Konten dari Pengguna

Tembang Macapat Cirebonan Riwayatmu Kini

Jamal Suteja
Staf Humas di Badan Riset dan Inovasi Nasional
4 Mei 2023 21:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jamal Suteja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivitas Sujana Priya saat membaca naskah macapat cirebonan di depan rumahnya. Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas Sujana Priya saat membaca naskah macapat cirebonan di depan rumahnya. Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suara mendayu dengan bahasa cerbonan, terdengar dari mulut Sujana Priya di depan rumahnya, RT 13 RW 6 Blok Kemis Desa Suranenggala Lor Kecamatan Suranenggala Kabupaten Cirebon. Lelaki berambut putih itu, salah satu seniman yang juga penembang macapat. Kini, macapatan sudah nyaris asing dari anak-anak muda cirebon.
ADVERTISEMENT
Itulah kutipan bait pertama tembang macapat dhandhanggula yang diambil dari naskah babad Cirebon.
Tembang macapat yang didendangkan Sujana Priya (67) itu, membangunkan terik siang hari yang malu-malu karena terhalang oleh awan mendung. Sudah sejak lama, Sujana tidak pernah diundang untuk mendendangkan macapat. Oleh karena itu, dia bersama istrinya, Asiti (56) kini hanya sibuk membuat ukiran kedok (topeng) untuk pementasan tari topeng dan wayang wong (orang).
Pembuatan kedok itu, dia kerjakan di depan rumahnya. “Sekarang sudah jarang sekali yang ngundang macapatan, kadang kalau lagi buat ukiran ya sambil nembang macapat,” ucapnya saat duduk di depan teras rumahnya yang beralaskan tikar.
ADVERTISEMENT
Di rumahnya itu, dia masih menyimpan buku babad cirebon naskah klayan yang menjadi sumber tembang macapat. Sejak dulu Sujana belajar mengukir kedok, sambil mendendangkan macapat. Itulah yang diajarkan oleh guru dan orang tuanya.
Tembang macapat biasanya didendangkan ketika ada warga yang melakukan hajatan atau slametan. Bisa acara nikahan, khitanan, slametan tujuh bulanan atau lahiran. “Baca macapat kayak gini bisa sawengi jeput (semalam suntuk), mulai habis isya sampai jelang subuh,” katanya.
Macapat Cirebonan sendiri, berisi tentang cerita sejarah asal muasal Cirebon yang banyak bermuatan pesan-pesan moral. Sujana merasakan saat membaca macapatan itu, diibaratkan sebagai cermin. “Isinya banyak nasihat-nasihat, buat saya sendiri yang baca, dan yang mendengarkannya,” ucapnya.
Dulu macapat hanya ditembangkan saja, kemudian seiring perjalanan waktu. Tembang macapat diiringi musik dan tarian. Adanya musik yang berasal dari gamelan dan juga tarian bertujuan untuk memberikan semangat bagi yang mendengar, dan yang membacanya.
ADVERTISEMENT
Rentang waktu yang lama membaca macapat, memang cukup membosankan. Oleh karena itu, kadang kala untuk membaca macapat semalam suntuk. Para penembang macapat, juga diselingi obrolan dan juga sambil ngopi.
“Ya seling berapa menit cerita ngobrol, gak semalaman tembang terus. Kadang ngopi dulu namanya juga orang lek-lekan (begadang). Kadang hanya selesai setengah cerita, tergantung semangat. Satu buku satu cerita ada delapan tembang atau pupuh,” sebut Sujana.
Maka tak heran agar membuat semangat juga diiringi dengan musik dan tarian. Tariannya diciptakan khusus untuk tembang macapatan, yakni tarian ngangsut yang memiliki gerakan orang mencari air.
Tarian itu punya makna tersendiri. Gaya tarian yang menggambarkan orang mencari air. Diibaratkan manusia yang selalu haus mencari ilmu. Tarian ini, kata Sujana, memang dibuat olehnya atas dasar permintaan guru SD. Dulu di sekolah, ada anak-anak yang masih belajar macapat. Agar banyak yang tertarik, dibuatkan tarian itu. Macapat sendiri sudah mulai pudar sejak awal reformasi tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Nah, saat tampil para penembang macapat punya kostum khusus. Mereka memakai baju gomboran atau gombrang, yang berukuran lebar. Baju ini umumnya berwarna hitam, ada pula yang berwarna putih.
Macapat didendangkan oleh empat orang yang duduk membentuk persegi sambil berhadap-hadapan. “Kalau ada tujuh orang yang ikutan, mereka ikut mengerubung,” ucap Sujana.
Dia menerangkan istilah macapat sendiri dalam bahasa sunda maca anu opat, yang artinya membaca empat suku kata. Karena setiap tembangnya terdiri dari empat suku kata. Ada juga yang menyebutkan kata macapat berarti dibaca oleh empat orang.
Makanya tembang macapat dibacakan oleh empat orang. tembang macapat ditaksir mulai berkembang saat zaman para wali. “Ya kalau sekarang kan sudah jarang yang mengundang, lebih suka hiburan dangdut dan organ,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Tak jarang pula, kalau ada undangan macapat dulu. Sujana harus melek semalam suntuk. Lalu pagi harinya harus bekerja lagi. Tembang ini juga memiliki beberapa langgam, sesuai dengan naskahnya, yakni dhandanggula, maskumandang, bait tentang kasmaran, kinanti dan banyak lagi. “Dulu saya belajar dari guru dan orang tua, ya kalau sekarang yang masih suka macapatan ada di Gegesik, Ujunggebang, Cangkring juga ada yang di Cangkring Mamae Titin, itu dia bisa semua langgam lagunya,” ucapnya.
Dengan kondisi saat ini, anak-anak muda asing terhadap tembang macapat. Dia merasakan keresahan. Karena beberapa rekan sejawatnya juga sudah mulai lanjut usia. Sehingga perlu ada perhatian dari pemerintah dalam mengenalkan tembang macapat dan juga seni tradisional lain yang juga sudah mulai asing.
ADVERTISEMENT
Macapat tidak hanya soal melestarikan tradisi. Akan tetapi juga memiliki pesan moral bagi masyarakat. Sujana pun ingin agar tradisi macapat ini bisa menjadi kultur yang tidak hilang dari masyarakat. Sehingga isi dari tembang macapat itu bisa diketahui dan maknai oleh masyarakat yang saat ini sudah tercerabut dari tradisi para orang tua zaman dulu.
Dalam kondisi saat ini, kata Sujana, masih ada beberapa orang yang bisa menembangkan macapat. Jumlahnya memang tinggal sedikit. “Yang muda-mudah sudah tidak ada lagi, di Kabupaten Cirebon masih ada sekitar 10 orang yang masih bisa menembang macapat,” ucapnya.
Nah, selain macapat, Sujana Priya juga salah satu seniman yang ahli dalam membuat ukiran kedok dan topeng. Keahliannya itu, memang sudah dilakukan sejak dia berusia enam tahun. Sujana ingat betul, saat itu dia kerap mengikuti ayahnya untuk menonton pertunjukan wayang wong yang digelar di balai desa. Kedok yang berkarakter pentul, menjadi kedok pertama kali yang dilihatnya.
ADVERTISEMENT
“Sering diajak melihat pentas, saya saat itu melihat kedok pentul senang karena karakternya yang lucu dan senang dengan tari-tari pentul,” ucapnya. Bahan yang digunakan untuk membuat kedok juga, dulu pertama kali dari tanah liat. Bahan tanah itu harus dikeringkan dan dibakar agar bisa kuat. Kalau sekarang bahannya sudah memakai kayu jaran. Dikeringkan lalu.
Wayang wong khas cirebon sendiri berbeda dengan wayang wong jawa timuran. Wayang wong Cirebon memiliki dalang sebagai pengisi dialog. Sementara wayang hanya menari dan melakukan gerakan koreografi saja. “Yang dialog ada dalangnya. Saya waktu itu masih jadi pemain, kalau dalang yang masih ada pak H Mansyur dari Gegesik biasanya yang dalang wayang kulit juga bisa jadi dalang wayang wong,” kenangnya.
