Konten dari Pengguna

Peran Media Sosial Dalam Membentuk Kanon Sastra Kontemporer

Surya Ganda Syah Putra
Saya adalah mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Saya berasal dari Kediri, Jawa Timur. Saat ini saya terjun di bidang kajian budaya yang berfokus pada isu class, gender, race, dan age. Saya biasa membua
12 Desember 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Ganda Syah Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tulisan puisi diatas kertas
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tulisan puisi diatas kertas
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi kekuatan yang tak terbantahkan dalam membentuk berbagai aspek kehidupan kita, termasuk dunia sastra. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga telah merevolusi cara kita memproduksi, mengonsumsi, dan mendefinisikan sastra. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana media sosial memainkan peran sentral dalam membentuk kanon sastra kontemporer, dengan fokus khusus pada fenomena 'Instapoetry' dan dampaknya terhadap definisi sastra modern.
ADVERTISEMENT
Demokratisasi Sastra melalui Media Sosial
Media sosial telah membuka pintu bagi demokratisasi sastra yang belum pernah terjadi sebelumnya. Platform seperti Instagram dan Twitter telah menghapus hambatan tradisional untuk publikasi, memungkinkan penulis dari berbagai latar belakang untuk berbagi karya mereka secara langsung dengan audiens global. Ini telah menciptakan lanskap sastra yang lebih beragam dan inklusif, di mana suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan kini dapat didengar.
Fenomena 'Instapoetry': Redefinisi Puisi di Era Digital
Salah satu manifestasi paling mencolok dari pengaruh media sosial terhadap sastra kontemporer adalah munculnya 'Instapoetry'. Genre ini, yang dipopulerkan oleh penulis seperti Rupi Kaur dan Lang Leav, menggabungkan teks singkat dengan elemen visual untuk menciptakan karya yang sangat cocok untuk konsumsi digital. Instapoetry telah memicu perdebatan sengit di kalangan kritikus sastra tentang apa yang dianggap sebagai 'puisi sejati'.
ADVERTISEMENT
Pendukung Instapoetry berpendapat bahwa genre ini telah membuat puisi lebih mudah diakses dan relevan bagi generasi muda. Mereka menyoroti kemampuannya untuk menyampaikan emosi yang kompleks dalam format yang ringkas dan mudah dicerna, yang sangat sesuai dengan pola konsumsi konten di era digital.
Di sisi lain, kritikus berpendapat bahwa Instapoetry mengorbankan kedalaman dan keahlian teknis demi daya tarik populer. Mereka khawatir bahwa dominasi genre ini di media sosial dapat mengecilkan bentuk puisi yang lebih tradisional dan kompleks.
Terlepas dari kontroversi, tidak dapat dipungkiri bahwa Instapoetry telah membawa puisi ke hadapan audiens yang lebih luas dan beragam, mendorong diskusi tentang sifat dan tujuan puisi di abad ke-21.
Media Sosial sebagai Kurator Sastra
ADVERTISEMENT
Platform media sosial tidak hanya berfungsi sebagai saluran distribusi untuk karya sastra; mereka juga bertindak sebagai kurator yang kuat. Algoritma yang mendasari platform ini memainkan peran penting dalam menentukan konten apa yang menjadi viral dan siapa yang mendapatkan visibilitas. Hal ini telah menciptakan dinamika baru dalam cara karya sastra ditemukan dan diapresiasi.
Tagar seperti #bookstagram di Instagram dan #writingcommunity di Twitter telah menjadi pusat komunitas sastra online yang hidup. Influencer buku dan blogger sastra telah muncul sebagai gatekeepers baru, seringkali memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kritikus sastra tradisional dalam membentuk selera pembaca dan mendorong penjualan buku.
Dampak pada Industri Penerbitan
Pengaruh media sosial terhadap sastra kontemporer meluas jauh melampaui ruang digital. Industri penerbitan tradisional semakin memperhatikan tren media sosial dan menggunakannya untuk membuat keputusan penerbitan. Banyak penulis yang awalnya menemukan kesuksesan di platform seperti Wattpad atau Instagram telah menandatangani kontrak buku besar, mengaburkan batas antara sastra digital dan tradisional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penerbit semakin mengadopsi strategi pemasaran yang berfokus pada media sosial, dengan kampanye yang dirancang khusus untuk platform seperti TikTok dan Instagram. Hal ini telah mengubah cara buku dipromosikan dan bagaimana penulis berinteraksi dengan pembaca mereka.
Tantangan dan Peluang
Sementara media sosial telah membuka banyak peluang baru bagi penulis dan pembaca, ia juga menghadirkan tantangan unik. Fokus pada viralitas dan daya tarik visual dapat mengarah pada prioritas kuantitas di atas kualitas. Ada juga kekhawatiran tentang rentang perhatian yang semakin pendek dan kecenderungan terhadap konten yang mudah dicerna, yang dapat berdampak pada apresiasi terhadap karya sastra yang lebih panjang dan kompleks.
Namun, media sosial juga menawarkan peluang yang menarik untuk eksperimen sastra. Penulis mengeksplorasi cara-cara inovatif untuk memanfaatkan fitur-fitur unik platform digital, menciptakan bentuk-bentuk sastra baru yang menggabungkan teks, gambar, suara, dan interaktivitas.
ADVERTISEMENT
Menuju Kanon Sastra yang Lebih Inklusif
Pengaruh media sosial terhadap sastra kontemporer sangatlah mendalam dan multi-faceted. Sementara ia telah mengaburkan batas-batas tradisional dan menantang definisi konvensional tentang apa yang dianggap sebagai sastra 'serius', ia juga telah membuat sastra lebih mudah diakses dan demokratis dari sebelumnya.
Ketika kita bergerak maju, tantangannya adalah untuk merangkul potensi demokratisasi media sosial sambil tetap memelihara kedalaman dan kompleksitas yang telah lama menjadi ciri khas sastra hebat. Kanon sastra kontemporer yang muncul kemungkinan akan lebih beragam, lebih inklusif, dan lebih dinamis daripada sebelumnya, mencerminkan realitas dunia yang semakin terhubung secara digital.