Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Ketika Hukum Dunia Mengabaikan Amanah Ilahi
11 Januari 2025 18:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Susilawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi jika Rp300 triliun yang raib hanya dihukum 6,5 tahun penjara?
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, kita menyaksikan drama nyata di panggung hukum Indonesia, di mana angka fantastis setara dengan 15% APBN Indonesia, namun hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dari kasus pencurian ayam. Ironi ini memancing tawa getir dan bahkan air mata.
Hakim kasus Harvey Moeis tampaknya sedang melawak di depan publik. Dengan alasan bahwa terdakwa "bersikap kooperatif" dan "belum pernah dihukum sebelumnya," vonis 6,5 tahun dijatuhkan untuk sebuah kejahatan, korupsi sebesar Rp300 triliun. Ironisnya, jika ada rakyat kecil mencuri sandal di masjid, vonis 5 tahun bisa langsung menghantam. Namun, bagi pelaku megakorupsi, "kooperatif" tampaknya lebih berharga daripada Rp300 triliun yang ia "koordinasikan" ke rekening pribadinya.
Kooperatif adalah hal yang baik dalam hukum Islam, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan pelaku dari keadilan. Kasus ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukum hanya alat formalitas, dan di mana letak keadilan sesungguhnya? Dalam Islam, persoalan ini tidak sekadar masalah administratif, tetapi menyentuh prinsip akidah tentang keadilan, tanggung jawab hakim, dan amanah kepada Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ.
(HR. Bukhari, no. 6788)
“Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah apabila ada orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya. Namun, apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya.”
Hadis ini terasa sangat relevan. Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kehancuran bangsa tinggal menunggu waktu. Vonis ringan seperti ini adalah bentuk "legalisasi" ketidakadilan yang akan menginspirasi generasi berikutnya bahwa "Kalau mau mencuri, jangan kecil-kecilan. Curilah besar sekalian!"
Padahal, seorang hakim menurut Islam keputusannya tidak hanya bertanggung jawab pada manusia, tetapi juga pada Allah SWT. Mereka harus paham bahwa status hakim adalah sebuah amanah, yang menuntut mereka untuk mengedepankan kebenaran dalam tiap-tiap keputusan yang mereka ambil, tanpa terpengaruh oleh status sosial, kekuasaan, atau kepentingan pribadi. Jika keadilan diabaikan, maka akibatnya akan meluas, merusak tatanan masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.
ADVERTISEMENT
Hakim dalam Islam adalah sebagai penjaga Amanah, bukan “Boneka Kekuasaan”. Seorang hakim dalam Islam tidak hanya memutuskan berdasarkan hukum manusia, tetapi juga berlandaskan ketakwaan. Rasulullah SAW bersabda:
القضاة ثلاثة: اثنان في النار وواحد في الجنة؛ رجل عرف الحق فقضى به فهو في الجنة، ورجل قضى بين الناس على جهل فهو في النار، ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار.
(HR. Abu Dawud, no. 3573)
“Hakim itu ada tiga golongan: dua di neraka, dan satu di surga. Yang di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran. Sedangkan yang di neraka adalah hakim yang memutuskan dengan kebodohan, atau mengetahui kebenaran tetapi memutuskan dengan zalim.”
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa seorang hakim idealnya memiliki tiga karakter utama; keilmuan, integritas, dan ketakwaan. Keilmuan memastikan keputusan diambil berdasarkan dalil yang jelas. Integritas menjamin bahwa keputusan tidak dipengaruhi oleh suap atau tekanan eksternal. Ketakwaan mengingatkan hakim bahwa setiap putusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Melihat vonis yang diambil, menurut kalian hakim dalam kasus ini termasuk kategori yang mana? Apakah mereka tergolong “hakim yang adil, tanpa pandang bulu?" atau “hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi zalim dalam keputusan"? Rasanya ini pertanyaan anak SD kelas 2, bahkan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pun bisa menjawab dengan mata tertutup.
Kasus Harvey Moeis ini bukan sekadar cerita tentang seorang terdakwa dan hakim. Ini adalah ujian besar bagi sistem hukum kita. Vonis ringan dalam kasus besar ini, memberikan sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat yang melihat ketidakadilan ini akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum. Para koruptor di masa depan akan merasa lebih berani karena melihat hukuman yang tidak sepadan.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua, terutama para hakim, bahwa keputusan mereka bukan hanya berdampak pada terdakwa tetapi juga pada masyarakat luas dan nasib bangsa kedepannya. Jika hukum terus berjalan seperti ini, kehancuran bangsa hanya tinggal menunggu waktu. Kasus ini harus bisa menjadi titik balik bagi reformasi hukum Indonesia. Pertama, hakim yang lalai dalam menegakkan keadilan harus dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun moral. Kedua, sistem hukum harus diperkuat agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan atau uang. Ketiga, masyarakat perlu dilibatkan lebih aktif untuk mengawasi proses hukum agar tidak lagi menjadi lelucon nasional.
Nama: Susilawati
Status: Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang