Stop Perdebatan, Mari Kita Bangun Karakter Generasi

Nur Muin Susanto
Seorang Aparatur Sipil Negara Pemerintah Kota Prabumulih, yang lama berkutat dengan Human Resources dan antusias akan perkembangan sosial, ekonomi, sains dan teknologi
Konten dari Pengguna
26 September 2021 5:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Muin Susanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi generasi kerja, foto : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi generasi kerja, foto : freepik.com
ADVERTISEMENT
Milennial pemalas-kaum rebahan, narsistis yang masih tinggal dengan orangtuanya. Generasi lembek, egois, sombong, penggila teknologi, dan materialistis.”
ADVERTISEMENT
Baby Boomer generasi korup yang mengeksploitasi dan menghabiskan minyak dan gas bumi, mewariskan pemanasan global dan perubahan iklim.”
Sekilas kutipan beberapa media tentang pandangan antar generasi yang mengemuka menjadi bahan diskusi dan perdebatan di dunia kerja dalam beberapa tahun ini. Stereotip generasi yang sepertinya lumrah tapi dirasa kurang sreg, ada hal yang masih mengganjal di hati dan pikiran. Bukan tanpa alasan, karena pendapat-pendapat negatif tersebut sama sekali berbeda dengan realitas yang saya alami di lingkungan kerja.
Saya bersyukur diberi kesempatan penugasan di unit kerja dengan tim yang berisikan campuran personel senior dan junior. Pun pada prosesnya menikmati dan banyak mengambil hikmah dari perbedaan generasi tersebut. Para gen Y / Milenial (1981-1994) dan gen Z (1995-2010) menularkan semangat dan jiwa muda sementara Baby Boomers (1946-1964) memberikan wejangan dan wisdom dari pengalaman mereka. Saya sendiri adalah gen X (1965-1980) yang berjiwa milenial dan berpenampilan gen Z (hehe). Keragaman usia menambah perspektif dan keahlian yang lebih luas, bersama-sama kami bekerja dalam mencapai tujuan organisasi tanpa kendala yang berarti.
ADVERTISEMENT
Generasi adalah kelompok yang terdiri dari individu, memiliki kesamaan dalam rentang usia, dan mengalami peristiwa-peristiwa sejarah penting dalam periode waktu tertentu. Kejadian dan fenomena tersebut membentuk ingatan secara kolektif yang berdampak dalam kehidupan terhadap terbentuknya perilaku individu, nilai dan kepribadian mereka.
Media terkadang berlebihan memberitakan pengelompokan dan perbedaan antar generasi ini sehingga tak jarang menimbulkan perdebatan di ruang sosial. Namun benarkah perbedaan generasi itu ada? Ya, perbedaan yang menimbulkan kesenjangan antar generasi itu ada.
Saya merasakan sendiri adanya gap dalam perilaku, penguasaan teknologi dan cara berkomunikasi antar generasi. Namun, perbedaan generasi tersebut dalam konteks tugas yang kami jalani tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap output pekerjaan. Akumulasi bukti menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan generasi yang cukup besar dalam sikap dan nilai yang terkait dengan pekerjaan, seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, niat berpindah atau etos kerja (Costanza et al., 2012; Zabel et al., 2017). Juga tidak ada dukungan empiris untuk gagasan populer bahwa pengawas atau manajer harus menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka dengan generasi yang berbeda (Rudolph et al., 2019).
ADVERTISEMENT
Walau pengelompokan generasi dapat dipergunakan sebagai atribut atau label suatu konstruksi sosial, juga bermanfaat sebagai indikator atau acuan bagi disiplin ilmu lain. Namun, patut kita waspada bahwa konsep pengelompokan generasi yang populer saat ini merupakan pengelompokan dengan berbasis event sejarah di Amerika Serikat. Belum ada suatu konsep pengelompokan generasi yang dapat diterima di semua tempat termasuk di Indonesia, tentu tidak dapat disamakan begitu saja karena kondisi sosial, historis dan letak geografis yang berbeda.
Kesenjangan generasi sebagai perbedaan nilai atau persepsi yang menyebabkan tidak adanya saling pengertian antara dua generasi yang berbeda adalah fenomena universal, dan perbedaan-perbedaan pengalaman, opini, kebiasaan dan perilaku ini dapat terjadi antara siapa saja misalnya pada orang tua dan anak; guru dan murid; manajer dan bawahan (Mendez, 2008).
ADVERTISEMENT

