Sutan Sjahrir, Pahit Manis dalam Kemelut Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Susanto Jumaidi
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
20 April 2022 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Susanto Jumaidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sutan Sjahrir (paling kanan depan) (www.instagram.com/matahatipemuda)
Sutan Sjahrir seorang pahlawan nasional kelahiran 05 Maret 1909 di Padang Panjang Sumatera Barat. Kiprahnya sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda seperti sebagai satu diantara sepuluh orang pendiri organisasi Perhimpunan Pemuda Nasionalis, atau sebagai ketua organisasi Partai Nasionalis Indonesia (PNI Baru) pada 1932.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Soedirman atau Tan Malaka, dalam upaya menyempurnakan kemerdekaan Indonesia Sjahrir cenderung menghindari kekerasan fisik, melainkan lebih mengedepankan jalan intelektual untuk menyempurnakan kemerdekaan Indonesia salah satunya upaya diplomasi yang dibangun dengan Belanda. Namun upaya diplomasi ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari revolusioner lain.
Menurut sejarawan Harry A Poeze, Tan Malaka menolak upaya politik diplomasi Sjahrir, Tan Malaka lebih menginginkan perjuangan fisik bersenjata. Tetapi dalam pandangan Sjahrir ‘diplomasi’ merupakan jalur yang paling rasional untuk menyempurnakan kemerdekaan Indonesia mengingat persenjataan yang tidak sebanding dengan Belanda. Diplomasi menurutnya juga sebagai upaya menghindari revolusi yang menumpahkan banyak darah.
Sjahrir yang pada awal kemerdekaan berposisi sebagai Perdana Menteri Indonesia memiliki kekuatan untuk merealisasikan jalur diplomasi yang menghasilkan beberapa perundingan kedepannya. Sebaliknya tokoh-tokoh masa revolusi yang tidak sejalan dengan pemikiran Sjahrir melakukan upaya-upaya untuk menyingkirkan Sjahrir, mulai upaya kudeta kabinet Sjahrir II hingga penculikan Sjahrir itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Perundingan Hooge Veluwe
Perundingan resmi dijadwalkan pada tanggal 13 Maret 1946 kemudian dilanjutkan pada 16 - 17 Maret 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda diwakili oleh Schermerhorn, serta sebagai penengah dalam perundingan ini adalah Archibald Clark Kerr dari Inggris.
Perundingan ini menghasilkan “Naskah Persetujuan Pendahuluan” yang kemudian ditandatangani Van Mook dan Sutan Sjahrir pada 30 Maret 1946. Naskah ini berisi tentang kesepakatan atas pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia yang hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Naskah ini menjadi fokus pembahasan pada perundingan Hoge Veluwe selanjutnya.
Perundingan Hoge Veluwe tahap selanjutnya dilaksanakan pada 10 Oktober 1946. Sudarsono, W. Suwandi, A.K. Pringgodigdo sebagai perwakilan dari pihak Indonesia. Van Mook, Van Royen, Van Asbeck, Idenburg, Sultan Hamid II, Logeman, dan Soeria Santoso, sebagai delegasi dari Belanda. Perundingan ini berjalan rumit karena tidak konsistennya Belanda dengan menolak hasil perundingan sebelumnya yang telah menghasilkan Naskah Persetujuan Pendahuluan. Belanda kukuh menolak dengan alasan dalam naskah tersebut tidak memuat seluruh keinginan Belanda, dalam artian Belanda tidak mengakui kedaulatan Indonesia dan tetap ingin melakukan rekolonialisasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perundingan Linggarjati
11 November 1946 perundingan digelar kembali di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Perundingan ini sebagai buntut dari kegagalan perundingan Hooge Veluwe sebelumnya. Dalam perundingan ini Belanda tetap diwakili oleh Schermerhorn, dan Indonesia indonesia mengirim delegasi yang diketuai oleh Sutan Sjahrir. Sebagai penengah Archibald Clark Kerr digantikan oleh Lord Killearn yang sama dari delegasi Inggris.
Perundingan Linggarjati juga berjalan alot dan panjang hingga 15 November 1946. Meskipun demikian perundingan ini mencapai kesepakatan dalam beberapa pasal krusial seperti Belanda menyetujui tuntutan pihak indonesia khususnya dalam hal pengakuan kedaulatan Indonesia meliputi wilayah Jawa, Sumatra, dan Madura, Belanda juga menerima usulan Sjahrir untuk mengganti istilah “Merdeka” menjadi “Berdaulat” yang ada dalam pasal 2 konsep persetujuan Belanda. Perjanjian ini resmi ditandatangani pada 25 Maret 1947.
ADVERTISEMENT
Penculikan Sutan Sjahrir
Dalam buku Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik yang ditulis oleh Rosihan Anwar, dijelaskan bahwa usulan perundingan Sjahrir diberitakan secara bebas oleh pers Belanda yang ada di Jakarta, sehingga memicu munculnya berbagai persepsi mengenai tindakan Sjahrir di kalangan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali para tokoh-tokoh revolusioner lainnya.
Beberapa tokoh seperti Dr. Soebarjo dan Iwa Kusumasumantri, beranggapan bahwa Sjahrir perlu untuk diamankan agar upaya mendapatkan kemerdekaan secara penuh dapat dilancarkan dengan baik tanpa intervensi dari pihak Belanda. Sjahrir dianggap tidak tegas memperjuangkan Indonesia. Kelompok yang tidak sepaham dengan dengan Sjahrir seperti organisasi Persatuan Perjuangan beranjak menjadi oposisi menentang Kabinet Sjahrir.
Rosihan juga menyebutkan ada alasan lain dibalik penculikan Sjahrir, oposisi menginginkan supaya Tan Malaka yang ditahan di Madiun dibebaskan dan boleh bergelut kembali di kancah perpolitikan. Mereka juga lebih suka gaya kepemimpinan Tan Malaka daripada Sjahrir yang dianggap terlalu lemah untuk membangun Indonesia yang baru seumur jagung.
ADVERTISEMENT
Dengan mengantongi surat penangkapan dari Mayor Jenderal TNI Sudarsono, para oposisi yang dipimpin oleh Mayor Abdul Kadir Yusuf langsung menuju Solo pada 27 Juni 1946. Rombongan Mayor A.K. Yusuf menuju gedung Javasche Bank Solo tempat rombongan Sjahrir menginap dalam perjalanan pulang dari Jawa Timur. Rombongan Mayor A.K. Yusuf masuk ke gedung dan langsung mengacungkan senjata dan memaksa Sjahrir beserta rombongannya untuk segera ikut dengan mereka.
Sebelum dibawa dan diasingkan, Sjahrir sempat mendebat rombongan A.K. Yusuf mengenai penangkapan ini, namun berhenti ketika Sjahrir diancam dengan senjata. Sjahrir kemudian dibawa ke sebuah tempat bekas meditasi Pakubuwono X yang terletak di Desa Paras. Operasi penangkapan rombongan Sjahrir ini tidak berjalan sempurna karena dua orang dari rombongan Sjahrir berhasil melarikan diri ketika terjadi perdebatan antara Sjahrir dan rombongan Mayor A.K. Yusuf, mereka yang melarikan diri langsung bergegas menuju Yogyakarta menggunakan kereta.
ADVERTISEMENT
Hingga kabar penculikan Sjahrir diterima Soekarno pada 28 Juni 1946, tempat penahanan Sjahrir dan rombongannya belum diketahui pasti. Satu hari kemudian Soekarno melalui siaran radio sangat mengecam aksi penculikan Sjahrir dan menuntut untuk segera membebaskan Sjahrir secepatnya dan menginginkan Sjahrir kembali ke Yogyakarta dengan selamat. Orang-orang yang di Paras awalnya tidak mengetahui siapa yang datang diantar oleh rombongan A.K. Yusuf, mereka mengira Sjahrir dan rombongannya adalah tamu kehormatan. Setelah mendengar siaran radio, mereka mengetahui identitas Sjahrir sebenarnya adalah Perdana Menteri mereka.
A.K. yusuf yang datang kembali ke Paras dengan tujuan ingin mengembalikan Sjahrir ditolak oleh orang dan penjaga di Paras, orang-orang di Paras ingin mengembalikan Sjahrir sendiri ke istana negara Yogyakarta. Mereka tiba di istana negara pada tanggal 30 Juni dini hari. Soekarno yang sedang tidur saat itu bangun dan langsung merangkul Sjahrir.
ADVERTISEMENT
Upaya Kudeta Kabinet Sjahrir II
Konflik pemikiran antara Sjahrir dengan oposisi tidak berhenti dengan aksi penculikan saja. Beberapa hari setelah peristiwa penculikan Sjahrir, pihak oposisi melakukan upaya kudeta Kabinet Sjahrir II yang dikenal dengan istilah peristiwa 3 Juli 1946.
Upaya kudeta ini disampaikan melalui maklumat yang dibawa oleh Mayor Sudarsono beserta kawanan politikus yang baru dikeluarkan dari rumah tahanan Wirogunan. Mereka menuju istana negara dan menyodorkan maklumat kepada Soekarno. Isi maklumat itu salah satunya mengenai tuntutan kelompok oposisi yang menginginkan dibubarkannya kabinet Sjahrir II dan digantikan dengan kabinet baru yang dipimpin oleh Tan Malaka. Namun maklumat ini ditolak oleh Soekarno dan dianggap sebagai upaya kudeta atau makar oleh kelompok oposisi. Kemudian Soekarno memerintahkan untuk menangkap Jenderal Mayor Sudarsono dan beberapa orang lainnya yang berada di balik upaya kudeta ini.
ADVERTISEMENT