, ketika harga kelapa di tingkat konsumen mencapai Rp4.000 per butir, petani hanya mendapat Rp1.500 – Rp2.000. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar belum berpihak pada produsen utama.
ADVERTISEMENT
Kenaikan Biaya Produksi
Petani juga menghadapi tantangan dalam bentuk kenaikan biaya produksi, terutama pupuk, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Cuaca yang tidak menentu turut mempengaruhi hasil panen. Di beberapa daerah, produksi kelapa menurun akibat hujan berlebih yang menyebabkan kelapa rontok sebelum matang. Alhasil, meskipun harga jual meningkat, total pendapatan petani tidak selalu bertambah secara proporsional. Selain itu, banyak petani kelapa yang tidak memiliki akses terhadap informasi harga pasar secara real time. Hal ini membuat mereka sulit menegosiasikan harga jual yang lebih baik atau memilih waktu panen yang optimal.
Upaya Pemerintah: Masih Terbatas?
Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kelapa Nasional pada tahun 2023 sebesar 2,85 juta ton kelapa, sementara data Food and Agriculture Organization (FAO), pada tahun 2022, Indonesia memproduksi sekitar 17,19 juta ton kelapa, menyumbang sekitar 27 Persen dari total produksi kelapa dunia. Perbedaan angka ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metode penghitungan atau cakupan data. Sebagian besar produksi kelapa Indonesia berasal dari Perkebunan Rakyat (PR), dengan kontribusi sekitar 98,89 persen pada tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sejatinya menyadari pentingnya peran kelapa sebagai komoditas strategis. Kementerian Pertanian beberapa kali menyatakan akan mendorong peningkatan produktivitas dan nilai tambah kelapa, termasuk melalui program peremajaan tanaman, pelatihan pascapanen, dan fasilitasi akses pasar. Namun, efektivitas program-program tersebut masih menjadi pertanyaan. Di banyak daerah, petani mengeluhkan kurangnya pendampingan teknis, lambatnya distribusi bantuan, dan birokrasi yang berbelit. Selain itu, belum banyak skema perlindungan harga atau subsidi yang benar-benar melindungi petani saat terjadi fluktuasi pasar.
Sebagai contoh, di tengah naiknya permintaan ekspor kelapa dan turunannya seperti minyak kelapa dan santan, belum ada sistem distribusi yang memastikan petani bisa menjadi bagian dari rantai nilai ekspor tersebut. Pabrik pengolahan skala besar cenderung menjalin kemitraan dengan pedagang besar, bukan langsung ke petani. Akibatnya, potensi ekspor yang tinggi tidak otomatis berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani di hulu.
ADVERTISEMENT
Inovasi dan Koperasi sebagai Solusi
Beberapa komunitas petani kelapa mencoba mencari jalan keluar dengan membentuk koperasi atau kelompok tani mandiri. Melalui koperasi, petani bisa menjual secara kolektif, mendapatkan harga yang lebih baik, serta mengakses pasar secara langsung. Ada pula yang mulai mengembangkan produk turunan kelapa seperti virgin coconut oil, sabun, atau kerajinan tempurung untuk meningkatkan nilai tambah. Digitalisasi juga menjadi peluang baru. Platform pertanian digital memungkinkan petani mendapatkan informasi harga secara cepat dan melakukan penjualan langsung ke konsumen atau pelaku industri. Namun, adopsi teknologi masih menjadi tantangan tersendiri, terutama di daerah yang minim infrastruktur dan literasi digital.
Menjawab Keadilan bagi Petani
Kenaikan harga kelapa seharusnya menjadi momentum bagi para petani untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Namun kenyataannya, tanpa perubahan pada struktur tata niaga dan distribusi nilai, mereka hanya menjadi penonton dari lonjakan harga yang ramai diberitakan. Pemerintah perlu lebih serius menata ulang rantai distribusi, memperkuat koperasi, serta mendorong kemitraan yang adil antara petani dan industri pengolahan. Selain itu, teknologi dan akses informasi pasar harus benar-benar menjangkau petani kecil, bukan hanya berhenti di level wacana. Sebab, keadilan dalam sistem pertanian bukan hanya soal berapa banyak hasil yang dipanen, tetapi sejauh mana petani mendapat posisi yang layak dalam menentukan nasibnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sumber: Survei Perusahaan Perekebunan (Badan Pusat Statistik); Direktorat Jenderal Perkebunan(Kementerian Pertanian)Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman (Ribu Ton),2021-2023, BPS 2024.