Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesenjangan dan Kesiapan Digitalisasi Ahli Teknologi Laboratorium Medik
10 Desember 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari surya aji bilianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) merupakan profesi yang sangat penting dalam sistem layanan kesehatan modern. Dengan meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan medis berkualitas, profesi ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kekurangan tenaga kerja hingga kebutuhan untuk beradaptasi dengan teknologi canggih. Artikel ini akan membahas permasalahan mendasar yang dihadapi oleh ATLM di Indonesia dan bagaimana isu-isu tersebut dapat menghambat pencapaian layanan kesehatan yang ideal.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh ATLM adalah kekurangan tenaga kerja yang terampil. Indonesia, dengan populasi besar dan wilayah geografis yang luas, memerlukan jumlah tenaga Laboratorium yang memadai untuk memastikan layanan kesehatan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil. Namun, banyak fasilitas kesehatan mengalami kekosongan tenaga Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) yang berkualitas. Kekurangan ini berdampak pada kualitas layanan dan meningkatkan beban kerja tenaga yang ada, yang sering kali menyebabkan kelelahan dan menurunkan produktivitas. Oleh karena itu, pemerintah dan organisasi profesi seperti PATELKI perlu mencari solusi jangka panjang, seperti meningkatkan kapasitas pendidikan dan memperluas akses beasiswa bagi calon mahasiswa ATLM.
Di era globalisasi, standar kompetensi tenaga ATLM di Indonesia harus mampu bersaing di tingkat internasional. Saat ini, standar kompetensi mereka mengacu pada International Federation of Biomedical Laboratory Science (IFBLS), yang menekankan pentingnya keterampilan analitis dan penguasaan teknologi laboratorium modern. Namun, tantangan terbesar adalah kesiapan infrastruktur dan tenaga kerja dalam mengadopsi teknologi canggih. Digitalisasi di bidang Laboratorium Medik, seperti penggunaan alat berbasis kecerdasan buatan (AI) atau sistem informasi laboratorium (LIS), memerlukan pelatihan intensif dan investasi besar. Tanpa persiapan yang matang, upaya digitalisasi dapat memperbesar kesenjangan antara laboratorium di perkotaan dan pedesaan.
Pendidikan menjadi pilar penting dalam meningkatkan kualitas tenaga ATLM. Sayangnya, kurikulum di banyak institusi pendidikan masih tertinggal dibandingkan dengan kebutuhan industri. Kurangnya integrasi teknologi terkini dalam pembelajaran menjadi hambatan bagi lulusan untuk bersaing di pasar kerja internasional. Meskipun PATELKI telah mendorong pengembangan program studi hingga jenjang Sarjana Terapan dan Magister, implementasi program ini masih menghadapi berbagai kendala, seperti keterbatasan dana dan minimnya sinergi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor industri.
Salah satu solusi untuk menarik lebih banyak tenaga ahli adalah pemberian insentif berupa kenaikan gaji dan tunjangan. Namun, insentif finansial saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas kerja dan peluang pengembangan profesional. Tenaga ATLM juga memerlukan ekosistem kerja yang mendukung, termasuk akses ke pelatihan berkelanjutan dan teknologi modern. Permasalahan yang dihadapi oleh ATLM di Indonesia memerlukan reformasi menyeluruh dari sisi kebijakan, pendidikan, dan pengelolaan sumber daya. Pemerintah harus mengambil langkah proaktif untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, misalnya dengan memperbanyak program pendidikan berbasis teknologi dan memberikan subsidi kepada institusi pendidikan yang fokus pada pengembangan ATLM.
Menurut pandangan saya, digitalisasi dalam bidang laboratorium medik harus direncanakan dengan pendekatan yang inklusif. Saya percaya bahwa laboratorium yang berada di daerah terpencil memerlukan perhatian khusus, terutama dalam hal pelatihan tenaga kerja dan penyediaan infrastruktur yang memadai. Tanpa adanya kesetaraan dalam akses dan pelatihan, saya khawatir bahwa digitalisasi justru akan memperlebar kesenjangan dalam pelayanan kesehatan. Saya merasa bahwa setiap laboratorium, tanpa memandang lokasi geografisnya, seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengadopsi teknologi modern. Hal ini sangat penting agar efisiensi dan akurasi dalam layanan kesehatan dapat ditingkatkan secara merata agar tidak terjadi kesenjangan. Masyarakat di daerah terpencil juga berhak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, sama seperti mereka yang berada di daerah perkotaan. Oleh karena itu, saya sangat mendukung upaya untuk memberikan perhatian serius terhadap pelatihan dan pengembangan infrastruktur di daerah-daerah tersebut. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat menciptakan sistem kesehatan yang lebih adil dan merata, di mana semua orang, tanpa terkecuali, dapat merasakan manfaat dari kemajuan teknologi dalam pelayanan kesehatan.
Profesi ATLM kini berada di posisi bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi menghadapi tantangan, sementara di sisi lain terbuka peluang. Dengan kebijakan yang tepat dan sinergi antar pemangku kepentingan, profesi ini memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu pilar utama dalam sistem kesehatan nasional. Namun, tanpa reformasi menyeluruh, kesenjangan dalam kualitas layanan kesehatan akan terus menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Reformasi ini adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa ATLM tidak hanya menjadi profesi yang dihargai, tetapi juga dapat memberikan dampak nyata dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT