Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pertaruhkan Nyawa, Periset BRIN Selamatkan Pohon Langka dari Kepunahan
3 Juni 2023 10:51 WIB
Tulisan dari Jamal Suteja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bogor - Hutan dan alam liar di Indonesia menjadi laboratorium bagi para peneliti keanekaragaman hayati. Tak terkecuali bagi Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Henti Hendalastuti Rachmat. Perempuan kelahiran Sumedang itu, melakukan ekspedisi dan eksplorasi keluar masuk pulau-pulau kecil hingga hutan di wilayah Kepulauan Riau, Kalimantan, Mentawai, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), hingga Pulau Mursala.
ADVERTISEMENT
"Saya konsern dalam penelitian yang berhubungan dengan aspek silvikultur, konservasi tumbuhan dan keragaman genetik," ungkap Henti usai acara penanaman 20 jenis pohon langka dalam rangka peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia 2023 di Kebun Raya Cibinong, Senin (22/5).
Henti mengaku pengalaman melakukan ekspedisi dan eksplorasi ke hutan-hutan tersebut, memiliki resiko yang berbahaya. Bahkan, dirinya mengaku sempat mengalami malaria hingga koma selama empat hari. Itu dialaminya setelah melakukan ekspedisi ke Pulau Mursala, yang berada di seberang Pulau Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Di Pulau tersebut, dia harus menginap beberapa hari di rumah penduduk untuk mengambil sample pohon keruing atau dipterocarpus cinereus.
"Pulau Mursala itukan penduduknya cuma sekitar 15 Kepala Keluarga (KK). Penduduk aslinya dari suku nias. Untuk menjangkau pulau tersebut kami naik speedboat dan harus tinggal di rumah penduduk, tanpa sinyal dan listrik kita memakai genset. Dari empat orang tim peneliti yang ikut, dua orang terkena malaria dan sempat koma empat hari," ungkapnya mengenang. Peristiwa itu terjadi pada kegiatan ekspedisi kedua ke Pulau Mursala pada tahun 2015-2016. Sebelumnya, dia pernah melakukan ekspedisi awal pada tahun 2013.
ADVERTISEMENT
"Kami tahu dari teman-teman peneliti eks-LIPI keberadaan dari pohon ini di Pulau Mursala. Tetapi ekspedisi pertama dari tema-teman LIPI saat itu belum berhasil membawa materi genetik hidup. Akhirnya kami melakukan ekspedisi tahun 2013 dan membawa 20 anakan pohon keruing. Namun setelah kami konservasi hanya tiga yang bertahan hidup, sehingga kami melakukan ekspedisi kedua pada sekitar tahun 2015, dan bisa membawa lebih banyak anakan," ucap eks peneliti di Litbang Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut.
Dalam melakukan pengambilan sample tersebut, Henti melakukannya dengan hati-hati agar tidak merusak ekosistem dan regenerasi pohon tersebut di alam liar. Ada beberapa yang diperhatikan misalnya, tidak membawa sample lebih dari 20 persen dari populasi anakan pohon. Selain itu, anakan pohon yang diambil juga berukuran tinggi sekitar 20 cm. "Semakin kecil semakin bagus adaptasinya, untuk mencegah aklimatisasi atau pengkondisian," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pohon keruing atau dipterocarpus cinereus sendiri ditetapkan sebagai Extinct in the Wild atau punah di alam liar oleh International Union for Conservation of Nature's Species Survival Commision (IUCN-SSC) pada tahun 1998. Setelah diketahui keberadaan dan jumlah populasi serta kegiatan konservasinya. Status pohon tersebut kemudian direvisi menjadi Critically Endangered (CR) atau status spesies tanaman yang terancam kritis pada tahun 2019.
Dari hasil ekspedisi, pohon keruing yang masuk dalam jenis meranti memiliki keunggulan dari kayunya yang sangat keras. Sehingga banyak dipakai untuk kusen untuk rumah. Banyak warga lokal menjual kayu-kayu ke pengepul. Diketahui pula, jika pohon keruing bisa berusia hingga ratusan tahun. "Memang pertumbuhannya lama, 30 tahun baru bisa menjadi pohon besar. Sample yang kami ambil saja yang kami konservasi sejak 2013 pohonnya sekarang tingginya baru 2,5 meter. Karena rata-rata pertumbuhanya di alam itu hanya 0,7 cm per tahun," terang periah doktor dari Ehime University, Japan tersebut.