ADVERTISEMENT
Kendalanya saat main wayang wong, karena harus memakai topeng. Pemain biasanya tidak kuat menahan lama. Sujana sendiri hanya bisa tampil pakai kedok lima sampai enam menit, paling lama 12 menit sudah sakit. “Takut ngekek. Nanti topengnya jatuh. Kalau sekarang udah gak bisa main lagi, giginya sudah ompong gak bisa gigit kedok,” ceritanya.
Dari sejak belajar membuat ukiran kedok. Sujana sudah menguasai sebanyak 100 macam jenis karakter kedok. Semua itu dia tiru dari gurunya. Mulai dari latihan membuat kedok dari kayu, jenis karakter topeng, hingga juga nembang macapat saat membuat topeng. Hingga kini dia juga masih bingung siapa yang bakal melanjutkan keahliannya itu.
Sebab saat ini hanya ada beberapa saja generasi muda yang bisa meniru keahliannya membuat kedok. “Ada yang muda tapi hanya satu dua kedok saja, mereka kadang ada kesibukan lain. Kalau dulu saya kesibukan lain ditunda, orang tua walaupun dia juga jadi nelayan mendukung. Saya gak kerja juga gak apa-apa. Ya karena saya senang sampai sekarang. Itu keinginan saya sendiri,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dari keahliannya itu, terbukti juga dia bisa survive hingga saat ini dari hanya mengandalkan penghasilan dari keahliannya membuat topeng atau kedok. Karena sudah dianggap bisa, kata Sujana, oleh gurunya disuruh membuat sendiri topeng dan kemudian dijual untuk mendapatkan penghasilan. Sang guru itu, bernama Kandeg, yang tinggal tak lain merupakan tetangga dekat rumahnya.
“Ya waktu itu belajar gak jauh-jauh melihat membuat kedok dan menari. Bapak saya juga suka, akhirnya saya ikut latihan nari buat topeng. Hasil karya kedoknya itu, biasanya dia tempel untuk hiasan dinding. Lama kelamaan, ada yang beli, sehingga keterusan membuat kedok.
Dia mengaku tidak punya kemampuan berdagang. Hanya mengandalkan orang-orang yang datang sendiri ke rumahnya, lalu membeli kedoknya. “Ada stok ada yang beli. Saya gak bisa menawarkan ke orang. Kadang orang yang beli denger sendiri dia datang langsung. Makanya kadang satu tahun ada yang beli. Kadang satu bulan laku keras. Kadang lama sampai stok kedoknya numpuk, ya sabar aja,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Istrinya, Asiti-lah yang selalu mendampingi keseharian dan kesibukannya dalam membuat topeng. Asiti menilai suaminya itu merupakan orang yang sangat baik dan pria yang jujur. Ketekunannya yang sejak kecil konsisten membuat kedok, membuatnya takjub. “Ya semenjak saya dijodohkan sama bapak, sifat bapak itu orangnya baik sama semua orang, dan juga tekun buat kedok dari kecil,” ungkapnya.
Tak hanya menemani membuat ukiran topeng. Asiti juga kerap menemani suami dalam pentas wayang wong, dan juga macapatan. Nah, untuk macapat, Asiti juga ikut terlibat membacakannya. “Kalau sekarang mungkin sudah banyak yang lupa gerakan tarian wayang, karena sudah tidak lagi dilakoni,” cakapnya.
Setiap harinya, saat waktu luang. Dia dan suaminya memanfaatkan membuat ukiran kedok di depan rumahnya. Satu kedok itu biasanya selesai dalam lima hari. Akan tetapi bisa lebih cepat dari itu. “Kalau lagi semangat dan keyeng ya dua hari bisa selesai, tinggal dicat tiga harian sudah jadi,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Harga satu kedok wayang wong dan tari topeng itu, bisa laku Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu. Hasil dari penjualan kedok wayang itu, digunakan untuk keperluan sehari-hari. “Kalau bapak, biasanya hasilnya juga disisakan buat membeli bahan baku, kayu, cat, dan lainnya, supaya bisa produksi lagi, jadi gak semuanya dibelikan keperluan buat sehari-hari,” tukasnya.