news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Sukatani dan Perlawanan Musik Melawan Tirani

Jamal Suteja
Staf Humas di Badan Riset dan Inovasi Nasional
6 Maret 2025 13:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jamal Suteja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto: Instagram/@sukatani.band
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: Instagram/@sukatani.band
ADVERTISEMENT
Musik selalu menjadi medium perlawanan yang kuat, menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan dan tak memiliki ruang dalam narasi arus utama. Di Indonesia, perlawanan melalui musik bukanlah hal baru. Sejak era Orde Baru, musisi seperti Iwan Fals dengan lagu-lagu baladanya seperti Bongkar dan Bento telah menampar wajah kekuasaan yang otoriter. Kini, dalam era digital dan media sosial, muncul Sukatani, band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang kembali membuktikan bahwa musik tetap menjadi alat perlawanan yang efektif.
ADVERTISEMENT
Dibentuk oleh dua personel, Novi Citra Indriyati alias Twister Angel sebagai vokalis dan Muhammad Syifa Al Lutfi atau Alectroguy sebagai gitaris, Sukatani bukan hanya sekadar band punk biasa. Mereka adalah bagian dari gerakan sosial dan lingkungan hidup akar rumput, yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan politik yang menindas dan struktur sosial yang tidak adil. Album mereka, Gelap Gempita, menjadi manifesto musik yang sarat kritik, disampaikan dalam dialek Banyumasan yang lugas dan tajam.
Sukatani tidak hanya berbeda dalam pesan yang mereka bawa, tetapi juga dalam pendekatan musik mereka. Di tengah dominasi Hip Hop, Folk, Hardcore Punk, dan Indie-Rock hingga K-Pop, Sukatani memilih jalur Post-Punk dengan sentuhan New Wave. Mereka meramu nada-nada Gothic-Rock dengan melodi New Romantic hingga kehangatan Synth-Pop.
ADVERTISEMENT
Hal ini mencerminkan bagaimana preferensi musik dan pergerakan politik anak muda semakin inklusif dan lintas genre. Dalam demonstrasi atau aksi massa, kita kini tidak hanya menemukan lagu-lagu protes dengan nuansa yang keras, tetapi juga budaya populer yang lebih cair.
Salah satu lagu mereka berjudul, Bayar Bayar Bayar, sontak menjadi kontroversial karena dianggap menyentil institusi Kepolisian. Lagu ini dengan cepat menjadi viral, menandakan bahwa pesan yang disampaikan begitu relevan dengan realitas masyarakat saat ini.
Namun, respons dari pihak berwenang justru menunjukkan betapa musik masih dianggap sebagai ancaman oleh mereka yang berkuasa. Permintaan maaf dan penghapusan lagu dari ruang publik justru semakin menegaskan bahwa musik adalah alat yang ampuh dalam membongkar ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Kisah ini mengingatkan kita pada bagaimana kritik musik dari era Orde Baru hingga era demokrasi terus mengalami tekanan. Jika dulu musisi seperti Iwan Fals harus berhadapan dengan pencekalan dan pelarangan, kini di era digital, represi hadir dalam bentuk baru: penghapusan konten, tekanan sosial, dan ancaman digital.
Tak dapat dipungkiri, di era digital yang mengalami disrupsi informasi. Cara manusia menikmati musik pun berubah. Musik kini bisa dengan mudah diakses melalui platform digital, mengubah lanskap industri musik secara drastis. Meski demikian, esensi musik sebagai alat komunikasi dan ekspresi tetap bertahan. Lagu-lagu Sukatani seperti Gelap Gempita dan Bayar Bayar Bayar menunjukkan bahwa musik masih menjadi bahasa yang universal dalam menyuarakan ketidakpuasan sosial.
Hal itu pun semakin relevan dengan terungkapnya kasus-kasus korupsi, hingga kebijakan pemerintah yang absurd, yang mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan. Keberanian Sukatani dalam menyuarakan kritik sosial patut diapresiasi. Mereka tidak hanya menyanyikan lagu-lagu protes, tetapi juga memberikan ruang bagi isu-isu yang sering diabaikan dan dianggap maklum oleh masyarakat luas. Dengan lirik yang lugas dan mudah dipahami, mereka mampu menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, membuktikan bahwa musik punk masih relevan dalam menentang dan mengkritik ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Sebagai respons atas kritik yang disampaikan oleh Sukatani, pihak kepolisian sempat menawarkan mereka untuk menjadi duta polisi. Namun, Sukatani dengan tegas menolak permintaan ini. Penolakan ini menunjukkan bahwa musik harus tetap menjadi dirinya sendiri, menjadi alat ekspresi masyarakat, bukan alat kekuasaan. Kritik sosial yang disampaikan melalui musik seharusnya diterima sebagai refleksi atas kondisi masyarakat, bukan diubah menjadi alat legitimasi institusi tertentu.
Daripada mencoba meredam kritik dengan cara mengakomodasi musisi sebagai duta, lebih bijak jika institusi yang dikritik melakukan introspeksi dan memperbaiki sistem yang dikritik. Musik, sebagai medium seni, seharusnya tetap independen dan tidak dijinakkan oleh kuasa. Biarkan musik berbicara dengan jujur, karena ia adalah suara dari realitas yang sesungguhnya. Maka dapat dipahami bahwa ekspresi dan kritik telah menjadi bagian alami dari kehidupan manusia, lahir sebagai respons terhadap lingkungan dan fenomena sosial yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Sukatani berpotensi menjadi band besar jika mereka terus konsisten dalam berkarya dan tidak gentar menghadapi tekanan. Dalam lanskap musik Indonesia yang semakin komersial dan minim kritik tajam, kehadiran mereka adalah angin segar bagi perlawanan musikal di era demokrasi pasca-1998.
Musik telah dan akan selalu menjadi medium perlawanan. Selama masih ada ketidakadilan, akan selalu ada suara-suara seperti Sukatani yang berani menyanyikan kebenaran, meskipun harus berhadapan dengan tirani. Mari bernyanyi dan berkarya, bukan untuk merayakan kekuasaan, tetapi untuk menegaskan bahwa kita tidak diam terhadap kebatilan.