ADVERTISEMENT
Terpenting, lanjut Henti, dari upaya penyelamatan dan konservasi ini, adalah nilai ekosistem. Sebab, diketahui pohon keruing yang besar yang tumbuh di hutan menjadi habitat bagi flora dan fauna di alam. "Indukan pohon keruing sudah sedikit, kita berupaya memperbanyak, dan bisa reintroduksi kembali ke pulau tersebut. Karena di sana antropologic trapnya juga tinggi, sisi-sisinya sudah dibuka jadi kebun yang tadinya ada pohon tidak ada, tinggal yang curam dan orang susah ambil," katanya.
Teliti Puluhan Jenis Pohon untuk Tujuan Konservasi
Tak hanya pohon keruing atau dipterocarpus cinereus, selama menjadi peneliti, Henti mengaku telah banyak melakukan penelitian keanekaragaman hayati yang berada di hutan-hutan di Indonesia. Penelitiannya terutama fokus pada kelompok Dipterokarpa atau meranti-merantian. Dia melakukan eksplorasi, koleksi dan konservasi sumber daya genetik Dipterokarpa ke berbagai wilayah hutan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk penelitian kelompok dipterokarpa kami melakukan eksplorasi antara lain di berbagai taman nasional dan kawasan konservasi di Riau (Taman nasional Bukit Tiga Puluh, Taman nasional tesso Nilo, Bukit Rimbang Bukit Baring, Ampang delapan, Tasik Serkap), di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Pulau Mursala, Riau Kepulauan (P. batam, Bintan, Lingga, Singkep, Natuna), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Pulau Buru, Pulau Seram, Pulau Ambon. Dari hasil tersebut pada waktu itu dirinya masih sebagai peneliti di Litbang Hutan Kementerian LH dan Kehutanan, memiliki persemaian konservasi dengan koleksi jenis Dipterokarpa lebih dari 80 jenis.
"Tidak hanya sekedar eksplorasi juga, kami tim peneliti setelah berhasil mengkoleksi sunberdaya genetik hidup pohon-pohon tersebut kemudian mengembangkan teknologi perbanyakan nya sehingga kami bisa memproduksi bibit nya dan bibit tersebut terbuka untuk diminta oleh pemohon untuk ditanam dengan tujuan konservasi bagi kelompok pemerhati lingkungan, instansi pemerintah, pihak sekolah, pemerintah daerah," sebut wanita kelahiran 8 Agustus 1978 itu.
ADVERTISEMENT
Selain kelompok Dipterokarpa, pihaknya juga melakukan koleksi jenis pohon hutan lainnya terutama konservasi jenis asli/native Indonesia dengan penekanan pada jenis asli yang sudah langka atau terancam punah atau yang mengalami tekanan eksploitasi tinggi. Jenis lainnya yang kami koleksi diantaranya adalah Taxus sumatrana (cemara sumatera), pasak bumi (Eurycoma longifolia), pelawan merah/putih (Tristaniopsis sp.), Ulin (Eusideroxylon zwageri), Klicung (Diospyros macrophylla), rambutan hutan, sonokeling (Dalbergia latifolia), rambai, Kemenyan (Styrax sp.), merpayang (Scaphium macropodum), Kulim (Scorodocarpus borneensis), dll. "Di luar dipterokarpa, kami banyak juga mengkoleksi lebih dari 50 jenis," sebutnya.
Mengenai Taxus sumatrana, Henti menjelaskan pohon tersebut tumbuh alami di Indonesia, yang hanya ada di daerah tinggi Sumatera tepatnya di kawasan Toba, Gunung Dempo dan Gunung Kerinci. Diketahui kulit batang pohon cemara sumatera ini jika diolah dan diektraksi secara kimia akan menghasilkan senyawa aktif antikanker yang selama ini dipakai dalam kemoterapi kanker.
ADVERTISEMENT
Upaya konservasi tersebut dilakukan melalui kolaborasi dengan pihak lain yang sama-sama memperhatikan dengan upaya konservasi pohon asli hutan Indonesia baik swasta, instansi pemerintah lain maupun universitas. Beberapa buku yang disusun sebagai hasil dari berbagai rangkaian kegiatan penelitian yang berfokus pada jenis-jenis lokal juga ada.
"Kami menyadarkan kepada generasi muda terutama, bahwa negara kita ini indah dan kaya dan betapa kita harus benar-benar menyadari hal tersebut dan mulai menjaga kekayaan dan keindahan negara kita meskipun hanya dengan satu tindakan kecil. Tindakan-tindakan kecil tersebut bila dikumpulkan kan akan menjadi bongkahan upaya yang cukup berarti," pungkasnya. (jml)