Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dua Dunia Marsha Siagian
23 Agustus 2017 10:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Tidak banyak orang yang bisa menyeimbangkan dua pilihan karier sekaligus. Namun Marsha Damita Siagian (31 tahun) bertekad menempuh karier sebagai perancang busana dan konsultan pajak. Meski pernah kebingungan mengatur waktu, kini Marsha telah menemukan ritme kerja yang tepat. “Dulu, waktu pertama kali mulai, sempet panik terus emosian karena kelihatannya kerjaan banyak, tapi sekarang manajemen proyeknya sudah jalan,” tutur dara lulusan Jurusan Akuntansi dan Keuangan University of Melbourne, Australia, dan Teknologi Desain Fashion London College of Fashion, Inggris ini.
ADVERTISEMENT
Marsha membesut lini busananya sejak 2012 di bawah label Marie et Lu, sesuai dengan nama neneknya, usai kuliah di London. Kemudian, lantaran masukan dari konsumen, finalis 15 besar Miss Indonesia 2006 dari Sumatera Utara itu mulai memberanikan diri menggunakan namanya sendiri, Marsha. “Label Marsha diperuntukkan buat wanita independen, bisa dipakai di banyak acara, berulang kali, agak spesial untuk orang yang memakai,” ujar perempuan berdarah Batak-Tionghoa-Manado itu memaparkan konsepnya.
Belakangan, dia menelurkan label keduanya, Dongengan. “Awalnya kakak saya yang punya ide. Karena, menurut dia, kain Indonesia kan banyak, sayang kalau nggak dipake. Dongengan itu baju harian batik seperti jumputan atau batik celup,” ungkapnya kepada SWA di Kafe Anomali, Setiabudi, Jakarta Selatan. Label Marsha dibanderol Rp 400 ribu-3,5 juta, sementara Dongengan ditawarkan Rp 300-700 ribu.
ADVERTISEMENT
Meskipun Marsha telah mengantongi gelar perancang busana dari universitas kenamaan di Inggris, praktiknya jauh lebih melelahkan untuk mewujudkan impiannnya meluncurkan labelnya sendiri. Awal berkarier sebagai perancang busana, ia bekerja sama dengan temannya. Namun, karena kesibukan Marsha dan temannya yang sama-sama masih menjadi karyawan penuh waktu, akhirnya usaha pertamanya kandas. “Teman saya kerja, saya magang dan kerja, itu tahun 2010-2011. Akhirnya ya nggak lanjut,” ujar Marsha yang sempat berkarier sebagai Staf PDCA dan Investasi di Asuransi Astra Buana, dan dosen di La Salle College, Jakarta.
Selain itu, dia juga terbentur perbedaan yang cukup tajam antara teori di bangku kuliah dan realitas di lapangan. Saat studi di London, dia diajarkan bahwa tugasnya sebagai desainer hanya menggambar, mencari contoh kain, sementara ketika produksi, ia hanya tinggal membuat ilustrasi tampak depan dan belakang busananya. “Tapi kenyataannya di Indonesia tidak bisa begitu. Eksekusinya panjang. Nunggu ini-itunya lama,” ungkapnya blak-blakan.
ADVERTISEMENT
Namun, Marsha, yang dua bulan terakhir bergabung di kantor konsultan pajak, terus berusaha. Akhirnya, dia mendapatkan klien profesional pertamanya, yakni diva pop Indonesia, Titi DJ. “Saya ikut lomba desain batik dan model busana untuk baju panggung Lady Gaga dan menang. Sayangnya, dia batal tampil di Indonesia, akhirnya dialihkanlah ke Titi DJ. Lombanya tahun 2012, beberapa bulan setelah meluncurkan merek Marie et Lu,” tuturnya. Selain Titi DJ, selebritas lain seperti Mika Tambayong juga menjadi pelanggannya.
Pergulatannya terus berlanjut. Sebagai desainer pemula, ia sungguh merasa terbebani dengan biaya sewa ruang pamer. “Kalau dihitung, memang nggak make sense bagi desainer baru untuk membayar sewa toko. Jadi, harus pintar membuka peluang usaha tanpa mengeluarkan modal banyak,” paparnya. Alhasil, ia lebih memilih menempuh jalur online untuk memasarkan busananya. “Sekarang saya masih jual direct, ada gerai di www.istyleup.com yaitu e-commerce mulai bulan lalu. Saya masih mencari ritel untuk toko fisik tapi belum ketemu yang fix,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan itu tak membuatnya berhenti berkarya. Berkat perjuangannya, busana kreasinya sempat ditampilkan di sejumlah ajang bergengsi seperti acara Denny Malik 32 Tahun Berkarya di Jakarta pada 2012, dan menjadi desainer partisipan di Jakarta Fashion Week 2014. Ia juga menjadi finalis di ajang D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong, dua tahun silam.
Busana Marsha rupanya telah memiliki penggemarnya sendiri. Di antaranya Yuliana Sudjono, yang menjabat sebagai partner di Kantor Akuntan Publik Tanudiredja Wibisana & Rekan. Yuliana pertama kali mengenal label kreasi Marsha lantaran empat tahun silam melihat rekannya yang tak lain kakaknya Marsha mengenakan busana yang menarik perhatiannya. “Nah, kebetulan teman saya ini batiknya lucu-lucu, model anak muda. Kombinasi warna dan kainnya menarik sekali yang detailnya juga diperhatikan. Misalnya ada list-list dengan warna dan corak yang indah atau sambungan kain yang pas banget walaupun dari kain yang berbeda. Harganya juga pas. And last but not least, jahitannya rapi dan pas di badan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sejak itu Yuliana berkenalan dengan label Marie et Lu dan Dongengan, serta menjadi pelanggan setianya hingga kini. “Untuk Marie et Lu juga karena kombinasi warna yang bagus, model yang unik dari ide yang orisinal dan keren. Bahannya pun terlihat eksklusif, dan kualitas jahitan bagus serta attention to detail yang memuaskan. Oh ya, last but not least, nyaman dipakai,” kata Yuliana memuji busana Marsha habis-habisan.
Berkat busana Marsha, Yuliana pun merasa tubuhnya terlihat langsing. “Teman saya yang melihat saya memakai batik Dongengan selalu menanyakan di mana saya menjahit batik tersebut, sampai-sampai kolega bisnis saya dari Singapura ikut tertarik memesan batik Dongengan, hahaha ....,” kata Yuliana seraya tertawa.
Yuliana menyarankan Marsha agar terus kreatif merancang busana supaya pamornya terus meningkat, serta agar busana batik kian membudaya di kalangan anak muda dan eksekutif muda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Marsha sendiri masih memiliki banyak rencana untuk melejitkan labelnya. Terlebih, kantornya memberikan fleksibilitas kerja yang memungkinkan dia menyalurkan hasrat bisnisnya. “Di kantor agak fleksibel. Ada hari-hari ketika jam kerja saya sudah cukup, saya bisa meminta persetujuan agar bisa mendapatkan waktu untuk mengejar bisnis. Saya mau mengembangkan ready to wear yang lebih ke knitwear karena saya lihat di Jakarta banyak yang pakai knitwear. Maunya membuat knitwear yang variatif karena kan knitwear nggak harus mutlak dibuat tebal,” paparnya semringah.
Eddy Dwinanto Iskandar
Reportase: Aulia Dhetira