Membangun pribadi-pribadi yang berkarakter

Iseng-iseng mencari inspirasi melalui Youtube, saya terkesan dengan konten TEDx Talks berjudul Millennials Are NOT Your Leadership Challenge, mantan anggota US Marine yang menjadi seorang entrepreneur, Erik Therwanger, menuturkan bagaimana pengalamannya pada saat menjadi seorang marinir dan melalui masa rekrutmen melalui bootcamp (kamp pelatihan marinir). Di sana tidak hanya training dalam menghadapi medan pertempuran tetapi juga diberikan leadership development–pengembangan diri menjadi seorang pemimpin. Hingga akhirnya ia dianggap layak bertugas sebagai Air Traffic Controller di Marine Corps Air Station Yuma Arizona, sebuah bandara militer tersibuk di dunia.
Organisasi militer merupakan satu-satunya kelompok sosial atau kelas sosial dalam masyarakat yang tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang. Kestatisan mekanisme kerja dalam organisasi tersebut telah membentuk organisasi yang unik dan berkarakter sama di mana pun kelas sosial tersebut berada (Shapiro, 1956). Dan kekhawatiran para pimpinan organisasi selama ini dalam menghadapi stereotip para generasi muda terutama milenial tidak menjadi kendala bagi US Marine. Bahkan, 250 ribu milenial telah developed-dilatih, ditempa, dan ditanamkan nilai-nilai kepemimpinan (keadilan, integritas, semangat) di dalam bootcamp tersebut. Terngiang kembali olehnya sebuah pesan, “Erik, becoming a marine is not about what you get, it’s about who you become”.
ADVERTISEMENT

Menjalin kerukunan dengan budaya pemersatu

Dilatarbelakangi oleh adanya penerjemahan yang berbeda-beda terhadap nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN yang tertuang dalam UU No. 5/2014 tentang ASN, pada 27 Juli 2021 lalu, Core Values "BerAKHLAK" dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara "Bangga Melayani Bangsa" resmi diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Nilai-nilai yang ada di instansi pemerintah dikerucutkan menjadi tujuh nilai inti Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif bertujuan untuk menjadi fondasi budaya kerja profesional bagi seluruh ASN di Indonesia. Menteri PANRB menyampaikan, pemerintah terus mendorong terciptanya pemerintahan yang dinamis melalui percepatan reformasi birokrasi sebagai ikhtiar untuk membuat birokrasi lebih adaptif, cepat dalam proses pelayanan, dan pengambilan keputusan (menpan.go.id).
ADVERTISEMENT
Core values BerAKHLAK, foto : menpan.go.id
Tentunya kita tidak ingin core values ini hanya menjadi sekadar slogan belaka, sehingga perlu kiranya mendapatkan dukungan bersama melalui program nyata, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui character building. Suatu proses atau upaya tanpa henti bagi semua generasi dalam rangka membina, memperbaiki dan atau membentuk watak, tabiat, jiwa dan budi pekerti seseorang sehingga menunjukkan sikap dan tingkah laku yang berlandaskan nilai-nilai atau budaya organisasi. Jangan sampai organisasi fokus hanya memberikan training kepada pegawai sementara melupakan sisi kepribadian yaitu membangun karakter dalam diri.
Harmonis dan Kolaboratif, keywords BerAKHLAK dalam menghadapi kesenjangan antar generasi. Sebagai individu kita memiliki keunikan masing-masing tetapi dalam perspektif kelompok sosial sesungguhnya kita lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Daripada saling meributkan perbedaan, alangkah lebih baik bila kita saling melengkapi dan memberi manfaat dari kelebihan masing-masing generasi. Semoga dengan budaya yang inklusif, pengertian, dan saling menghormati di antara keragaman usia, dapat membuat pegawai mengeluarkan potensi terbaik dalam bekerja dan saling belajar dari orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT