Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Sutan Sjahrir, Bergerilya Meski Raga Dipenjara
15 Agustus 2017 18:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Sutan Sjahrir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Harga yang harus dibayar dari sebuah penentangan kebijakan penguasa adalah jeruji besi dan pengasingan --tinggal pilih. Mantan Perdana Menteri pertama di Indonesia itu pernah mengecapnya berkali-kali, tanpa jemu.
ADVERTISEMENT
Dibuang ke Boven Digul --sebuah tempat pengasingan paling horor yang pernah dialami tiap aktivis pergerakan-- pada 28 januari 1935, Sjahrir tak kunjung henti menyuarakan gagasan kemerdekaan Indonesia. Selama pengasingan di penjara alam itulah Syahrir menulis pamflet bertajuk “Perdjoeangan Kita”, sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.
“Perdjoeangan Kita” diharapkan muncul sebagai penyentak kesadaran bangsa. Mahakarya ini dijadikan pedoman untuk menggerakan kemudi kapal Republik Indonesia di tengah ombak revolusi.
Namun, tulisan Syahrir dalam "Perdjoeangan Kita" membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Seperti yang kita tahu, Sukarno begitu mendambakan persatuan dan kesatuan negara. Berseberangan dengan Sukarno, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Tulisan itu pula yang akhirnya memunculkan praduga bahwa ia adalah seseorang yang anti pemerintahan rezim Sukarno. Ia sempat dituduh sebagai kelompok makar Verenigde Ondergrondse Corps (Korps Bawah Tanah Bersatu karena dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan Soekarno. Pada 7 Januari 1962, di mana saat itu iring-iringan mobil Presiden Soekarno dilempari granat. Atas kejadian ini, Sjahrir seakan dianggap “musuh” yang harus diusir dari negara.
ADVERTISEMENT
Gerilya Sjahrir dimulai sejak ia bebas dari penjara Belanda tahun 1942. Ia pun sempat mengenyam pendidikan di sana, dan bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) pimpinan Mohammad Hatta. Sekembalinya ke Hindia-Belanda, Duo Sjahrir-Hatta melancarkan misi mulia mereka untuk memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan.
Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri di Indonesia, dan memimpin kabinet pada periode 1945-1947. Setelah keluar, kiprahnya di dunia perpolitikan dan menghidupkan nyala api sosialisme di masyarakat sangatlah besar. Ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan bersama anggotanya ia mengkritik gaya agitasi massa Bung Karno yang menurutnya tidak berfaedah bagi kemajuan rakyat Indonesia.
Setelah PSI dibubarkan, Sjahrir menyatakan telah pensiun dari aktivitas politik. Sayangnya, gerilya politiknya pun "diludahi" oleh pemerintahan saat itu, dan dicap oleh pemerintahan Ir. Sukarno sebagai tokoh yang anti persatuan dan kesatuan. Alhasil, perjuangan Sjahrir ditebus dengan jerat jeruji besi. Tanpa diadili, ia ditangkap dan dipenjarakan tahun 1962-1965 atas perintah Ir. Sukarno sampai ia menderita stroke.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 1965, atas izin Ir. Sukarno, Sjahrir diizinkan untuk berobat ke negeri mana pun, kecuali belanda. Ia akhirnya berobat ke Zurich, Swiss, dan meninggal dunia pada 9 April 1965.